Mohon tunggu...
Rahma LathifahAliyya
Rahma LathifahAliyya Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - siswa SMA

hobi = mengejar mimpi ( tidur )

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Perbedaan Bahasa di Desa Buntu Menjadikan Cerminan Kekayaan Budaya

28 Maret 2024   13:01 Diperbarui: 28 Maret 2024   13:06 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Desa Buntu, terletak di Kecamatan Kejajar, Wonosobo, Jawa Tengah, menjadi pusat perhatian bagi siswa kelas 10 Global Prestasi School Bekasi yang melaksanakan kegiatan mirip KKN (Kuliah Kerja Nyata) versi SMA. Perjalanan dimulai dari Bekasi pada pukul 8 malam, singgah di tiga rest area, dan berakhir di Masjid Wonosobo untuk melaksanakan sholat Subuh sebelum akhirnya tiba di Desa Buntu sekitar pukul 6 pagi.

Kedatangan kami disambut hangat oleh masyarakat setempat. Saat memasuki rumah warga untuk melakukan riset, kami selalu disuguhkan teh tambi khas Wonosobo. Desa Buntu terkenal sebagai desa yang memiliki tingkat toleransi yang tinggi, di mana masyarakatnya memegang teguh semangat Bhinneka Tunggal Ika. Meskipun memiliki perbedaan budaya, mereka tetap satu dalam semangat tolong-menolong, suatu nilai yang mulai jarang ditemui di kota-kota besar.

Mayoritas mata pencaharian masyarakat Desa Buntu adalah bertani dan berkebun karena wilayahnya yang berada di dataran tinggi. Saya melakukan riset dengan Pak Mulyadi, seorang petani kebun yang kemudian menjual hasilnya ke pasar. Beliau menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya, sebagaimana kebanyakan masyarakat setempat. 

Namun, beliau juga menjelaskan bahwa bahasa Jawa di Wonosobo memiliki beragam logat, seperti logat Ngapak, Jawa Jogja kasar, Jawa Krama Inggil, dan Jawa Krama Ngoko, yang dipengaruhi oleh lokasi geografis dan kebiasaan berbicara masyarakat setempat.

Tidak hanya bahasa Jawa, terdapat pula masyarakat yang menggunakan bahasa lain, seperti bahasa Sunda, karena terpengaruh oleh budaya luar. Sebagai contoh, seorang penjual tahu bulat keliling bertanya kepada saya apakah saya bisa berbahasa Sunda, yang menunjukkan adanya variasi bahasa di masyarakat Desa Buntu.

Perbedaan bahasa tidak hanya dipengaruhi oleh aspek geografis dan budaya, tetapi juga oleh faktor usia dan latar belakang pendidikan. Generasi muda cenderung lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia standar dalam situasi formal atau saat berinteraksi dengan orang luar desa, namun mereka tetap memelihara bahasa daerah mereka dalam lingkungan informal di antara teman sebaya atau keluarga.

Dari kejadian ini, bisa disimpulkan bahwa ada kaitannya dengan teori Antropologi Linguistik, Teori ini memfokuskan pada hubungan antara bahasa dan budaya. Dalam konteks Desa Buntu, teori ini dapat digunakan untuk menggali lebih dalam bagaimana bahasa mencerminkan nilai-nilai budaya, tradisi, dan identitas masyarakat setempat. Studi antropologi linguistik dapat mengungkap peran bahasa dalam membangun dan mempertahankan struktur sosial dan budaya di desa tersebut.

Perbedaan bahasa di Desa Buntu mencerminkan keberagaman budaya dan sejarah yang kaya. Meskipun terjadi variasi bahasa yang signifikan, hubungan sosial yang kuat antar warga desa memungkinkan terciptanya lingkungan yang inklusif dan harmonis. Bahasa bukanlah hambatan, melainkan kekuatan yang memperkaya kehidupan masyarakat Desa Buntu, menjadikannya tempat yang unik dan menarik untuk dijelajahi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun