Mohon tunggu...
Romly Lengkoan
Romly Lengkoan Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis cerita.

Menulis untuk bercerita tentang apa saja. Tentang apa yang saya tahu dan yang saya mengerti.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Siapa Nama Kamu?

13 November 2019   05:42 Diperbarui: 17 November 2019   18:28 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aduh,.. ampun,..ampun, Pa!" Rido terus dihantam dengan rotan. Dari betis ke pantat dan naik ke punggung. Garis-garis merah pasti sudah terhias tak beraturan di badannya.

"Sudah...sudah, Pa. Anakmu kesakitan. Dia sudah kapok." Teriak Ibu Rima.

"Awas kalau pulang malam lagi." Pak Doni menaruh rotan di atas bangku panjang dekat meja makan. Dia melangkah ke kamar.

Rido masih duduk di lantai, mengusap air mata, menahan sakit. Arah pandangnya mengikuti langkah Pak Doni saat menuju pintu keluar rumah. Sudah kesekian kalinya Rido pulang jam tujuh malam. Senang nonton atraksi tarian silat di lapangan utama kampung setiap sore, lupa pulang, lupa makan. Sialnya Rido sore itu, Pak Doni sudah pulang lebih dulu, mabuk.

Walau Pak Doni adalah salah satu preman kampung, tapi dia bukanlah tipe bapak yang suka memukul anaknya. Malahan Ibu Rima yang sering. Hanya saja dampak dari marah seorang bapak, apalagi bapaknya Rido, adalah emosi yang meledak tak terkendali. Sekali terjun, apapun yang ditimpanya pasti hancur.

Rido tak takut pada bapaknya. Dia hanya terlalu kecil untuk melawan. Dia sangat menyayangi ibunya. Bapaknya jarang berada di rumah. Tak suka banyak bicara. Sangat jarang tersenyum. Ibunya jarang keluar rumah, kecuali untuk hal-hal penting keluarga, juga jarang bicara tapi murah senyum.

"Sini mama obati memar-memar itu."

"Pelan..pelan..ya, Ma."

"He'em.."

"Rido masih bisa nonton lagi besok?" tanyanya dengan hati-hati.

"Heeem,..iya. Tapi jangan diulang yang tadi. Mama sudah sering bilang 'kan?"

"Iya. Maaf." Rido masih melihat ke arah pintu tadi.
...
Seorang anak lelaki kurus, sedang berjalan di tengah malam buta. Sendirian. Nafasnya naik turun tak karuan, keringat membanjir. Dia baru saja habis lari. Anak itu hanya memakai kaus putih tak berlengan, celana pendek biru tua, dan hampir seluruh badannya penuh tanah. Kotor.

Umurnya sekitar delapan tahun. Tadinya memiliki tempat tinggal dan dua orang tua. Tapi, ketika pulang ke rumah, anak itu mendapati kedua orang tuanya tergeletak tak bernyawa di lantai dapur.

Darah membasahi lantai. Sebuah pisau tergeletak di atas meja dibungkus darah. Dapur berantakan. Tanda-tanda perkelahian.

Entah insting akan bahaya yang mendekat atau rasa takut yang menggerakkan sepasang kaki anak lelaki ini untuk berlari, meninggalkan rumah, secepat mungkin.

Sepanjang jalan anak ini terus berpikir, tak mengerti apa yang sudah dia lihat. Sesekali dia menengok ke belakang. Wajahnya mengerut, memperlihatkan kebingungan. Dia sudah melupakan rasa takut dan insting bahaya itu.
...
Seorang preman. Banyak tak disukai orang-orang. Pastinya banyak musuh. Pak Doni sudah sering terlibat perkelahian dengan beberapa orang kampung, preman bahkan polisi. Sudah pernah menghuni penjara. Tak kapok, malah jadi lebih terorganisir cara dia berbuat kejahatan. Rapi.

Kata orang-orang, Pak Doni membantu menyembunyikan teroris di kampung-kampung tetangga. Ada juga yang bilang, ia bekerja bersama dengan para penjual narkoba untuk mengedarkan obat-obat terlarang di kalangan anak muda sekitar. Tapi, belum ada yang terbukti memang.

Yang sudah terbukti dan terlihat adalah seringnya dia memukul Ibu Rima kalau sedang bertengkar. Tak peduli di rumah atau di jalan.
...

Jalanan sudah mulai ramai. Langit belum sepenuhnya diterangi matahari. Anak lelaki itu duduk di pinggiran deretan rumah toko yang belum buka. Pemilik toko masih sementara bersih-bersih, menata barang-barang jualan.

Seorang penjual koran lewat, menoleh sebentar ke arah anak lelaki itu. Seekor kucing merenggangkan badan, berjalan dan duduk di dekat anak lelaki itu.

Anak itu meremas perutnya. Matanya mencari-cari. Ada bau sedap yang hinggap di penciumannya. Aroma roti yang baru keluar dari panggangan. Dia lapar. Pelariannya semalam membuat kosong perut.
...

Pak Doni mungkin menikam istrinya dan bunuh diri, atau Ibu Rima menikam suaminya dan bunuh diri. Begitulah pendapat orang sekitar. Tapi herannya tak ada yang bertanya di mana Rido. Sibuk mereka.

Pisau yang diperiksa polisi ada bekas tangan Ibu Rima. Dan ada tiga darah orang yang berhasil dideteksi di dapur itu. Menurut polisi, ditambah sedikit informasi dari masyarakat sekitar, pada saat pertengkaran terjadi, Ibu Rima mencoba melukai Pak Doni dengan pisau. Tak berhasil. Pada saat itu, tiba-tiba muncul seseorang yang tak diduga yang langsung menyerang Pak Doni.

Ada perkelahian singkat. Pak Doni tertikam di dada sebelah kiri. Sepertinya Ibu Rima yang ingin menolong, mencoba menyerang orang asing itu tapi, tertusuk pisau yang sedari tadi dia pegang.

Dugaan polisi, Ibu Rima didorong orang itu tanpa bermaksud. Orang asing itu sendiri terluka dan berdarah karena pukulan tangan kanan Pak Doni di mulut. Darah itu ditemukan bercampur air liur di lantai. Orang itu diduga musuh Pak Doni.
...
Anak itu sedang berdiri di salah satu rumah toko, ketika seorang bapak lewat. Bapak itu berhenti dan duduk di trotoar tak jauh dari tempat anak ini berdiri. Seorang bapak berumur sekitar empat puluhan. Berompi hitam, celana pendek selutut dan mengenakkan sendal kulit hitam yang sekarang kelihatan kecokelatan, kotor karena lumpur.

Toko tak kunjung buka. Anak ini mengetuk. Lagi dan lagi. Sebuah suara lelaki dewasa terdengar, mengatakan toko akan buka nanti jam delapan.

Bapak itu menengok ke arah anak lelaki itu sebentar, dan kembali melihat jalanan yang semakin ramai. Tak ada perbincangan apa pun. Hanya keadaan sekitar yang bergerak, berganti.

Toko dibuka. Anak lelaki itu berlari ke depan toko. Tersenyum. Bapak tadi berjalan santai menuju toko. Anak lelaki memandang deretan roti yang masih hangat. Bapak mengeluarkan uang. Anak lelaki itu menelan air liurnya. Si pemilik membungkuskan empat roti untuk si bapak. Anak itu masih memandang roti-roti yang berbaris dan menumpuk di atas nampan.

"Hei, nak!" panggil bapak itu saat berjalan keluar toko.

Anak lelaki itu berlari cepat, menghampiri si bapak dan mengambil dengan sopan tas kain berisi roti yang disuguhkan padanya. Ada tiga yang tersisa. Dia memandang bapak itu, kemudian tas di tangannya, beberapa kali, bergantian.

"Terima kasih." Anak itu berucap hati-hati, masih bingung sebenarnya.

"Dimakan!"

Anak itu mengangguk.

...
Polisi menemukan beberapa jejak di belakang rumah mengarah ke kebun dan menurun ke arah sungai. Bebatuan di pinggir sungai membuat jejak sulit terlihat. Ada tanah-tanah basah yang sedikit terlihat menempel di bebatuan. Jejak itu mengarah ke jalan raya.
...
Anak lelaki itu mengikuti dari belakang. Sengatan panas siang itu menerpa wajah keduanya. Peluh mengucur. Bapak itu mengangkat tangan, menyeka keringat di dahi. Anak lelaki itu mengunyah roti, dia melihat ada sebilah pisau mencuat dari balik rompi cokelat bapak itu. Masih menempel noda merah.

"Oh iya. Siapa nama kamu?!" tanya bapak itu.
"Doni."

"Doni, hah,.. Doni." Ulang bapak itu. Menyunggingkan senyum kecil, mengangguk. Berbalik. Melanjutkan perjalanan. []

Gandasari, 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun