Calista, seorang gadis manis temenung menghadap ke arah keramaian di depannya. Calista selalu bertanya-tanya tentang makna sejatinya hidup karna sejak kecil ia hidup sebatang kara. Ayahnya meninggal saat usia Calista menginjak 9 tahun karna penyakit gagal ginjal yang dideritanya. Tidak lama dari itu, ibunya meninggal secara mendadak karena serangan hipertensi yang membuat pembuluh darahnya pecah. Sejak saat itu, Calista hidup sendiri dengan mengandalkan uang pensiun tinggalan ibunya yang tak seberapa. Seorang gadis kecil yang meramu kehidupan tanpa adanya orang tua. Jika ia menangis, rasanya sudah tak penting lagi karna baginya tangisan adalah makanan sehari-hari.
Siang itu, ia hendak pergi menuju  kampus tempatnya menuntut ilmu. Sialnya, ban motor yang biasa dikendarainya kempes sehingga membuat Calista harus menuntun jalan motor dengan penuh tenaga. Dari kejauhan, Calista melihat sebuah bengkel kecil bertuliskan "Bengkel  Pak Sarno" dapat membuatnya tersenyum karena ban motornya yang kempes segera diperbaiki. Ia terus menuntun motornya dengan penuh tenaga hingga sampai ke bengkel tersebut.
Seorang lelaki paruh baya tersenyum manis menghadap Calista.
"Siang, Dek. Ada yang bisa bapak bantu?"
"Oo iya, Pak, kebetulan ban motor saya kempes. Saya minta tolong pompakan ya, Pak.
"Baik, Dek, dengan senang hati".
Sembari menunggu motornya, Calista duduk di Bawah pohon dekat bengkel tersebut sambil membaca buku filsafat pemberian temannya. Entah sudah berapa lama, Calista ingin mendalami filsafat untuk mendapatkan jawaban dari segala pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi isi kepalanya. Wajar setelah orang tuanya meninggal, ia belum menemukkan sosok yang dapat membuatnya tenang.
Setelah menunggu kurang lebih 20 menit, motor Calista siap untuk dikendarai kembali.
"Berapa, Pak?"
"Tidak perlu, Dek, uangnya simpan saja. Kebetulan Jumat berkah, Â saya ingin sedikit berbagi".
"Wah, terima kasih, Pak"
"Sama-sama, Dek, semoga selamat sampai tujuan".
Calista merasa senyum hangat yang terlukis dari bibir bapak yang ia jumpai di bengkel membuatnya merindukkan sosok seorang ayah. Bagi Calista, ayahnya adalah seseorang yang mengerti segala apa yang diinginkan dan dimiliki Calista. Ayahnya tak segan memeluk Calista, ketika ia merasa terpuruk dan sedih. Kini, saat kesedihan merasuki benak Calista, yang ia lakukan hanya duduk termenung sendiri di keramaian seakan-akan melihat ayahnya berlari mengulurkan tangan menuju Calista
Keluarga yang seharusnya ada untuk Calista, justru membuatnya semakin terpuruk akan kesedihan yang ia alami. Baginya, keluarga adalah mimpi buruk, karena mereka hanya mengambil segala sesuatu yang Calista miliki tanpa memedulikannya. Hingga Calista merasa bahwa hidupnya tidak bermakna, karna segala sesuatu yang ia punya hanyalah kesedihan dan ratapan penyesalan.Â
Pertanyaan pencarian makna ikhlas hampir menemui jalan buntu yang membuat Calista menyalahkan kehendak yang semestinya terjadi. Bagi Calista, filsafat yang ia pelajari membuatnya yakin bahwa sesuatu ada karna berpikir. Namun, Calista mempertanyakan adanya entitas sesuatu yang datangnya tiba-tiba tanpa ada suatu pemikiran yang panjang.
Selepas Calista pergi dari bengkel tersebut, Calista terus berpikir dengan melihat apa yang dilakukan oleh Bapak penambal ban  yang ikhlas memberikan tenaganya untuk menolong Calista. Calista berpikir, apakah bapak tersebut tidak memikirkan anak istrinya di rumah yang sedang membutuhkan uang atau semesta telah menjadikan bapak tersebut ikhlas memberikan tenaganya tanpa mengharap imbalan apapun. Bagi Calista, pencarian makna hidup memang belum ia dapatkan. Namun, ia meyakini adanya sesuatu ketetapan pertemuan dengan seseorang yang memiliki makna atas kehendak semesta.
Pertemuan dengan bapak penambal ban dapat Calista petik pelajaran sebagai bagian dari proses keikhlasan. Calista meyakini bahwa ikhlas hadirnya dari hati dan bukan paksaan. Calista yakin, bahwa apa yang dilakukan oleh bapak penambal ban bukan tanpa sebab.Â
Baginya, keikhlasan ada karna menuai sebuah proses yang ia yakini terdapat nilai di dalamnya. Setiap manusia menghendaki sesuatu yang sekiranya terbaik untuk mereka. Ketenangan hati yang membuat seseorang lebih inklusif menemukan jati diri yang diyakininya sebagai bagian dari proses hidup.
Calista memahami bahwa ia belum sepenuhnya ikhlas kepada takdir yang terjadi pada dirinya. Ia selalu bertanya, mengapa hidupnya ditakdrikan sendiri tidak seperti anak-anak lain yang dibelai lembut oleh orang tuanya. Bahkan setelah 8 tahun kepergian ayah dan ibunya, Calista sedikit lupa akan hangatnya suara yang membuat hatinya tenang.Â
Calista terus mencari seseorang yang dapat memberikannya jawaban akan makna hidup meskipun pada akhirnya batin Calista terus memberontak. Hingga membuat Calista yakin  bahwa ia tidak akan sepenuhnya menemukan seseorang memberi jawaban akan pertanyaannya namun, Calista yakin bahwa ia akan mendapatkan makna ikhlas dari perjalanan hidup yang  dilaluinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H