Sera adalah perempuan tiga puluh dua tahun yang, jika boleh jujur, menganggap dirinya hadiah paling istimewa yang pernah diberikan Tuhan pada dunia. Sebagai anak tunggal yang tumbuh dalam keluarga penuh kasih sayang, ia terbiasa menjadi pusat perhatian. Segala hal yang ia lakukan---dari langkah pertama hingga lulus kuliah dengan predikat cum laude---dirayakan bak kemenangan besar.
"Ibu bangga sekali sama kamu, Sayang," kata ibunya setiap kali Sera pulang dengan berita baru. Bahkan jika berita itu sekadar kenaikan gaji yang hanya sedikit lebih tinggi dari inflasi.
Ayahnya, seorang pengusaha sukses, tidak pernah absen menyebut Sera sebagai 'princess'-nya. Semua pujian itu membuat Sera tumbuh dengan keyakinan bahwa ia adalah kombinasi langka antara kecerdasan, kecantikan, dan kepribadian luar biasa.
Di kantor, Sera adalah sosok yang selalu hadir dalam setiap diskusi---meskipun tidak ada yang benar-benar memintanya. Dalam rapat, ia selalu mengangkat tangan terlebih dahulu, memastikan suaranya terdengar sebelum siapa pun sempat bicara.
"Sepertinya aku punya ide yang mungkin lebih efektif," katanya dengan senyum tipis. Tak peduli apakah ide yang ia utarakan sebenarnya sudah diutarakan orang lain sebelumnya, Sera selalu menyisipkan sentuhan personal yang membuatnya seolah lebih brilian.
Koleganya sering merasa kesal, tapi tak ada yang berani melawan. Sera pandai memainkan perannya sebagai perempuan 'unik' yang selalu tampak memiliki jawaban untuk segalanya. Dan jika ada yang mencoba menantang, ia akan membalas dengan senyuman manis dan kalimat pasif-agresif yang terdengar seperti nasihat bijak.
"Oh, aku ngerti maksud kamu. Tapi... mungkin lain kali coba pikirkan pendekatan yang lebih kreatif, ya? Biar nggak terlalu 'standar'," katanya dengan nada yang dibuat-buat rendah, seolah sedang berbicara dengan anak kecil.
Di luar pekerjaan, Sera adalah ratu media sosial. Feed Instagram-nya dipenuhi foto-foto yang diambil dengan hati-hati: secangkir kopi yang terlihat mahal, buku yang hanya dibuka halaman pertama, dan kutipan panjang tentang bagaimana "perempuan harus kuat dan berbeda." Setiap unggahannya selalu diakhiri dengan hashtag #NotYourOrdinaryGirl atau #DifferentBreed.
Komentar teman-temannya biasanya berbunyi: "Keren banget, Ser!" atau "Bener-bener panutan!" Tetapi, di balik layar ponsel, beberapa dari mereka hanya mengeluh sambil memutar mata.
"Dia pikir dia siapa, sih?" bisik salah satu teman kantornya, Tika, di pantry suatu hari.
Namun, Sera selalu berhasil membuat dirinya terlihat tak tersentuh kritik. Ia punya satu mantra: selama ada orang yang memperhatikan, maka ia tetap menang.
Namun, semuanya mulai berubah ketika ia bertemu Reza, seorang rekan baru di kantor. Reza, berbeda dari yang lain, adalah pria yang cerdas, tenang, dan tampaknya tidak terkesan dengan gaya Sera yang sok dominan. Ketika Sera mencoba mengoreksi salah satu presentasinya, Reza hanya tersenyum tipis.
"Oh, jadi menurutmu begitu? Menarik. Tapi aku tetap lebih suka caraku," jawabnya santai, lalu kembali ke laptopnya.
Sera terpaku. Itu pertama kalinya ada seseorang yang menolak pendapatnya tanpa rasa takut. Sejak saat itu, ia bertekad "menaklukkan" Reza.
"Reza itu pasti cuma belum kenal aku lebih dekat," pikirnya.
Ia mulai mencari alasan untuk mendekati Reza. Mulai dari menawarkan bantuan tak diminta hingga membawakan kopi ke meja Reza dengan alasan "berbagi semangat pagi." Namun, Reza tetap tidak peduli.
Suatu hari, ketika mereka sedang berbicara di pantry, Sera mencoba trik andalannya---membicarakan betapa ia berbeda dari perempuan lain.
"Aku tuh selalu merasa nggak cocok sama cewek-cewek lain. Mereka sering banget ngomongin hal-hal remeh, kayak gosip artis atau drama Korea. Aku lebih suka diskusi yang berbobot, kayak politik atau ekonomi global," katanya sambil memandang Reza dengan ekspresi yakin.
Reza hanya menatapnya sebentar, lalu berkata, "Oh, ya? Aku rasa itu bagus. Tapi aku justru belajar banyak dari obrolan ringan. Kadang hal-hal kecil itu menunjukkan sisi kemanusiaan kita."
Sera tak tahu harus membalas apa. Untuk pertama kalinya, ia merasa kalimatnya melayang tanpa arah.
Malam itu, Sera pulang dengan perasaan yang mengganjal. Ia berdiri di depan cermin besar di kamarnya, memandangi pantulan dirinya sendiri. Ia masih melihat bayangan perempuan sempurna yang selalu ia banggakan, tetapi ada sesuatu yang tidak pas.
Sambil menarik napas panjang, ia membuka Instagram dan mulai menggulir feed-nya. Tiba-tiba, ia merasa lelah dengan semua hal yang ia tunjukkan. Apakah aku benar-benar istimewa, atau aku hanya ingin terlihat seperti itu? pikirnya.
Namun, seperti biasa, perasaan itu hanya sementara. Lima menit kemudian, ia sudah mengetik caption baru untuk unggahan berikutnya:
"Menjadi berbeda itu tidak mudah, tapi aku selalu memilih jalan ini. Karena aku tahu, aku lahir untuk menjadi cahaya di tengah gelap. #Unstoppable #DifferentByChoice."
Di dalam hatinya, Sera merasa sedikit lega. Di luar sana, dunia mungkin tidak menyukainya, tetapi ia tetap percaya bahwa ia adalah pusat semesta---setidaknya di cermin kecilnya sendiri.
TAMAT
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI