"Kenapa nggak makan di sini saja? Ambil saja, nggak usah sungkan," katanya sambil tersenyum.
Aku merasa hatiku mencair sedikit. Tapi saat aku melangkah ke dapur untuk mengambil nasi, rasa malu itu kembali muncul. Aku merasa seperti beban. Bagaimana mungkin aku bisa makan di sini, sementara Ayah selalu berkata buruk tentang Kakakku?
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiran-pikiran itu terus berputar di kepalaku. Ayah, dengan segala keluhannya tentang Kakakku, dan Kakakku, dengan senyum lembutnya yang selalu membuatku merasa diterima. Aku merasa terjebak di antara dua sisi yang saling bertentangan.
Aku mencoba mengingat masa kecil kami. Dulu, Kakakku adalah orang yang selalu melindungiku. Ketika aku jatuh dari sepeda, dia yang mengobati lukaku. Ketika aku dihukum di sekolah, dia yang membelaku di depan guru. Bagaimana mungkin aku bisa memusuhi seseorang yang dulu begitu banyak berkorban untukku?
Akhirnya, aku memutuskan untuk berbicara dengan Ayah. Malam berikutnya, setelah makan malam, aku duduk di sampingnya di ruang tamu.
"Ayah, boleh aku bicara?" tanyaku dengan suara yang hampir berbisik.
Ayah menatapku, sedikit terkejut. "Tentu. Ada apa?"
Aku menarik napas dalam-dalam. "Ayah, aku tahu Ayah kecewa pada Kakak. Tapi aku juga tahu Kakak tidak seperti yang Ayah pikirkan. Dia masih peduli pada keluarga ini, pada Ayah, dan padaku. Aku tidak ingin terus-terusan mendengar hal-hal buruk tentang Kakak. Aku ingin kita semua damai. Bisakah Ayah mencoba memaafkan Kakak?"
Ayah terdiam lama. Wajahnya sulit dibaca. Aku tahu ini tidak mudah baginya. Dia mungkin merasa dikhianati oleh anaknya sendiri, tapi aku harus mengatakan ini. Aku harus mencoba.
Keesokan harinya, aku kembali ke rumah Kakakku. Kali ini, aku tidak ragu untuk duduk di meja makan dan berbicara dengannya. Aku menceritakan semuanya, tentang Ayah, tentang perasaanku, tentang kebingunganku. Kakakku mendengarkan dengan sabar, lalu menggenggam tanganku.
"Kamu tidak perlu merasa terjepit," katanya. "Kita keluarga. Apa pun yang Ayah katakan, aku tidak akan pernah membencimu."
Kata-kata itu membuatku menangis. Untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit beban di dadaku terangkat.