Atun tertegun. Siapa yang memberikan ini? Siapa yang cukup mengenalnya untuk memberikan sesuatu yang begitu indah?
Hari berikutnya, Atun membawa ukiran itu ke pasar, berharap menemukan orang yang membuatnya. Namun, tidak ada yang mengaku. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke sungai dan menunggu.
Sementara itu, Raka diliputi kegelisahan. Ia tahu Atun telah menemukan ukiran itu, tetapi ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan dirinya. Akhirnya, ia memberanikan diri untuk pergi ke sungai pada sore berikutnya.
Ketika Raka tiba, ia melihat Atun sudah duduk di sana. Gadis itu memegang ukiran mawar di tangannya. Hati Raka berdebar. Ia hampir berbalik pergi, tetapi Atun sudah melihatnya.
"Raka?" panggil Atun dengan suara lembut.
Raka berjalan mendekat dengan gugup. "Iya, Atun. Itu... aku yang membuatnya."
Atun tersenyum. "Ini indah sekali. Terima kasih."
Raka mengangguk, tetapi ia tetap diam. Atun, yang menyadari kegugupannya, mencoba mencairkan suasana. "Kenapa kau membuat ini untukku, Raka?"
Raka menatap sungai, menghindari tatapan Atun. "Aku... aku hanya ingin menunjukkan rasa terima kasihku. Kau selalu membuat desa ini terasa lebih hangat, Atun. Meski aku tidak banyak bicara, aku selalu melihat kebaikanmu."
Kata-kata itu membuat hati Atun tersentuh. Selama ini, ia merasa tidak ada yang benar-benar memahami dirinya. Namun, di hadapan Raka, ia merasa dilihat---bukan hanya sebagai gadis yang ceria, tetapi sebagai seseorang yang memiliki luka dan harapan.
Badai dan Harapan