Mohon tunggu...
Rahmad Romadlon
Rahmad Romadlon Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

Menulis Puisi, Artikel, Kata-kata Bijak, dan Motivasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta dalam Sepiring Nasi dan Kerupuk

17 Januari 2025   09:37 Diperbarui: 17 Januari 2025   09:37 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu senja terasa lebih berat. Langit perlahan meredup, mengantar malam yang penuh keheningan di rumah kecil kami. Aku duduk di tepi tempat tidur, memandangi dompet lusuh yang hanya menyisakan beberapa lembar uang kecil dan koin receh. Bukan jumlah yang cukup untuk membeli lauk, bahkan sekadar untuk bertahan sampai esok pagi. Aku mencoba menenangkan diri, meski hati terasa sesak.

Ayah ada di ruang tengah, berbaring di kursi kayu tua yang mulai rapuh. Aku bisa melihat tubuhnya yang semakin kurus. Pundaknya tak lagi tegap seperti dulu. Langkahnya kini lambat, dan tangannya gemetar saat menggenggam sesuatu. Tapi aku tahu, di balik tubuh ringkih itu ada semangat yang tetap menyala.

Namun hari itu, ada sesuatu yang berbeda. Aku mendengar suara dari dapur, suara benda-benda plastik yang digeser dan dilempar. Aku keluar kamar, penasaran, dan menemukan ayah di sudut dapur. Ia sedang membongkar tumpukan plastik bekas. Sebungkus kerupuk yang sudah hancur setengah tertimbun di sana.

Ayah mengambil kerupuk itu perlahan, lalu meletakkannya di piring. Aku melihat ia mulai menggerusnya dengan sendok, mencampurnya dengan sedikit air agar kerupuk itu lebih lembut. Aku tahu, giginya yang sudah rapuh tak mampu lagi mengunyah makanan keras. Ayah lalu menyendok nasi dari rice cooker, menaburkan serpihan kerupuk di atasnya, dan mulai makan dengan tenang.

Dadaku terasa sesak. Aku ingin bicara, tapi rasanya ada yang mengganjal di tenggorokan. Aku hanya berdiri di pintu dapur, mengawasi dari kejauhan.

Setelah beberapa saat, aku memberanikan diri untuk bertanya, "Yah, kenapa makan kerupuk itu? Bukannya tadi masih ada tempe di kulkas?"

Ayah tersenyum kecil sambil mengunyah pelan. "Nggak apa-apa, Nak. Nasi sama kerupuk juga enak kok. Tempenya biar buat kamu. Ayah sudah kenyang."

Aku tahu itu bohong. Ayah selalu berkata begitu. Aku tahu dia belum makan sejak pagi, tapi tetap saja ia mendahulukan aku. Ia tak pernah meminta apa pun, tak pernah mengeluh, meskipun aku tahu betapa sulitnya hidup yang ia jalani.

Aku kembali ke kamar malam itu dengan pikiran yang penuh. Aku merasa seperti anak yang gagal. Aku sudah dewasa, tapi masih tak bisa memberikan apa-apa untuk ayahku. Aku tak punya pekerjaan tetap, dan setiap kali mencoba, selalu ada hambatan. Aku ingin meminta bantuan kakakku, tapi rasa malu menghalangi. Aku merasa sudah terlalu tua untuk bergantung pada orang lain.

Malam itu, aku hampir tak bisa tidur. Aku memikirkan ayahku yang makan kerupuk dari tempat sampah plastik, mencampurnya dengan nasi agar ia bisa bertahan malam itu. Air mata menetes tanpa bisa kucegah. Dalam hati, aku berjanji pada diri sendiri: Aku harus melakukan sesuatu. Aku tak bisa terus seperti ini.

Keesokan paginya, aku bangun lebih awal dari biasanya. Aku memberanikan diri untuk keluar rumah, menyusuri jalanan dengan langkah ragu. Aku tak tahu harus ke mana, tapi aku bertekad mencari cara untuk membawa sesuatu pulang.

Aku mendatangi warung-warung, menawarkan tenagaku untuk bekerja. Aku menawarkan diri mencuci piring, menyapu, atau bahkan membantu mengangkat barang. Sebagian besar menolak, bahkan ada yang memandangku dengan tatapan curiga. Tapi aku terus mencoba, hingga akhirnya seorang pemilik warung makan kecil memberiku pekerjaan.

Tugasnya sederhana: mencuci piring dan membersihkan meja selama beberapa jam. Bayarannya kecil, tapi cukup untuk membeli beberapa butir telur, sedikit sayur, dan sepotong tahu.

Aku pulang dengan hati yang sedikit lega. Aku tahu ini belum seberapa, tapi setidaknya aku bisa membawa sesuatu untuk ayah. Saat aku sampai di rumah dan mulai memasak, ayah keluar dari kamar. Ia menatapku dengan tatapan penuh kehangatan.

"Kamu beli ini semua? Dari mana uangnya, Nak?" tanyanya dengan nada lembut.

Aku tersenyum. "Aku dapat kerjaan, Yah. Nggak besar, tapi cukup untuk makan kita hari ini."

Ayah terdiam sejenak, lalu menepuk bahuku perlahan. "Terima kasih, Nak. Kamu anak yang hebat."

Hari itu, kami makan bersama. Nasi hangat dengan telur dadar dan tahu goreng sederhana. Tapi bagi kami, rasanya seperti hidangan mewah. Kami makan dengan penuh syukur, dengan kehangatan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Sejak saat itu, aku berusaha lebih keras. Aku mengambil pekerjaan kecil apa pun yang bisa kulakukan, dari mencuci piring hingga membantu di pasar. Aku tahu jalannya masih panjang, tapi aku merasa ada harapan. Aku tahu, selama aku tetap berusaha, aku bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untuk ayahku.

Ayah adalah pahlawan sejati dalam hidupku. Ia mengajarkan arti cinta dan pengorbanan tanpa batas. Dan meskipun aku tak punya banyak, aku akan terus berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Karena bagiku, kebahagiaannya adalah tujuan hidupku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun