Ayahku hanyalah seorang pekerja serabutan, pernah menjadi penjual es gerobak di pinggiran jakarta, pernah menjadi hansip di perkebunan di sumatera, pernah menjadi penggalas pisang, pernah menjadi penjaga kolam ikan, pernah menjadi petani tanah sewaan, pernah menjadi tukang pijat dan mungkin pernah menjadi yang lainnya yang tak sempat ku ketahui, karena ia telah berpulang ke sisi Nya saat aku kuliah di tingkat I.
Namun ia juga sempet di interogasi oleh pihak keamanan akibat berteriak "Hidup Golkar" padahal golkar belum ada? hmm.. aneh ..dan aku belum menemui jawabannya sampai sekarang kenapa itu bisa terjadi.
Ia juga sempat dekat dengan salah satu calon panglima abri dulunya.
Meski hanyalah orang biasa, aku kagum dengannya, terlepas dari kekurangannya. bukan hanya karena ia tidak pernah marah padaku (mungkin karena aku anak paling kecil), tapi aku melihat ketulusannya dalam membimbing dan menghidupi anak-anaknya. dan sewaktu kecil aku selalu ingin di dekatnya, sampai menjaga kolam ikan kami yang jauh dari pemukiman hingga aku kerap kali sering telat ke sekolah dan tanpa mandi terlebih dahulu.
Kulihat sosok berdedikasi dan loyal darinya.
Ia pernah menghadang buldozer PT perkebunan yang ingin mengambil tanah milik rakyat. tapi ia juga pernah berhadapan langsung dengan rakyat membela tanah yang memang hak PT perkebunan negara.
Ia selalu tersenyum dan ceria dan suka bercanda. meski hidup kami serba kekurangan, kadang makan kadang tidak. meski sering kali lauk makan kami sering kali sisa-sisa gorengan minyak makan yang biasa kami sebut minyak jelantah, aku dan saudara2 ku bangga dan sayang kepadanya.
Ia sering memberi petuah-petuah dan wejangan yang sering kali menyejukkan hatiku. Ia tidak pernah menyuruhku, ia selalu meminta dan bertanya terlebih dahulu jika ingin kau membantunya dan ia tidak pernah marah dan memaksaku jika terkadang muncul rasa malasku untuk mengerjakan apa yang ia minta. ia hanya tersenyum dan berkata sesuatu yang tidak membuat tak enak hatiku.
Kami tinggal di sekitar perkebunan milik negara. ia pernah berpesan, jangan kalian ambil tanah "kebon" meski sejengkal, karena tak ada hak kita meski sejengkal atas tanah tersebut, dan masalah tanah ini panjang dan rumit. dulu waktu mendengar itu kami hanya bisa mengangguk saja tak mengerti apa maksud perkataannya. tapi sekarang jelaslah sudah, sengketa tanah perkebunan negara ini tiada habisnya, saling serobot dan saling klaim kepemilikan tanah hgu ptpn semakin tiada berujung. konflik horizontal dan vertikal terus bermunculan. kalo sudah begini siapa yang salah?
hmmm.. aku ingat, dulu juga ayahku pernah berkata, kalo mau jadi militer jangan masuk polisi. "kenapa pak?" tanyaku. "ya, polisi nanti bakalan pisah dari abri" ucapnya. "nanti bakalan jadi sipil, tapi sipil yang dipersenjatai". wah.. ternyata bener, padahal itu diucapin taon 80 an. berapa tahun ya sebelum polisi benar-benar pisah dari TNI?
Sampai saat ini tidak bisa hilang dari memory ku, saat dia tersenyum bangga, ketika ku kabarkan bahwa aku lulus di universitas negeri favorite di daerahku. meski aku dan ia bingung mau bayar pakai apa untuk uang masuknya?
my lovely "Bapak" semoga damai dan tenang di sana. Amin ya Robbal Alamin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H