Mohon tunggu...
Rahmad Cherry
Rahmad Cherry Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional, UIN Jakarta

Mahasiswa Hubungan Internasional yang memiliki ketertarikan yang kuat dalam hal international affairs, seperti geopolitik, pertahanan, keamanan, hukum internasional, ekonomi internasional, dsb.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Upaya Indonesia di Bawah Prabowo dalam Pengelolaan Risiko Ancaman Nuklir Semenanjung Korea

14 September 2024   17:58 Diperbarui: 14 September 2024   18:05 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Permasalahan nuklir di Semenanjung Korea merupakan ancaman yang besar, tidak hanya bagi kawasan Semenanjung Korea itu sendiri, namun juga bagi seluruh kawasan Indo-Pasifik, tidak terkecuali bagi Indonesia. Hal ini membuat isu nuklir di Semenanjung Korea tidak dapat dianggap sebagai isu yang biasa saja, namun merupakan salah satu isu penting yang menyangkut keamanan dan stabilitas kawasan.

Selama beberapa tahun ke belakang, Indonesia bersama ASEAN dapat dikatakan kurang berusaha andil dalam penyelesaian risiko ancaman nuklir di Semenanjung Korea, di lain sisi, risiko ancaman nuklir semakin panas setelah Korea Selatan secara resmi membekukan Comprehensive Military Agreement (CMA) dengan Korea Utara karena dianggap melanggar perjanjian dengan peluncuran satelit pada November 2024 (CFR, 2024).

Hal ini membuat Indonesia harus sudah mulai menyadari efek ancaman yang dapat mengganggu stabilitas keamanan, terutama bagi kawasan Asia Tenggara sebagai wilayah strategis bagi Indonesia. Sejak terpilihnya Prabowo Subianto (Prabowo) sebagai presiden terpilih Indonesia untuk periode 2024-2029, arah kebijakan luar negeri Prabowo harusnya mulai menunjukkan kepedulian pada isu-isu keamanan yang tentunya berdampak pada stabilitas kawasan dan negara.

Ancaman Nuklir di kawasan Indo-Pasifik

Kondisi keamanan Indo-Pasifik saat ini dapat dikatakan berada dalam mix of nuclear multipolarity dan minimal arms control (Oudenaren dan Truesdale, 2021). Ini berarti bahwa kawasan Indo-Pasifik dalam kondisi dikelilingi oleh negara-negara dengan persenjataan nuklir, sekaligus kurangnya kekuatan dalam mengontrol persenjataan nuklir tersebut. 

Salah satu isu nuklir yang paling besar di kawasan Indo-Pasifik tentunya nuklir di Semenanjung Korea, dalam KTT Asia Timur (East Asia Summit) 2023 lalu di Jakarta, Presiden Korea Selatan, Yoon Suk-yeol mengatakan bahwa ancaman nuklir dan misil Semenanjung Korea telah meningkat sehingga ancaman eksistensial yang dihadirkan juga dirasakan bagi kawasan Indo-Pasifik (KBS World, 2023). 

Menurut laporan dari Institute for Science and International Security (ISIS), estimasi pada tahun 2022, Korea Utara diperkirakan memiliki antara 35 hingga 65 senjata nuklir dengan median sekitar 45 senjata nuklir. Ini terdiri dari berbagai tipe senjata, termasuk senjata fisi sederhana, senjata dengan inti komposit, dan senjata termonuklir satu tahap (ISIS, 2023). 

Walaupun angka senjata nuklir tersebut tidak sebesar negara-negara major powers, namun angka tersebut sudah cukup signifikan bagi kawasan Indo-Pasifik. Setiap senjata nuklir di Semenanjung Korea dapat menyebabkan kehancuran besar dan mengguncang keseimbangan keamanan di Indo-Pasifik. Hal ini dipertegas oleh Kim Jong Un yang menyerukan untuk melakukan peningkatan eksponensial dalam ukuran persenjataan nuklir negaranya (VoA, 2024).

Pentingnya Stabilitas Keamanan di Indo-Pasifik

Kawasan Indo-Pasifik, spesifiknya Asia Tenggara memiliki posisi geostrategis yang penting, terutama karena kawasan tersebut merupakan persimpangan jalur perdagangan internasional. Ketegangan di kawasan seperti Laut China Selatan acap kali menjadi ancaman terhadap stabilitas keamanan negara-negara ASEAN (Dachi, dkk, 2023). Namun, sayangnya, ancaman nuklir di Semenanjung Korea masih luput dari pengawasan negara-negara ASEAN, termasuk bagi Indonesia.

Pada KTT ASEAN 2023 lalu, Jakarta mendefinisikan ASEAN centrality sebagai sebuah konsep yang menekankan bahwa ASEAN harus menjadi platform regional yang dominan untuk mengatasi tantangan bersama dan terlibat dengan kekuatan eksternal (ASEAN, 2023). Ini berarti bahwa Indonesia bersama ASEAN harusnya dapat melakukan upaya kolektif bersama negara-negara eksternal, terutama di kawasan Asia Timur untuk berunding dalam hal pengendalian nuklir di Semenanjung Korea.

Padahal jika rekayasa konflik senjata nuklir di Semenanjung Korea membesar, ini akan berdampak pada rantai pasok di kawasan Asia Tenggara, dengan banyaknya jalur perdagangan utama melalui Asia Tenggara, termasuk Selat Malaka yang dapat terganggu. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kegiatan ekspor-impor dan meningkatkan biaya logistik secara drastis, serta mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 

Oleh karena itu, ini menegaskan bahwa isu Semenanjung Korea merupakan salah satu isu yang dapat mengganggu stabilitas keamanan di Indo-Pasifik, termasuk bagi Indonesia. Sehingga isu ini haruslah diperhatikan oleh Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo nantinya, mengingat Prabowo memiliki latar belakang sebagai seorang yang berasal dari bidang pertahanan.

Rekomendasi

Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo dapat melakukan upaya-upaya untuk turut andil dalam pengendalian efek risiko nuklir di Semenanjung Korea. Mengingat kekuatan militer, pengaruh, dan material lainnya yang Indonesia miliki masihlah terbatas, sehingga rekomendasi ini dibuat dengan mempertimbangkan individu Prabowo sebagai Presiden 2024-2029, serta upaya yang dapat dilakukan Indonesia secara kolektif.

1. Meyakinkan negara-negara major powers untuk dapat berkolektif dalam merespons ancaman nuklir

Prabowo sejak menjadi presiden terpilih Indonesia, setidaknya Prabowo telah melakukan kunjungan sebanyak 17 negara, termasuk China dan Rusia, dengan fokus kunjungannya pada aspek pertahanan dan prospek kerja sama bilateral untuk isu-isu strategis ke depannya (Kemenhan, 2024). 

Hal ini memberikan gambaran bagaimana pemahaman Prabowo terhadap isu-isu strategis internasional sangatlah besar. Prabowo juga memiliki kemampuan baik secara komunikasi maupun diplomasi untuk meyakinkan para pemimpin negara untuk dapat bekerja sama dalam hal-hal yang dianggap ancaman negara maupun kawasan. Hal ini membuat Prabowo memiliki peluang atas kerja sama tersebut.

Salah satu yang nantinya harus dapat Prabowo yakini adalah calon presiden Amerika Serikat, baik Trump maupun Harris, haruslah menjadi perhatian Prabowo, siapa nantinya yang akan memegang kekuasaan di AS. Hal ini, karena AS major power yang dapat turut serta secara efektif dalam menangani isu nuklir di Semenanjung Korea. Pada tahun 2024 saja, AS dan Korea Selatan telah menandatangani strategis pedoman nuklir untuk menghalangi dan merespons aktivitas nuklir di Semenanjung Korea melalui KTT NATO (Reuters, 2024). 

2. Indonesia leading collective action melalui forum-forum ASEAN 

Indonesia tidak dapat menyelesaikan permasalahan nuklir di Semenanjung Korea secara mandiri, melainkan Indonesia harus secara kolektif bekerja sama dalam penyelesaian masalah tersebut. ASEAN merupakan wadah yang strategis bagi Indonesia untuk pengelolaan risiko nuklir di Semenanjung Korea. 

ASEAN telah menunjukkan komitmennya untuk menjaga kawasannya terbebas dari senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya melalui Treaty of Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFZ) pada tahun 1995 (ASEAN, 2024). Hingga pada tahun 2019 lalu, ASEAN mendefinisikan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific sebagai kepentingan ASEAN dalam memimpin arsitektur ekonomi dan keamanan, serta melanjutkan upaya perdamaian, keamanan, stabilitas di Asia tenggara sekaligus di seluruh kawasan Indo-Pasifik (ASEAN, 2019).

Melalui kerangka ini, hal ini jelas bahwa Indonesia dan anggota ASEAN lainnya telah bersepakat untuk menghalang segala kemungkinan ancaman nuklir baik di dalam kawasan ataupun  di sekitar kawasan Asia Tenggara. Untuk mempertemukan negara-negara eksternal power yang memiliki nuklir tersebut, Indonesia dapat memanfaatkan East Asia Summit (EAS), ASEAN Regional Forum (ARF), ASEAN +3, maupun ASEAN Defense Ministers Meeting Plus (ADMM+).

Ditambah, Indonesia pada tahun 2027 akan berkesempatan kembali untuk menjadi sekretaris jenderal untuk ASEAN, sehingga ini dapat menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk bermain secara lebih aktif dalam menjaga kepentingan keamanan negara maupun keamanan kawasan.

3. Melakukan diplomasi jalur II 

Selain memanfaatkan kekuatan pemerintah, Indonesia juga dapat membentuk diplomasi jalur II, dengan melibatkan akademisi, lembaga swadaya masyarakat, ataupun think-tank. Diplomasi jalur II melalui ASEAN, memungkinkan dialog yang dilakukan dapat secara lebih bebas serta membawa hal-hal sensitif yang mungkin tidak dapat dibahas pada diplomasi jalur I.

Menurut Hasjim Djalal, diplomasi jalur II dapat berperan penting dalam memecahkan kebuntuan diplomasi formal. Melalui dialog diplomasi ini, pemerintah dapat mendapatkan informasi-informasi yang sensitif yang mungkin sulit untuk didapatkan melalui jalur formal (Djalal, 2001).

Beberapa lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang Think-Tank yang bergerak dalam isu pertahanan yang dapat dimanfaatkan oleh Prabowo nantinya seperti CSIS, ISDS, FPCI, Lemhanas, Habibie-Center, dan lain-lain. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun