Mohon tunggu...
Rahma Hairunnisa Regita Putri
Rahma Hairunnisa Regita Putri Mohon Tunggu... Penulis - Universitas Cendekia Mitra Indonesia

Saya, Rahma Hairunnisa Regita Putri, adalah seorang penulis dan pembisnis yang aktif menyoroti isu-isu pendidikan, ekonomi, dan politik. Saat ini, saya menulis untuk Bernas dan Kompasiana sebagai wadah berbagi gagasan serta analisis. Saya percaya bahwa tulisan dapat membuka wawasan, menginspirasi perubahan, dan menjadi alat refleksi bagi masyarakat. â € Saya berasal dari Universitas Citra Mandiri Indonesia (UNICIMI) dengan program studi Manajemen. Ketertarikan saya mencakup kepemimpinan strategis, kebijakan publik, serta tantangan ekonomi global. Selain itu, saya juga memiliki minat dalam riset dan pengembangan literasi, khususnya dalam mendorong generasi muda untuk lebih kritis dan inovatif dalam berpikir. Mari berdiskusi dan bertukar ide bersama!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Literasi Pendidikan Anti Korupsi Melalui Kearifan Lokal

1 Februari 2025   16:15 Diperbarui: 1 Februari 2025   16:15 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh 

Ben Senang Galus, penulis buku "Kuasa Kapitalis dan Matinya Nalar Demokrasi, tinggal di Yogyakarta

Pemberantasan korupsi mesti sistematis dan masif. Pendidikan antikorupsi menjadi sarana sadar untuk itu. Pendidikan antikorupsi baiknya menyentuh aspek kognitif, afektif, dan konasi. Tujuan utama pendidikan antikorupsi adalah perubahan sikap dan perilaku terhadap tindakan koruptif.

Pendidikan antikorupsi membentuk kesadaran akan bahaya korupsi, kemudian bangkit melawannya. Menjadi champion dalam pemberantasan korupsi. Pendidikan anti korupsi juga berguna mempromosikan nilai-nilai kejujuran dan tidak mudah menyerah demi kebaikan. Seyogianya, pendidikan antikorupsi dikelola sebagai sebuah dialog, hingga tumbuh kesadaran kolektif tiap warga akan pentingnya pemberantasan dan pencegahan korupsi.

Kebijakan Dinas Dikpora Kabupatem Manggarai, adalah sebuah bentuk kesadaran baru   berani membentuk sikap anti korupsi sejak dini dan dimulai dari pendidikan sekolah. Namun agar pendidikan anti korupsi di sekolah ini berhasil hendaknya juga terkoneksi dengan pendidikan di keluarga. Pengalaman kami di Yogyakarta, sebelum siswa diajarakan pendidikan anti korupsi, terlebih dahulu orang tua murid diundang, diadakan sosialisasi, sehingga ada kesinambungan nilai yang diajarkan di sekolah dengan di rumah. Pada periode tertentu diadakan pertemuan rutin dengan orangtua murid, semacam evaluasi.  

            Maka arah dari semua langkah itu adalah membangun kultur perlawanan terhadap budaya korupsi yang dimulai dari pendidikan keluarga, dengan sifat menciptakan efek jera, menebarkan budaya malu, menciptakan budaya kejujuran, budaya tanggung jawab dan berupaya untuk mencegah agar para calon pelaku korupsi takut untuk berbuat serupa.

Maka untuk mewujudkan pendidikan anti korupsi, pendidikan di sekolah harus diorientasikan pada tekanan moral action, agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence) saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Lickona (1991), menyatakan bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action diperlukan tiga proses pembinaan yang berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga sampai pada moral action.

         Ketiganya harus dikembangkan secara terpadu dan seimbang. Dengan demikian diharapkan potensi peserta didik dapat berkembang secara optimal, baik pada aspek kecerdasan intelektual, yaitu memiliki kecerdasan, pintar, kemampuan membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, serta menentukan mana yang bermanfaat. Kecerdasan emosional, berupa kemampuan mengendalikan emosi, menghargai dan mengerti perasaan orang lain, dan mampu bekerja dengan orang lain. Keecerdasan sosial, yaitu memiliki kemampuan berkomunikasi, senang menolong, berteman, senang bekerja sama, senang berbuat untuk menyenangkan orang lain. Kecerdasan spritual, yaitu memiliki kemampuan iman yang anggun, merasa selalu diawasi oleh Allah, gemar berbuat baik karena lillahi ta'alah, disiplin beribadah, sabar, ikhtiar, jujur, pandai bersyukur dan berterima kasih. Sedangkan kecerdasan kinestetik, adalah menciptakan keperdulian terhadap dirinya dengan menjaga kesehatan jasmani, tumbuh dari rizki yang hahal, dan sebagainya. Maka sosok manusia yang mengembangkan berbagai kecerdasan tersebut, diharapkan siap menghadapi dan memberantas perbuatan korupsi atau bersikap anti korupsi.

Pendidikan di sekolah harus dilakukan secara berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga moral action. Kenapa, karena pendidikan memiliki peran yang strategis dalam mendukung dan bahkan mempercepat pembentukan masyarakat berkeadaban, memiliki kemampuan, keterampilan, etos, dan motivasi untuk berpartisifasi aktif secara jujur dalam masyarakat.

      Proses percepatan pemberantasan korupsi bukan seperti membalik telapak tangan. Artinya, lebih dari itu harus ada kerja-kerja keras yang spartan dan simultan antara aparat penegak hukum dan masyarakat. Harus dibangun kesadaran yang mengartikulasikan kejujuran dan budaya malu melakukan korupsi. Maka munculnya wacana dan kesadaran moral untuk memberantas korupsi yang sudah menggurita ke segala lini kehidupan masyarakat Indonesia, selain melalui mekanisme hukum, juga membangun filosofi baru berupa penyamaan nalar dan nilia-nilai baru yang bebas korupsi melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal. Hal itu dilakukan karena pendidikan memiliki posisi sangat vital dalam upaya membangun sikap anti korupsi. Karena, hakekat pendidikan adalah suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta-didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan bermasyarakat.

Pendidikan anti korupsi harus diberikan melalui pembelajaran sikap mental dan nilai-nilai moral bebas korupsi di sekolah, sehingga generasi baru Indonesia diharapkan dapat memiliki pandangan dan sikap yang keras terhadap segala bentuk praktik korupsi. Pendidikan perlu dielaborasi dan diinternalisasikan dengan nilai-nilai anti korupsi sejak dini.

    Pendidikan anti korupsi yang diberikan di sekolah diharapkan dapat menyelamatkan generasi muda agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup generasi sebelumnya. Tapi hanya saja memberikan pendidikan anti korupsi bukan hal mudah. Sebab, bahkan lahirnya fenomena praktik korupsi juga berawal dari dunia pendidikan yang cenderung tidak pernah memberikan sebuah mainstream atau paradigma berperilaku jujur dalam berkata dan berbuat. Termasuk sekolah-sekolah di negeri ini. Misalnya guru menerangkan hal-hal idealis dalam memberikan pelajaran, menabung pangkal kaya, tetapi realitanya banyak guru yang korupsi, seperti korupsi waktu, korupsi materi pelajaran yang diberikan,. korupsi berupa absen mengajar tanpa izin kelas. Hal-hal yang dilakukan itu, juga dapat memicu praktik korupsi yang lebih buruk di dunia pendidikan.

Maka untuk mewujudkan pendidikan anti-korupsi menurut Hujair AH.Sanaky, diperlukan partisipasi publik sendiri yang merupakan syarat mutlak agar kontrol publik bisa dilakukan secara efektif. Partisipasi publik akan terwujud bila publik memperoleh cukup informasi. Lantas apa yang terjadi bila informasinya sengaja ditutupi? Ini berarti tidak ada keterbukaan. Bila tidak ada keterbukaan, tidak akan ada partisipasi publik, apalagi kontrol publik. Dan jika tidak ada kontrol publik, kekuasaan akan menjadi semakin kuat tak terkontrol. Dan ini artinya parktek-praktek korupsi makin menjadi-jadi. Sebagaimana dikatakan Lord Acton; "Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutly". Karena itu memberikan informasi dan pendidikan bagi publik agar melek informasi, khususnya terkait dengan korupsi bukan hanya perlu tetapi sesuatu yang mendesak dilakukan. Apalagi dalam kehidupan politik kontemporer, korupsi tidak jarang dijadikan isu dan komoditas politik, sehingga korupsi dikonstruksi menjadi masalah politik, bukan lagi masalah hukum apalagi moral kejujuran.

Literasi melalui Kearifan Lokal

Pada dasarnya manusia menciptakan budaya dan lingkungan sosial mereka sebagai adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologisnya. Kebiasaan-kebiasaan, praktik, dan tradisi diwariskan dari generasi ke generasi. Pada gilirannya kelompok atau ras tersebut tidak menyadari dari mana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi berikutnya terkondisikan menerima "kebenaran" itu tentang nilai, pantangan, kehidupan, dan standar perilaku.

Individu-individu cenderung menerima dan percaya apa yang dikatakan budaya mereka. Kita dipengaruhi oleh adat dan pengetahuan masyarakat di mana kita dibesarkan dan tinggal. Kita cenderung mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaan kita. (Philip R. Harris & Robert T. Moran dalam intercultural communication: a reader, 1982).

Oleh sebab itu, dalam konteks pendidikan antikorupsi, dibutuhkan pencarian dan pengembangan melalui kearifan-kearifan lokal (Local Wisdoms). Menggali kembali literasi, ajaran-ajaran luhur guna diterapkan dalam pendidikan antikorupsi, merupakn sebuah keharusan. Keunikan tradisi lokal selama ini tidak ditempatkan sebagai akar kebangsaan. Kebijakan politik, termasuk kebijakan sistem pendidikan, bersumber dari konsep monokultur. Akibatnya keunikan lokal tidak berkembang secara wajar. Karena itu kesadaran keunikan diri sebagai pengalaman otentik mesti ditempatkan sebagai akar pendidikan.

Pendidikan yang ada harus melihat keunikan-keunikan budaya lokal. Praktik pendidikan monokultur adalah pemasung daya kritis dan kreatif. Perbedaan tiap individu merupakan unsur terpenting pendidikan yang berbasis multietnis. Perbedaan, otherness (liyan, lain), lebih penting ketimbang keseragaman.

            Penerapan literasi anti korupsi melalui kearifan-kearifan lokal dalam pendidikan antikorupsi diharapkan siswa mudah memahami pengertian, bahaya, dan perilaku korupsi. Selain itu, mereka sadar bahwa leluhur Indonesia memiliki ajaran-ajaran budi pekerti yang amat menghargai kejujuran, keadilan, dan integritas.

Di Manggarai, misalnya, dikenal budaya Ritak dan Rantang (malu dan takut). Dalam kehidupan orang-orang Manggarai, Ritak dan Rantang menjadi unsur prinsipil dalam diri mereka. Ritak dan Rantang adalah jiwa, harga diri, dan martabat orang Manggarai. Tidak ada nilai paling berharga dan patut dipertahankan selain Ritak dan Rantang. Dia menjadi inspirasi setiap langkah orang Manggarai. Orang Manggarai bersedia mengorbankan apapun demi tegaknya Ritak dan Rantang dalam kehidupan sehari-hari. Perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan budaya Ritak dan Rantang. Budaya melayani dan berbuat jujur adalah implementasi Ritak dan Rantang. Dalam masyarakat Manggarai, seseorang disebut manusia bila memiliki Ritak dan Rantang.

            Masih banyak kearifan-kearifan lokal di Indonesia menjadi rujukan literasi pendidikan anti korupsi di sekolah. Kearifan-kearifan lokal seperti itu mestinya digali, dikembangkan, dan diawetkan guna dimasukkan dalam materi pendidikan antikorupsi di sekolah. Dengan begitu penanaman nilai-nilai antikorupsi akan lebih mudah dipahami dan diterima oleh seluruh peserta didik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun