Mohon tunggu...
Rahmad Muarif
Rahmad Muarif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Andalas

Seorang Mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Universitas andalas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketika Komunis Menguasai Informasi: Media massa Indonesia 1959-1965

16 Juni 2024   13:44 Diperbarui: 16 Juni 2024   13:50 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 1959 sering digambarkan oleh kalangan pers sebagai awal dari masa suram kehidupan demokrasi di Indonesia, termasuk kebebasan pers. Pamor kehidupan dan kebebasan politik pada masa Demokrasi Liberal digantikan oleh sistem politik baru yang lebih "terpimpin" dan otoriter. Pergolakan internal dalam tubuh tentara Angkatan Darat, terutama para perwira menengah yang pada akhirnya mengambil alih pemerintahan di daerah, semakin memperparah kemelut kehidupan politik di Indonesia. Atas nama dan demi keamanan-ketertiban maka TNI-AD di Jakarta -- dengan didukung oleh pemerintah (Perdana Menteri Djuanda) dan direstui oleh Presiden Soekarno -- memberlakukan negara dalam keadaan bahaya (SOB, Staat van Oorlog en Beleg) pada tahun 1957. Perangkat perundang-undangan tentang SOB memberikan kekuasaan tanpa batas kepada pemerintah dan tentara, termasuk untuk mengatur dan mengendalikan kehidupan pers. 

Langkah awal penguasa untuk mengatur dan mengendalikan kehidupan pers terjadi pada tanggal 1 Oktober 1958 ketika Penguasa Perang Daerah (PEPERDA) Jakarta Raya mewajibkan semua penerbitan pers di daerahnya untuk mendapatkan Surat Izin Cetak (SIC). Dengan peraturan ini penguasa di Jakarta bisa menentukan mana pers yang layak mendapatkan SIC atau tidak. Kepada pers yang moderat dan akomodatif dengan kepentingan politik pemerintah dan tentara, tentu saja akan dengan mudah untuk mendapatkan SIC. Sebaliknya, bagi pers yang bersikap keras dan oposisional, jangan berharap bisa dengan mudah untuk mendapatkan SIC. Kalangan Pers pun menilai kebijakan PEPERDA Jakarta Raya itu sebagai tanda matinya kekebasan pers di Indonesia. Surat kabar yang masih terbit harus mengikuti kehendak penguasa, karena bisa saja sewaktu-waktu SIC itu dicabut oleh penguasa. 

Pada tahun 1959 Kebijakan PEPERDA Jakarta Raya itu kemudian oleh diberlakukan di semua wilayah Indonesia. Inilah awal dari sebuah periode yang dikenal sebagai "pers terpimpin", mengikuti sistem politik Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan oleh Presiden Soekarno melalui dekritnya pada tanggal 5 Juli 1959, di mana tidak ada lagi kebebasan untuk mengkritik penguasa (dalam hal ini Presiden, pejabat negara dan tentara). Bahkan peraturan demi peraturan untuk mengendalikan pers terus diberlakukan pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1960, misalnya, pemerintah mengeluarkan peraturan baru agar pers mengajukan permohonan izin penerbitannya, dengan menandatangani "19 Pernyataan" untuk setia, mendukung, membela, taat, patuh, membantu, menjadi alat, tidak memuat berita sensasional dan menghina pejabat negara. 

Bagi pers yang tidak setuju dengan peraturan dan arus utama sistem politik Demokrasi Terpimpin ini lebih memilih menghentikan penerbitannya, seperti nampak dalam kasus surat kabar Harian Abadi milik Masyumi. Dalam tajuk rencananya berjudul "Pamitan" pada tanggal 31 Oktober 1960, Harian Abadi menegaskan bahwa surat kabar ini memilih "pamit" untuk tidak lagi menemui para pembacanya karena suasana untuk menyatakan pendapat di Indonesia, sudah tidak ada lagi (Harian Abadi, 31/10/1961). Sementara surat kabar lain lebih memilih jalan selamat, dengan tunduk pada peraturan pemerintah dan mau menandatangani "19 Pernyataan" untuk taat dan setia kepada penguasa. Dalam hal ini menarik untuk melihat kasus surat kabar Pedoman milik Rosihan Anwar. Betapapun pimpinan surat kabar ini menandatangani juga pernyataan tersebut, namun pada akhirnya Pedoman harus menghentikan penerbitannya pada tanggal 7 Januari 1961, karena corak pemberitaan dan pandangannya yang tetap kritis, dinilai mengganggu keamanan-ketertiban oleh penguasa, serta dikait-kaitkan dengan kekuatan politik yang telah dibubarkan oleh pemerintah, yakni PSI pimpinan Sutan Sjahrir. 

Tidak adanya pers yang kritis dan bebas di Jakarta seperti Indonesia Raya, Times of Indonesia, Nusantara, Harian Abadi dan Pedoman, menjadikan pers pada tahun 1960-an umumnya mengalami involusi pandangan dan gagasan. Sejumlah surat kabar yang terbit, mewakili berbagai partai dan keyakinan politik, harus memberikan sebagian besar halamannya -- yang hanya 4 atau 8 halaman itu untuk memuat pernyataan-pernyataan ideologis pemerintah yang sarat dengan pengulangan belaka ketimbang tentang kebijakan dan program yang realistik, selain itu, Kecenderungannya adalah bahwa pers kemudian berlomba dan saling mengklaim bahwa dirinya lebih revolusioner dan paling setia kepada Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi. 

Seiring dengan gaya kepemimpinan Presiden Soekarno yang megalomania pada tahun 1960-an, maka pers milik PKI mendapat tempat yang dominan dalam panggung politik Indonesia. Suara dari surat-surat kabar milik PKI ini, seperti Harian Rakjat, Bintang Timur dan Warta Bhakti, semakin keras dan lantang terutama ditujukan kepada lawan-lawan politiknya. Begitu juga ketika para sastrawan, wartawan, seniman dan cendekiawan yang anti PKI membuat dan menandatangani "Manifes Kebudayaan", sebuah pernyataan tentang perlunya kebebasan berekspresi dan berkarya di Indonesia, pers PKI mengejeknya dengan plesetan "Manikebu" dengan konotasi yang tidak baik dan menjijikan. Pemerintah sendiri kemudian melarang "Manikebu" karena dianggap terlalu mengedepankan faham individualisme, egoisme dan liberalisme. Para sastrawan, wartawan, seniman dan cendekiawan yang turut menandatangani "Manikebu" kemudian dicurigai, diinterogasi dan dicap kontra revolusi. 

Pada bulan Mei 1965, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru tentang pers. Sejalan dengan politik NASAKOM, pers harus menginduk kepada kekuatan-kekuatan sosial-politik yang diakui keberadaannya oleh pemerintah. Pers yang tidak memiliki "gandulan", patronase, atau afiliasi dianggap sebagai institusi yang individualis, liberal, mengambang dan tidak revolusioner. Dengan kebijakan ini maka pers komunis mendapatkan keuntungan yang besar. Sebab dari 80 surat kabar yang terbit pada masa itu, PKI yang pers resminya bernama Harian Rakjat memiliki 14 surat kabar yang berafiliasi dengannya. Sedangkan NU dengan harian Duta Masjarakat-nya hanya memiliki 7 surat kabar yang berafiliasi dengannya. 

Semakin dominannya pers PKI menjadikan kekuatan-kekuatan lain berusaha untuk mengimbanginya. Dalam hal ini TNI-AD berusaha mendorong dan melindungi penerbitan pers yang bersifat anti komunis. Terbitnya surat kabar Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata pada tahun 1965 adalah dalam rangka untuk mengimbangi pers PKI tersebut. Surat kabar Angkatan Bersendjata, misalnya, menerbitkan cabangnya di berbagai daerah, seperti Angkatan Bersendjata Edisi Djawa Barat dan Angkatan Bersendjata Edisi Djawa Timur. Juga golongan Kristen Katholik pada bulan Juni 1965 -- dengan dipelopori oleh Frans Seda, PK Ojong dan Jakob Oetama -- mendirikan surat kabar Kompas, yang pada masa-masa awal berdirinya sering diplesetkan menjadi: Kom-ando Pas-tor. Hal ini disebabkan selain karena tokoh pendirinya dari kalangan Katholik, juga karena Kompas banyak dilanggan dan dibaca oleh para pastor. Surat kabar ini dalam perkembangannya kemudian akan menjadi pers yang besar dan berpengaruh di Indonesia sampai sekarang. 

Pada peristiwa G30S/PKI terjadi hal yang menarik, Di pagi buta pada tanggal 1 Oktober 1965, mereka sudah menguasai RRI dan gedung telekomunikasi di Jakarta. Dengan dalih menyelamatkan revolusi dan melindungi Presiden Soekarno, PKI mengumumkan melalui RRI tentang tujuan gerakan, program aksi dan penyingkiran para Jenderal Angkatan Darat. Sementara itu masyarakat masih dalam kebingungan dan penuh tanda tanya tentang peristiwa penting di Jakarta, mengingat RRI merupakan satu-satunya sumber berita yang ada. Surat-surat kabar di Jakarta dilarang terbit pada tanggal 1 Oktober 1965 oleh PEPERDA Jakarta Raya. Masyarakat kemudian menyaksikan keganjilan yang terjadi pada pers milik PKI di Jakarta. Surat kabar Warta Bhakti, yang terbit dengan edisi sore, pada tanggal 1 Oktober 1965 menurunkan berita utama dan analisis berita yang bersifat mendukung G-30-S. Pada petang dan malam hari, masih tanggal 1 Oktober 1965 juga, gerakan itu ternyata begitu mudah dipatahkan oleh Panglima KOSTRAD (Komando Strategis Angkatan Darat), Mayor Jenderal Soeharto. RRI dan gedung telekomunikasi juga telah direbut kembali oleh pasukan-pasukan tentara yang setia kepada KOSTRAD. Atas nama revolusi dan Presiden Soekarno, Mayor Jenderal Soeharto mengumumkan melalui RRI bahwa mereka yang menamakan dirinya G30S adalah kontra revolusi. Namun keesokan harinya, tanggal 2 Oktober dan 3 Oktober 1965, surat kabar Harian Rakjat seperti sengaja dibiarkan untuk terbit dan berturut-turut masih menurunkan berita utama, tajuk rencana, catatan pojok dan gambar karikatur yang mendukung G-30-S.Hal ini sudah cukup bagi TNI-AD untuk menunjukkan dalih tak terbantahkan bahwa PKI berada di balik dan sebagai dalang dari peristiwa yang kemudian dikenal dengan G-30-S/PKI. 

Dengan pecahnya peristiwa G-30-S 1965 tersebut maka kontrol terhadap pers sepenuhnya berada di tangan TNI-AD. Surat-surat kabar milik PKI (Harian Rakjat, Bintang Timur dan Warta Bhakti) kemudian dibredel untuk selama-lamanya. Para wartawan yang bekerja di surat kabar, kantor berita Antara dan RRI yang dinilai "kiri" dan mendukung G30S dipecat, ditahan dan dipenjarakan oleh TNI-AD. Kini TNI-AD, di bawah kepemimpinan Mayor Jenderal Soeharto, memanfaatkan pers untuk kepentingan dan tujuan politiknya yang pasti. Ketika media TVRI menayangkan secara langsung penggalian jenazah para Jenderal di daerah Lubang Buaya. histeria psikologi massa diarahkan untuk mengutuk kekejaman PKI dan mempertanyakan sikap yang mendukung atau ragu-ragu dari kelompok lain terhadap G30S, termasuk sikap dari Presiden Soekarno sendiri. Surat-surat kabar milik TNI-AD, seperti Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata, juga terus-menerus mengekspose berita-berita dan opini yang menyudutkan PKI dan Presiden Soekarno. 

Refrensi: Andi Suwirta, 2008, Dinamika Kehidupan Pers di Indonesia pada Tahun 1950--1965: Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab Nasional, SOSIOHUMANIKA, 1(2) November 2008.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun