Ide besar kosmopolitanisme yang berangkat dari I am a citizen of the world menyiratkan bahwa terdapat suatu proses yang memudahkan masing-masing individu untuk dapat menjadi bagian dari 'dunia' itu sendiri. Proses tersebut juga yang mendorong hilangnya batas-batas nasional dan pergerakan individu tanpa mempermasalahkan ruang dan waktu. Globalisasi dengan segala tesisnya berusaha untuk menjelaskan mengenai apa dan mengapa harus terjadi sebuah proses 'mendunia.' Tidak terkecuali dengan neo-liberalisme yang memandang globalisasi sebagai sebuah proses dimana keterbukaan, persaingan, dan pasar yang tidak teregulasi, ketiganya merupakan hal yang terliberasi dari adanya intervensi pemerintah dan merepresentasikan mekanisme yang optimal untuk pembangunan ekonomi. Adanya pasar bebas tersebut tidak hanya menciptakan pilihan-pilhan kebebasan bagi individu namun juga untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal dengan berdasar pada efisiensi, pertumbuhan ekonomi, proses teknikal, dan keadilan distribusional (Kotz, 2000: 1).Â
Lebih lanjut, neo-liberalisme melihat bahwa intervensi pemerintah justru akan semakin menciptakan masalah, untuk itu neo-liberalisme memandang baha diperlukannya deregulasi bisnis, privatisasi aset publik, pengurangan program-program kesejahteraan soail, dan juga penurunan pajak pada sektor bisnis dan investasi. Wardhani (2017) menyebutkan bahwa neo-liberalisme menjanjikan bahwa globalisasi akan menurunkan tingkat kemiskinan dan masyarakat negara berkembang akan semakin mudah untuk mendapatkan kemakmuran. Tidak hanya itu, globalisasi dipandang akan menciptakan peluang baru terhadap ketersediaan barang, jasa, dan lapangan pekerjaan. Semua argumen tersebut lantas perlu untuk dipertnyakan kembali relevansinya terhadap realitas yang ada saat para anti-globalisasi muncul dengan segala tesis anti globalisasi mereka. Mereka memandang bahwa globalisasi hanyalah merupakan pergerakan dari kapitalisme internasional yang kemudian berujung pada penekanan, eksploitasi, dan ketidakadilan. Kapitalisme internasional tersebut memandang bahwa kesenjangan semakin marak baik di antara negara-negara maupun dalam negara itu sendiri. Keuntungan dalam globalisasi tercipta dengan penuh kesenjangan.
Pernyataan di atas diperkuat oleh McGre (2004: 4) yang menyebutkan bahwa terdapat disparitas antara konsumsi yang dilakukan oleh penduduk dunai di negara barat dengan penduduk miskin di beberapa negara. Penduduk di belahan bumi bagian barat mengonsumsi lebih dari 50% sumber daya alam dunia, sementara itu masyarakat yang tinggal di negaramiskin hanya mengonsumsi kurang dari 5% sumber daya dunia. Kosmpolitanisme percaya bahwa selain karena kurangnya efisiensi dalam kebijakan pemerintah, kemiskinan juga diakibatkan oleh globalisasi ekonomi tersebut. Kosmopolitanisme mengkritik bahwa keuntungan globalisasi tidak tersebar secara merata dimana negara bagian utara hidup dalam tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi sehingga diperlukan suatu redistribusi aset atau kekayaan dari utara ke selatan dalam mencapai keadilan sosial global tersebut (McGre, 2004: 8).
Dalam dunia dimana kesenjangan ekonomi, ketidaksetaraan, dan kemiskinan tumbuh beriringan dengan kemakmuran dan  kesejahteraan menempatkan kosmopolitanisme menjadi suatu hal yang secara gencar mempromosikan ide keadilan sosial bagi dunia.  Kemunculan ide keadilan sosial global menunjukkan bahwa diperlukan suatu ide yang lebih dari hanya keadilan sosial yang berlaku dalam satu nasional saja. Jika hanya terdapat keadilan dalam negara masing-masing, ide dari kosmopolitanisme sendiri juga sulit akan tercapai. Oleh karena itu, Holtug (2011: 147) bahwa keadilan sosial global penting untuk tercipta mengingat setiap individu memiliki kewajiban dan status yang jauh lebih besar kepada nasional dibanding dengan hal-hal non-nasionalnya. Jika globalisasi neo-liberal atau globalisasi ekonomi percaya bahwa dengan mengeliminasi peran pemerintah dalam kegiatan ekonomi akan mendorong pada efisiensi, keadilan sosial yang dimaksud oleh para kosmpolit tersebut haruslah memenuhi suatu keadaan dimana negara memiliki kekuasaan untuk ikut mengintervensi.
Sementara Fraser (1996: 2) menyebutkan bahwa terdapat dua ide dalam keadilan sosial. Pertama adalah klaim atau ide mengenai redistribusi dan kedua adalah politics of recognition. Redistribusi di sini memiliki arti keadilan sosial menginginkan adanya distribusi sumber daya dan barang yang lebih adil, termasuk redistribusi sumber-sumber yang terdapat pada negara Utara ke negara Selatan, dari kaya dan miskin, dan dari pemilik alat atu modal kepada pekerja. Pada masa seakrang, para pemerhati keadilan sosial lebih secara intensif mengangkat kalim kedua, yaitu politics of recognition dimana dibutuhkan dunia yang lebih ramah terhadap perbedaan atau disini Fraser (1996; 4) menyebutkan dengan friendly-difference world. Dunia diharapkan tidak memandang asimiliasi terhadap dalam norma budaya mayoritas sebagai sebuah cara yang paling utama. Pada konstelasi dunia yang baru, fokus mengenai keadilan sosial yang berdasar pada distribusi menjadi terpecah diantara konsep redistribusi dan politik rekognisi tersebut. Terlebih, seperti yang telah disebutkan sbeelumnya bahwa klaim mengenai politik rekognisi mendominasi dalam diskurus keadilan soal. Pudarnya komunisme, meningkatnya ideologi pasar bebas dan menguatnya identitas politik baik dalam pemikiran fundamentalisme maupun progresif semakin menyebabkan pada hilangnya nilai-nilai distribusi egalitarian.
Secara garis besar, perbedaan kedua klaim tersebut berada pada sudut pandang konsep kesenjangan sosial, solusi dalam menghadapi masalah tersebut, dan pihak-pihak yang akan terkena rugi. Â Kosmopolitanisme sendiri sebagai sebuah paham yang menekankan bahwa individu memiliki hak untuk untuk mendapatkan kualitas hidup yang baik menilai bahwa keadilan sosial akan dapat terbangun dengan mengimplementasikan 4 prinsip (Held, 2002 dalam Wardhani, 2017). Pertama, prinsip individualisme egalitarian yang menempatkan individu sebagai unit utama dari atensi moral bukan negara, bangsa, atau unit kolektif lainnya. Kedua, pertumbuhan yang setara harus dapat dirasakan oleh semua individu melaui tatanan institusi yang dapat membentuk peluang-peluang bagi semua individu. Ketiga, bahwa kedua prinsip sebelumya menunjukkan bahwa setiap individu perlu untuk memiliki empati dalam penghapusan kesenjangan. Terakhir, dalam merealisasikan keadilan global, orang-orang yang membutuhkan dan rentan terhadap tatanan yang ada haruslah diprioritaskan. Poin terakhir tersebut mengimplikasikan bahwa seharusnya keuntungan yang dibawa oleh globalisasi benar-benar dipergunakan oleh pemerintah dan masing-masing individu untuk berkontribusi dalam pemerataan sumber-sumber kekayaan. Pemerataan yang dimaksud dan diharapkan oleh para kosmopolit tidak cukup dengan termanifestasikan ke dalam ide ekualitas namun juga ekuitas dimana sumber-sumber kekayaan tersebar secara proporsional tidak semakin memperkaya para elit sehingga yang terjadi tetaplah sebuah disparitas.
Penulis menyimpulkan bahwa kaitan antara kosmopolitanisme dan globalisasi terlihat dengan bagaimana kaum kosmopolit mencoba untuk menawarkan alternatif dari status quo dimana globalisasi ekonomi yang dapat dikatakan menjajdi tesis utama dari globalisasi pada realitasnya tidak dapat mempertemukan globalisasi dengan janji keadilan sosial yang dibawa oleh para neo-liberalis. Neo-liberalis yang sepenuhnya menjunjung kapitalisme hanya akan menciptakan kesenjangan secara domestik maupun internasional. Situasi tersebut yang membuat kosmopolit mencoba untuk membendung penguatan globalisasi ekonomi dan tidak secara serta merta bersikap anti terhadap segala hasil dari globalisasi. Justru tanpa gloablisasi tindakan kosmopolitaisme tidak akan berkembang secara masif seperti sekarang ini. Globalisasi pada dasarnya mengeskalasi kosmoplitanisme yang telah ada terlebih dahulu dan memudahkan masing-masing individu untuk menjadi kosmopolit baik secara sengaja maupun tidak. Hal tersebut dicontohkan dengan cepatnya penggalangan bantuan dana hanya dengan satu klik share atau post berita bencana pada saat era digital ini merupakan hasil dari globalisasi.
Referensi:
Fraser, Nancy. 1996. 'Social Justice in the Age of Identity Politics: Redistribution,       Recognition, and Participation'. Disampaiakn dalam The Tanner Lectures on Human  Values. 30 April-2 Mei 1996.
Holtug, Nils. 2011. 'The Cosmopolitan Strikes Back: a Critical Discussion of Miller on    Nationality and Global Equality' dalam Ethics & Global Politics. Vol. 4, No. 3, 2011.
Kotz, David M. 2000. Globalization and Neoliberalism. Massachusetts: Department of    Economics and Political Economy Research Institute.
McGrew, Anthony. 2004. "Cosmopolitanism and Global Justice", dalam Ritsumeikan Annual    Review of International Studies. Vol. 3, pp. 1-17
Wardhani, Baiq L. 2017. Common Good, Prosperity, and Social Justice. Disampaikan dalam     Mata Kuliah Kosmopolitanisme Departemen Hubungan Internasional Universitas  Airlangga. 4 April 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H