Aku mendatangi warung-warung, menawarkan tenagaku untuk bekerja. Aku menawarkan diri mencuci piring, menyapu, atau bahkan membantu mengangkat barang. Sebagian besar menolak, bahkan ada yang memandangku dengan tatapan curiga. Tapi aku terus mencoba, hingga akhirnya seorang pemilik warung makan kecil memberiku pekerjaan.
Tugasnya sederhana: mencuci piring dan membersihkan meja selama beberapa jam. Bayarannya kecil, tapi cukup untuk membeli beberapa butir telur, sedikit sayur, dan sepotong tahu.
Aku pulang dengan hati yang sedikit lega. Aku tahu ini belum seberapa, tapi setidaknya aku bisa membawa sesuatu untuk ayah. Saat aku sampai di rumah dan mulai memasak, ayah keluar dari kamar. Ia menatapku dengan tatapan penuh kehangatan.
"Kamu beli ini semua? Dari mana uangnya, Nak?" tanyanya dengan nada lembut.
Aku tersenyum. "Aku dapat kerjaan, Yah. Nggak besar, tapi cukup untuk makan kita hari ini."
Ayah terdiam sejenak, lalu menepuk bahuku perlahan. "Terima kasih, Nak. Kamu anak yang hebat."
Hari itu, kami makan bersama. Nasi hangat dengan telur dadar dan tahu goreng sederhana. Tapi bagi kami, rasanya seperti hidangan mewah. Kami makan dengan penuh syukur, dengan kehangatan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Sejak saat itu, aku berusaha lebih keras. Aku mengambil pekerjaan kecil apa pun yang bisa kulakukan, dari mencuci piring hingga membantu di pasar. Aku tahu jalannya masih panjang, tapi aku merasa ada harapan. Aku tahu, selama aku tetap berusaha, aku bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untuk ayahku.
Ayah adalah pahlawan sejati dalam hidupku. Ia mengajarkan arti cinta dan pengorbanan tanpa batas. Dan meskipun aku tak punya banyak, aku akan terus berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Karena bagiku, kebahagiaannya adalah tujuan hidupku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H