Sebagai dampak dari wabah covid-19 yang dinyatakan sebagai bencana nasional dan di beberapa daerah diberlakukan pembatasan sosial berskala besar yang telah merubah pola kehidupan masyarakat di mana sebagian besar lapangan pekerjaan harian menjadi tidak bisa dilakukan, sebagian perusahaan melakukan PHK yang akhirnya Pemerintah membuat kebijakan pemberian bantuan sosial sebagai bentuk tanggung jawab sosial negara kepada rakyatnya. Bantuan sosial ini sebagai penyangga atas terganggunya penghasilan sehari-hari akibat tidak bisa bekerja sebagaimana biasanya.
Beberapa bentuk bantuan sosial ini adalah bantuan langsung tunai, bantuan sembako, insentif kartu prakerja baik dari sumber dana APBN, APBD maupun APBDes yang mengalami realokasi dan refokusing anggaran. Kemungkinan besar bantuan sosial ini akan diberikan selama tahun 2020. Untuk 3 bulan pertama yaitu April, Mei, Juni jumlah nominal bantuan sosial yang diberikan sebesar Rp. 600.000 perorang perbulan. Namun selanjutnya mulai bulan Juli hingga Desember nominal yang diberikan turun menjadi Rp. 300.000 perorang perbulan.
Jumlah anggaran pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi covid-19 sebesar Rp.641,17 trilyun. Anggaran untuk dukungan konsumsi baik bantuan sosial maupun subsidi sebesar Rp. 172,1 trilyun. Anggaran untuk bantuan langsung tunai desa sebesar Rp. 31,8 trilyun. Â
Beberapa permasalahan yang terjadi di lapangan dalam penyaluran bantuan sosial ini antara lain : ketidaksinkronan data, penyaluran bantuan yang tidak merata, masyarakat penerima yang tidak tepat sasaran, ketidakjelasan prosedur maupun ketidakjelasan persyaratan penerima bantuan.
Saya menyoroti tentang bantuan langsung tunai yang diberikan kepada masyarakat melalui kepala desa. Ketidakmampuan kepala desa dalam menguasai regulasi yang ada, lemahnya pembinaan dan pengawasan serta daya tarik uang tunai di mata semua lapisan masyarakat membuat fungsi sosial dari bantuan langsung tunai menjadi tercederai.Â
Persyaratan utama yang berhak mendapatkan bantuan langsung tunai yaitu kehilangan mata pencaharian akibat covid-19 tidak tersosialisasikan dengan baik. Yang beredar di sebagian masyarakat adalah informasi bahwa bantuan langsung tunai diberikan kepada masyarakat yang terdampak covid-19.
 Akibatnya yang merasa berhak mendapatkan bantuan langsung tunai menjadi ratusan orang. Sedangkan yang sebenarnya berhak untuk mendapatkannya hanya puluhan orang saja. Sehingga nominal yang diperoleh keseluruhan yang merasa berhak tersebut menjadi di bawah dari Rp. 600.000 perorang perbulan. Ketersediaan dananya menjadi kurang. Padahal apabila yang memperoleh bantuan langsung tunai tersebut hanya diberikan kepada yang berhak saja bisa memperoleh Rp. 600.000 perorang perbulan dan ketersediaan anggarannya bisa berlebih.
Oleh karena itu pola bantuan langsung tunai ini sudah saatnya dievaluasi kembali. Kondisi di mana penerima bantuan yang tidak tepat sasaran menjadikan pemborosan anggaran yang merata di sebagian besar desa. Kondisi berkurangnya nominal yang diterima menjadikan tujuan utama bantuan langsung tunai menjadi tidak tercapai.Â
Di sisi lain pendapatan negara jauh berkurang. APBN mengalami defisit anggaran. Dibutuhkan penghematan pengeluaran anggaran. Bantuan langsung tunai yang tidak tepat sasaran merupakan salah satu bentuk pemborosan anggaran. Dalam satu kecamatan anggaran bantuan langsung tunai bisa mencapai milyaran perbulannya yang apabila penyalurannya tepat sasaran hanya membutuhkan ratusan juta saja.
Oleh karena itu atas nama penghematan anggaran maka pola bantuan langsung tunai ini harus dirubah mekanismenya dengan pola baru yang lebih menjamin penyalurannya lebih tepat sasaran. Salah satu alternatif pola baru tersebut adalah pola padat karya dan pola gotong royong. Setiap masyarakat yang kehilangan mata pencaharian akibat covid-19 diberikan pekerjaan baru berupa padat karya dan gotong royong.Â
Pekerjaan yang dilakukan cukup yang bersifat pemeliharaan fasilitas umum dan infrastruktur pedesaan seperti pembersihan saluran air, jalan umum, pengecatan tempat ibadah dan sekolah, rehabilitasi ringan infrastruktur. Dengan pola ini maka yang tidak kehilangan mata pencaharian tidak akan bisa ikut serta.Â
Apalagi yang memiliki kemampuan ekonomi di atas rata-rata jelas tidak akan bersedia ikut serta. Dengan demikian maka terjadi seleksi secara alami terhadap penyaluran bantuan sosial pola padat karya dan gotong royong ini. Uang negara tidak terbuang sia-sia karena ada produk fisik yang dihasilkan. Sedangkan terhadap masyarakat yang benar-benar tidak mampu bekerja lagi akibat umur maupun kekurangan fisik bisa diberikan perluasan program keluarga harapan. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Rahmad Daulay
2 Juli 2020
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H