Mohon tunggu...
Bulqis Indri
Bulqis Indri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Pengelolahan Produksi Lahan Menurut Pandangan Islam

25 Februari 2018   10:15 Diperbarui: 25 Februari 2018   10:35 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dari Jabir RA berkata, Rasulullah SAW bersabda : barang siapa mempunyai sebidang tanah, maka hendaklah ia menanaminya. Jika ia tidak bisa atau tidak mampu menanaminya, maka hendaklah diserahkan kepada orang lain (untuk ditanami ) dan janganlah menyewakannya (HR. Muslim)

Bahwasanya di sini di jelaskan jika kita mempunyai sesuatu harus di manfaatkan seperti halnya tanah yang mana tanah itu harus di tanami dengan tanaman apa saja seperti padi, jagung, rumput dll. Ketika seorang yang mempunyai tanah tersebut tidak bisa menanami tanahnya maka diserahkan kepada saudaranya secara gratis. Maksudnya, diberikan untuk diambil  manfaatnya dan janganlah dia  menyewakannya atau meminta uang hasil dari tanahnya. Ungkapan ini mengandung pengertian penting agar manusia tidak diperkenankan menelantarkan lingkungan (lahan yang dimiliki) sebagai hal yang tidak membawa manfaat baginya dan bagi kehidupan masyarakat umum.

Hendaknya lahan tersebut  dimanfaatkan dengan menanami tumbuh-tumbuhan yang mendatangkan hasil yang berguna untuk kesejahteraan pemiliknya, atau bagi kebutuhan konsumsi orang lain. Hal tersebut merupakan upaya menciptakan kemaslahatan hidup melalui kepedulian terhadap lingkungan. Dalam firman Allah SWT telah menyerukan  untuk memanfaatkan segala hal yang Allah telah ciptakan di muka bumi.

Sebab, jika tanah itu ditinggalkan tanpa dikelola, maka manfaatnya tidak terputus. Bahkan, akan tumbuh rerumputan dan kayu-kayu sehingga dapat dimanfaatkan sebagai tempat penggembalaan dan lain sebagainya.

Pemeliharaan dan perawatan adalah hal yang sangat penting dalam mengembangkan dan pelestarian segala hasil cipta dan pekerjaan manusia itu. Juga terhadap segala sumber daya yang memungkinkan ia mencipta dan bekerja. Selain itu, manusia senantiasa ingin hidup dalam keadaan tenteram lalu ia menjaga terpeliharanya tata tertib kehidupan dalam lingkungan rumah tangganya dan di pergaulan ramai di masyarakatnya. Hal yang demikian inilah yang diisyaratkan dalan ajaran Sunnah yang menegaskan bahwa kalian (manusia) adalah pemeliharaan (ra'in). Dan pemeliharaan itu haruslah memikul tanggungjawab (mas'ul).

Dalam rangka menggali manfaat dari lingkungan, tidak boleh diabaikan pula upaya untuk melestarikan lingkungan itu sendiri, artinya, hendaklah dijaga keseimbangan ekologi dan dihindari pencemaran serta diupayakan agar kekayaan alam itu dipergunakan sehemat mungkin. Bumi ini dikatakan bukanlah warisan dari nenek moyang kita, melainkan pinjaman dari anak cucu kita. Selaku peminjam kita harus pandai dan adil, tidak ceroboh, supaya barang pinjaman itu dapat kita kembalikan sebagaimana aslinya, atau mungkin lebih baik lagi.

Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu pula sebaliknya. Untuk mengahasilkan barang dan jasa kegiatan produksi melibatkan banyak faktor produksi. 

Beberapa implikasi mendasar bagi kegiatan produksi dan perekonomian secara keseluruhan, antara lain : Seluruh kegiatan produksi terikat pada tataran nilai moral dan teknikal yang Islami,kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan, permasalahan ekonomi muncul bukan saja karena kelangkaan tetapi lebih kompleks.

Dalam ekonomi islam sendiri menjelaskan bahwa produksi ada untuk menciptakan manfaat bukan untuk menciptakan materi, berbagai sumber daya alam harus digunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran dan kemaslahatan masyarakat umum.

Tanah/lahan sendiri merupakan faktor produksi yang paling penting daripada faktor produksi yang lainnya sebab, tanah dapat memenuhi kebutuhan pokok dan permanen manusia, namun permasalahan yang timbul akibat persoalan tanah juga sangatlah rumit.

Tujuan produksi adalah menciptakan kemaslahatan atau kesejahteraan individu dan kesejahteraan kolektif (sosial). Setiap muslim harus bekerja secara maksimal dan optimal,sehingga tidak hanya dapat mencukupi dirinya sendiri tetapi harus dapat mencukupi kebutuhan anak dan keluarganya. Hasil yang dimakan oleh dirinya sendiri dan keluarganya oleh Allah dihitung sebagai sedekah, sekalipun itu sebagai kewajiban. Ini menunjukan betapa mulianya harga sebuah produksi apalagi jika sampai mempekerjakan karyawan yang banyak sehingga mereka dapat menghidupi keluarganya.

Konsep kepemilikan tanah dalam islam apabila tanah dibiarkan atau ditelantarkan selama tiga tahun maka tanah tersebut akan dicabut dan dibrikan kepada orang lain. Seorang pemilik tanah diperkenankan menanami tanahnya dengan hewan, benih dan pelengkap lainnya. Apabila pemilik tanah tidak mampu mengelolanya, maka ia boleh mengambil alihkan pada saudaranya atau tetangga untuk ditanami atau dimanfaatkan. Pemilik tanah memiliki hak milik terhadap tanah tersebut dan ia memiliki kewajiban untuk memanfaatkan tanah tersebut dengan sebaik mungkin

Setiap muslim juga harus berusaha meningkatkan pendapatan agar menjadi mustahiq yang dapat membantu kaum lemah melalui pembayaran zakat, infaq, sedeqah dan wakaf.[1][20] Dengan keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah Rabb semesta alam, maka konsep produksi di dalam ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting mencapai maksimalisasi keuntungan akhirat. Ayat 77 surah al-Qashash mengingatkan manusia untuk mencari kesejahteraan akhirat tanpa melupakan urusan dunia. Artinya, urusan dunia merupakan sarana untuk memperoleh kesejahteraan akhirat.[2][21]

Pada prinsipnya Islam juga lebih menekankan berproduksi demi untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, bukan hanya sekedar memenuhi segelintir orang yang memiliki uang, sehingga memiliki daya beli yang lebih baik. Karena itu bagi Islam produksi yang surplus dan berkembang baik secara kwantitatif maupun kwalitatif, tidak dengan sendirinya mengindikasikan kesejahteraan bagi masyarakat. Apalah arti produk yang menggunung jika hanya bisa didistribusikan untuk segelintir orang yang memiliki uang banyak.

Hadits Jabir bin Abdullah RA ini merupakan larangan menelantarkan lahan, karena hal ini termasuk perbuatan yang tidak bermanfaat. Dalam menelantarkan lahan, Rasulullah SAW menyarankan untuk memanfaatkan dan mengupah orang lain untuk mengelolahnya.

Dari ungkapan Nabi SAW dalam hadits diatas yang menganjurkan bagi pemilik tanah hendaklah menanami lahannya atau menyuruh saudaranya (orang lain) untuk menanaminya. Ungkapan ini mengandung pengertian agar manusia jangan membiarkan lingkungan (lahan yang dimiliki) tidak membawa manfaat baginya dan bagi kehidupan secara umum. 

Memanfaatkan lahan yang kita miliki dengan menanaminya dengan tumbuh-tumbuhan yang mendatangkan hasil yang berguna untuk kesejahteraan pemiliknya, maupun bagi kebutuhan konsumsi orang lain. Hal ini merupakan upaya menciptakan kesejahteraan hidup melalui kepedulian terhadap lingkungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun