Mohon tunggu...
Rahmawati Atjo
Rahmawati Atjo Mohon Tunggu... Lainnya - Menulislah, Karena Kau Bukan Anak Raja

Komunitas Aktif Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berbeda Orientasi Salahkan Beropini

21 Februari 2021   05:27 Diperbarui: 21 Februari 2021   05:43 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh Rahma  Atjo

Persoalan bukan terletak pada apa yang ditampilkan, tapi terletak pada isi kepalamu. Itu yang kurang lebih disampaikan netizen ketika yang lain berbeda pendapat. Sebut saja Fulan yang telah menanggapi sebuah tayangan video terkait adanya seorang pemuda yang memiliki perhatian lebih pada sekawanan harimau yang hampir mati di sebuah kebun binatang.

Diawali saat pemuda tersebut bersama anaknya mengunjungi sebuah kebun binatang dan mendapati hewan yang ada rata-rata sangat kurus karena asupan makanan tidak cukup. Ini disebabkan krisis yang melanda negara sang pemuda.

Melihat kondisi di depan mata, maka terbersitlah keinginannya untuk menyampaikan ke pihak yang berwenang, namun tidak ditanggapi. Berkali-kali dilakukan upaya tetap hasilnya nihil.  Akhirnya pemuda tadi memanfaatkan media sosial untuk menyelesaikannya.

Tanggapan luar biasa, donasi berdatangan dari berbagai negara untuk membantu pemuda tadi. Intinya video itu menggambarkan perhatian yang sangat tinggi dan kerja keras ternyata akan membuahkan hasil.

Media sosial adalah media untuk bersosialisasi, alat untuk menghubungan satu dengan lainnya tanpa batasan jarak dan waktu. Dan media sosial ini merupakan tempat bertemunya hal yang tak sama, seperti suku bangsa, agama, ras, pendapat dan lain sebagainya.

Maka sangat lumrah saat ditemukan perbedaan-perbedaan terhadap sebuah obyek yang ditampilkan. Dengan latar belakang dan sudut pandang yang tak sama, maka respon masing-masing jelas berbeda.

Kembali ke persoalan  video tadi, muncullah pendapat Fulan tentang aktivitas sang Pemuda. Isinya kurang lebih menyatakan harapan  lain. Jikalau hewan ada empati yang luar biasa, mengapa tidak dengan manusia yang hingga kita tidak memiliki kondisi layaknya manusia hidup. 

Fulan juga menyertakan daerah-daerah yang dimaksud seperti Suria, Palestina, Uighur, Myanmar, Yaman. Notabene negara-negara ini tempat bermukimnya muslim.

Terlepas dari agama yang dianut penduduk negara-negara tersebut, minimal dari sisi kemanusiaan tentu harusnya ada empati kita sesama makhluk Tuhan. Begitu kira-kira argumen Fulan saat menjawab kritikan netizen tentang komentarnya. 

Berbagai nada tidak suka atas respon Fulan, dengan berbagai alasan.  Sampai mengejek profil Fulan dengan menyebut 'sampah' karena tampak ada istilah 'khilafah' di situ. Namun ada pula beberapa netizen yang setuju dengan pandangan Fulan.

Pengalaman adalah guru yang baik

Apapun yang terjadi pada si Fulan,  tentu bisa menjadi pelajaran. Bahwa isi kepala setiap orang berbeda dan itu adalah rahmat Allah atas perbedaan yang ada. Namun ejekan atas  pandangan Fulan tentu tak perlu terjadi. Yang perlu ditonjolkan adalah bahwa berbeda adalah rahmat. Terkait dengan apa isi kepala masing-masing tentu tidak perlu saling merendahkan.

Dalam Surah Al-Hujurat ayat 11 telah ditegaskan, Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). 

Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Apalagi Fulan hanya sekedar menyampaikan harapannya terkait menyuarakan penduduk yang kondisinya terdzolimi, dan tidak mengkritisi masalah besarnya perjuangan atas  hewan yang itu mendapat pujian luar biasa. Belum lagi soal khilafah.

Apa yang salah jika seseorang membawa misi khilafah dalam kehidupannya, terlebih khilafah adalah ajaran agama yang dianut Fulan. Bukankah di era demokrasi saat ini, kebebasan beragama dan berpendapat dilindungi?

Namun ternyata tidak, demokrasi tidak sama sekali menjamin kebebasan individu.  Ia hanya menjadi tameng untuk melindungi berbagai kepentingan. Bila itu menguntungkan maka senantiasa akan dikedepankan, bila merugikan demokrasi takkan disebut-sebut. Apalagi berbicara Islam, kaum muslimin, khilafah. Ide-ide yang senantiasa menjadi fokus untuk menjadi bahan bulian bagi orang-orang yang tidak menyukainya.

Apapun itu,  tampaknya Fulan telah menyadari, bahwa apa  yang ia suarakan tentu tidak bisa diterima oleh semua orang. Walau benar, ketika itu bertentangan dengan demokrasi, maka tak ada tempat baginya. Apakah Fulan akan menghentikan langkahnya?

Jelas tidak, ia hanya sesaat merenung untuk mengatur strategi dalam menyuarakan apa yang akan menjadi kebaikan bagi saudara-saudara muslimnya.
Renungan, 21 Februari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun