Mohon tunggu...
Rahmad Alkhadafi
Rahmad Alkhadafi Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar

Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengenal Apa Itu Filsafat

29 Januari 2024   12:40 Diperbarui: 29 Januari 2024   14:21 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu Filsafat?

Pertanyaan ini sangat sederhana, biasanya hal yang dianggap sederhana tidak sesederhana jawabannya. Seorang ahli filsafat pun bisa mengalami kesulitan jika ditodong oleh awam dengan pertanyaan tersebut. 

Kenapa seorang ahli filsafat harus merasa kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu? Hal itu bukan karena dia sendiri tidak tahu apa yang dikerjakannya, melainkan karena dia tidak bisa menjelaskan kepada orang yang tetap tinggal di luar alam pikiran itu. 

Filsuf Perancis Henri Bergson pernah mengatakan bahwa filsafat dapat dibandingkan dengan olah raga renang. Kita dapat menjelaskan dengan panjang lebar apa itu berenang, tetapi orang yang belum tahu tentang olah raga itu tidak akan pernah mengerti sebelum ia mencobanya sendiri. 

Hanya ada satu cara untuk belajar berenang, yaitu terjun dalam air dan mulai saja. Demikian juga orang yang ingin tahu apa itu filsafat mau tidak mau harus terjun di dalamnya dan coba sendiri. Apa itu filsafat tidak bisa dijelaskan dari luar.

Secara bahasa, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata ini adalah gabungan dari dua kata, yaitu philein (mencintai) dan sophia (kebijaksanaan). Oleh karena itu, filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan.

Secara istilah, para filsuf berbeda dalam memberikan pendapatnya tentang filsafat. Menurut penulis, hal itu sah-sah saja, sebab filsafat adalah rumah setiap orang dan mereka berhak mendefinisikannya berdasarkan kemauan mereka, dengan catatan definisinya tidak mencederai ibu kandungnya (logika).

Saidul Amin, beliau adalah dosen filsafat Islam di UIN Suska Riau dan adalah guru penulis, mengilustrasikan filsafat itu seperti mengembara di lautan lepas. Terlalu banyak riak-riak ombak sampai puting beliung yang akan ditemui. Ada orang yang berhasil dalam pelayaran itu dan kembali dengan mutiara hikmah serta permata kebenaran. Namun tidak jarang yang kembali dengan tangan kosong. Bahkan ada yang tidak pernah kembali lagi. Dia telah hanyut dalam arus pemikiran, hilang ditelan samudera peradaban.

Filsafat itu mencari kebenaran. Para pencari kebenaran (filsuf) adalah orang yang memandang bahwa akal yang merupakan karya pamungkas Tuhan akan mampu menemukan kebenaran. Kata Al-Kindi, kebenaran yang ditemukan oleh para filsuf hanya sebatas kemampuan mereka. Dalam arti, kebenaran yang dicapai oleh para filsuf bukan kebenaran sejati, dan mereka sadar akan hal itu, dan mereka terbuka terhadap kritikan dan penolakan terhadap kebenaran yang ditemukannya.

Fahruddin Faiz, beliau adalah dosen filsafat Islam di UIN Suka Yogyakarta dan juga guru penulis, mengatakan bahwa Filsafat  adalah sebuah tantangan, tantangan untuk tidak hidup secara mekanis, ikut-ikutan, taklid dan 'mengalir' tanpa tahu kemana, untuk apa dan mengapa. Pendapat beliau ini terinspirasi dari Socrates, yang mengatakan hidup yang tidak diuji adalah kehidupan yang tidak berharga (the unexamined life is not worth living).

Tantangan untuk menguji hidup ini tampaknya semakin menemukan relevansinya saat ini, zaman yang penuh dengan kemajuan teknologi dan globalisasi informasi tidak hanya telah menjadi konsumsi sehari-hari manusia, tetapi juga telah mempengaruhi hampir semua sisi dalam hidup dan kehidupan manusia.

Sebagian besar orang hari ini dipengaruhi kemauan, keinginan sampai kebutuhannya oleh berbagai media informasi, baik yang berskala lokal, regional, nasional, maupun global. Mulai model pakaian, merek kenderaan, jenis smartphone sampai aturan ketatanegaraan mengalami gejala ini.

Mungkin membaca misi filsafat yang mendorong setiap orang untuk menguji hidupnya sendiri membuat kita takut kepada filsafat, atau memiliki ketidaksetujuan tertentu kepada filsafat. Boleh saja jika kemudian karena ketidaksetujuan itu kita bertekad untuk tidak melibatkan sama sekali filsafat dalam hidup kita. Namun kita perlu mencatat bahwa setiap orang sebenarnya berhak dan layak untuk masuk dan bergelut dalam dunia filsafat. 

Setidaknya setiap orang memiliki filosofi hidup sendiri-sendiri, misalnya ada orang yang memiliki prinsip hidup 'kuliah dulu-baru menikah', 'sikat dulu, urusan belakangan', 'jangan sampai saya tidak jujur kepada orang tua', 'berbohong asal membawa keuntungan itu tidak apa-apa', 'setiap tindakan harus menghasilkan uang', 'mangan ora mangan sing penting kumpul', atau 'kumpul ora kumpul sing penting mangan', atau 'lebih baik mati dari pada malu', dan mungkin ada pula yang memiliki filosofi 'lebih baik malu dari pada tidak punya duit'. Itulah filosofi hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun