Lain lagi saat membahas standar sarpras, kita tentu akan diperhadapkan masalah luas tanah, bangunan, jumlah rombongan belajar, ruang guru, kantor, lapangan, sarana olahraga, sarana ibadah, perpustaakaaan, laboratorium, ruang sirkulasi, ruang keterampilan, lahan parkir, kantin, jamban, dan sarana lainnya.
Belum berbicara soal mana yang telah memenuh standar pelayanan minimal (SPM) untuk setiap jenjang, mana yang telah memenuhi SNP bahkan melampauinya.
Pertanyaannya, mengapa dari tahun ketahun semua  ini sulit terpenuhi? Padahal standar lain yang merupakan output pendidikan juga butuh dukungan yang kuat.
Kebutuhan Dana Pendidikan
Telah menjadi pemahaman bersama, bahwa negeri ini hanya mengalokasikan 20 persen anggaraan pendidikan dari APBN. Tahun 2020 saja, biaya pendidikan sebesar 508,1 trilliun, ini naik 6,2 persen  dari tahun 2019 sebesar 478,4 trilliun.
Penambahan ini disebabkan karena adanya kebijakan kartu prakerja bagi yang mengakses keterampilan, bagi para pencari kerja, bahkan yang mengganti pekerjaaan. Selain itu ada program kartu indonesia pintar (KIP) untuk pendidikan tinggi sejumlah 6,7 trilliun, KIP pendidikan dasar dan menengah 11 trilliun.
Peruntukan lainnya untuk BOS 64 trilliun, BOP PAUD 4,5  trilliun, sarpras PAUD 307,6 trilliun.  Pembangunan dan  rehab ruang kelas 8 trilliun, untuk kampus sendiri sejumlah 4,4 trilliun. Adapula 284,1 trilliun untuk riset LPDP dan beasiswa s2/s3 sebesar 1,8 trilliun (kompas.com, 11/7/2020).
Dengan anggaran yang ada, disandingkan jumlah sekolah seluruh Indonesia, 307.655, jelas untuk sarpras saja, pemenuhan tidak akan selesai. Sebab sarpras sifatnya dinamis, sehingga data yang benar juga turut andil dalam terpenuhinya kualitas program yang akan direncanakan.
Sekelumit masalah yang muncul untuk satu atau dua standar di atas, sebenarnya bukan hal yang tidak bisa selesai. Bila dana yang disiapkan cukup untuk menuntaskan kebutuhan-kebutuhan setiap satuan pendidikan.Â
Tentu mengharapkan kekuatan ekonomi hanya pada sektor pajak, semua bidang tentu  akan sulit terpenuhi. Telah dipahami bersama, pajak hanya sekian persen dari keuntungan sesungguhnya.
Contoh pada PP nomor 37 tahun 2018 tentang pemberlakuan perpajakan, satu saja tarif pajak penghasilan badan sebesar 25 %. PNBP berupa bagian pemerintah pusat sebesar 4% dari keuntungan bersih pemegang IUPK Operasi Produksi. Kemudian bagian pemerintah daerah 6 % dari keuntungan bersih.