Siapa yang tidak mengenal Carol Danvers? Yap! Dia adalah salah satu superhero perempuan dari Marvel Cinematic Universe dalam film solo perdananya, Captain Marvel (2019). Selain efek-efek canggih dan visual yang keren, film ini juga memiliki makna mendalam yang merepresentasikan feminisme sebagai upaya untuk menyetarakan gender, loh!
Untuk membahas Mbak Carol dalam film Captain Marvel (2019) lebih dalam, mari kita simak dahulu tentang gender dan feminisme.
Realitas Gender yang Ada
Mungkin banyak dari kita sudah mengetahui bagaimana sosok perempuan dipandang dalam kacamata sosial. Sering dibandingkan dengan laki-laki, perempuan dianggap lebih 'lemah' dan memiliki derajat di bawah laki-laki.
Berdasarkan analisis sastra dan budaya, secara tradisional, perempuan telah diberi peran sosial sekunder oleh laki-laki yang memonopoli sumber daya dan kekuasaan untuk mereka sendiri (Ryan, 2012, hal. 89).
Sosial dan budaya yang telah membentuk identitas perempuan ini dapat dikatakan merupakan sebuah ketidaksetaraan gender. Tidak jarang perempuan mendapat perlakuan berbeda, diskriminasi, dan terbatas dalam melakukan kegiatan atau pekerjaan.
Seperti yang tertulis dalam buku 'An Introduction to Criticism Literature/Film/Culture' oleh Michael Ryan, bahwa hal ini disadari oleh para kritikus feminis dan sejarawan budaya tentang stereotip atau citra perempuan dapat sangat negatif maupun sangat positif.
Perempuan cenderung diarahkan untuk mengurus kegiatan rumah dan merawat keluarga, sedangkan pria dapat bebas bekerja dan berkarir dalam hidupnya. Budaya seperti ini sudah berkembang sejak dulu, sehingga menimbulkan persepsi bahwa perempuan memiliki 'kasta' di bawah laki-laki.
Hal ini juga menjadi beban dan ancaman bagi pria, di mana bila mereka tidak mencapai suatu kesuksesan atau ada perempuan yang lebih sukses daripada pria, akan menjadi hal yang tidak sewajarnya dan menghilangnya kekuasaan atau maskulinitas.
Ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan ini memunculkan adanya gerakan feminis yang dimulai sejak tahun 1960-an.
Feminisme dalam Film
Feminisme ini singkatnya merupakan gerakan dalam ranah sosial, politik dan ideologi dalam upayanya memperjuangkan kesetaraan gender atau hak yang harusnya diterima secara adil oleh laki-laki dan perempuan.
Para sarjana feminis dapat melihat sejarah wanita yang sebenarnya memiliki citra kuat atau kemampuan yang sama dengan pria. Mereka juga berpendapat bahwa wanita memiliki identitas mereka sendiri dengan karakteristik psikologis tertentu, seperti hubungan interpersonal dan kepedulian (Ryan, 2012, hal. 88).
Gerakan ini dapat disalurkan atau direpresentasikan melalui berbagai cara, seperti film. Dalam tulisan ini, kita akan fokus membahas bagaimana representasi feminisme muncul dalam film Captain Marvel (2019).
Film dapat menjadi salah satu media alternatif dalam menyalurkan pesan atau ideologi tertentu dengan tujuan yang hanya sekedar menghibur hingga benar-benar mendidik atau menyuarakan suatu hak.
Tokoh Molly Haskell dan Rosen memaparkan bahwa citra perempuan yang berubah dan citra feminis dalam film ini cenderung sempit dan sejak tahun 1950-an justru terjadi representasi yang merendahkan perempuan dan membuat suatu stereotip negatif (Renaldy, Budiana, & Aritonang, 2020, hal. 1-2).
Film yang menonjolkan eksistensi wanita, justru sering menampilkan wanita yang ditindas, menjadi objek seks, lemah, korban, dan hanya menunjukkan keseksian, kecantikan, dan perilaku yang disukai laki-laki semata. Hal ini menandai bahwa stereotip wanita dalam film masih cenderung negatif (Biasini & Wijayanti, 2021, hal. 18).
Adanya superhero atau pahlawan dalam film, cenderung ditampilkan oleh sosok laki-laki yang memiliki kekuatan super dan perempuan hanya hadir sebagai pendamping. Kemudian ada beberapa pergerakan di film Hollywood dengan menghadirkan sosok pahlawan perempuan yang juga memiliki kekuatan seperti superhero laki-laki.
Representasi feminisme yang 'tidak salah' mudah disalurkan melalui film-film superhero, karena pada dasarnya superhero dipahami sebagai seorang/kelompok yang memiliki kekuatan super dan menjadi penyelamat manusia dengan aksi-aksi bertarungnya.
Hal ini dilakukan seolah-olah untuk menyatakan kesetaraan gender yang harusnya dapat diterima oleh laki-laki dan perempuan, mengingat film memiliki pengaruh besar bagi penonton. Tidak menutup kemungkinan dapat mengubah pikiran atau ideologi penonton.
Suara Feminisme dalam Film Captain Marvel (2019)
Captain Marvel (2019) rilis pada 6 Maret 2019 ini merupakan terobosan baru dari Marvel Cinematic Universe (MCU), karena ini pertama kalinya seorang perempuan hadir dalam hero MCU dan memiliki film sendiri.
Disutradarai oleh Anna Boden dan Ryan Fleck, film ini menceritakan tentang bagaimana Carol Danvers (Brie Larson) yang menemukan jati dirinya setelah mengalami perjalanan panjang hingga diculik oleh alien Skrulls.
Danvers merupakan anggota bangsa Kree atau musuh dari Skrulls. Hingga akhirnya diketahui bahwa dirinya merupakan pilot yang mengalami kecelakaan di tahun 1989 dan memiliki kekuatan karena Ia terkena ledakan Inti Kekuatan.
Kemudian Ia menjadi penyelamat dalam perang antara dua ras alien yang bermusuhan dan berpotensi merusak bumi. Di sinilah sosok hero perempuan, Captain Marvel ditampilkan sebagai superhero penyelamat kehidupan.
Carol Danvers dalam film ini digambarkan sebagai seorang perempuan yang 'tomboy' karena Ia bersikap seperti laki-laki, pandai bertarung, dan hidup di latar belakang militer hingga akhirnya menjadi pilot.
Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas atau pekerjaan yang biasa dilakukan laki-laki dapat dilakukan juga oleh perempuan. Membuktikan juga bahwa perempuan dapat menjaga diri dengan baik, menjadi pemimpin dan mampu bangkit dari keterpurukan karena masa lalunya.
Ketika berlatih bertarung pun, Danvers berpenampilan 'tomboy', karena rambutnya yang acak-acakan dan tatapan tajamnya yang terkesan garang serta bertarung dengan baik seperti yang biasa dilakukan laki-laki.
Kita pun juga tahu bahwa perempuan umumnya diajari untuk bersikap lemah lembut, gemulai, halus, sehingga menimbulkan kesan 'lemah'. Namun, dalam film Captain Marvel (2019) ini, kita dapat melihat sisi lain dari perempuan yang ternyata bisa dididik seperti laki-laki.
Kemampuan bertarung Danvers merupakan suatu dekonstruksi, di mana hal ini untuk mengungkap lapisan makna tertindas yang terdapat di 'teks' dengan menyampaikan kebenaran dengan oposisi binernya (Saukko dalam Fauzi, 2019, hal. 79).
Carol Danvers digambarkan mampu melampaui atau menyamakan diri dengan laki-laki berkat kekuatan supernya. Menggambarkan juga bagaimana sosok perempuan yang tidak selalu membutuhkan pertolongan laki-laki.
Dalam film ini juga menampilkan bagaimana perempuan bisa diakui lebih hebat atau setara dengan laki-laki bila memiliki 'kelebihan', atau dalam film ini 'kekuatan super'.
Dapat terlihat bagaimana Danvers diakui dan terlihat kehebatannya ketika Ia memiliki kekuatan supernya, bukan melalui dirinya sendiri.
Danvers sebagai Captain Marvel (2019) diceritakan memiliki kekuatan super dan pandai bertarung, namun juga ditampilkan sisi kewanitaannya dengan kostum Captain Marvelnya. Begitu juga dengan pasukannya yang perempuan.
Terlihat bahwa MCU merepresentasikan sosok perempuan yang berperilaku seperti yang aktivitasnya umum ditonjolkan oleh laki-laki, namun juga tetap menampilkan aura 'perempuan' dengan tatanan baju, hairstyle dan tingkah laku yang umumnya dilakukan perempuan.
Dari scene perkelahian yang dilakukan Captain Marvel dalam mengalahkan musuh-musuhnya bahkan hanya dengan seorang diri, juga merepresentasikan posisi superior yang dimiliki perempuan di atas laki-laki.
Musuh dalam film ini pun juga mayoritas laki-laki yang pandai bertarung, namun dikalahkan oleh Captain Marvel ketika bertarung.
Film yang berlatar Amerika Serikat ini juga mendobrak sejarah kepemimpinan di AS yang pemimpinnya selalu laki-laki (Renaldy, dkk., 2020, hal. 18-19). Danvers digambarkan sebagai superhero yang mampu memimpin dan menjadi pelindung bagi kaumnya.
Produser dan sutradara film hendak mengubah stigma atau konsep di Amerika, bahwa perempuan juga pantas dan mampu memimpin seperti yang umumnya dilakukan laki-laki.
Bisa kita simpulkan bahwa film Captain Marvel (2019) ini menjadi representasi dari gerakan feminisme yang tercermin dari Carol Danvers sebagai Captain Marvel yang berperilaku dan dididik seperti yang umumnya dilakukan laki-laki.
Melalui aksi heroik dan kemampuan bertarung dan memimpinnya, kita dapat melihat bagaimana sosok wanita juga mampu berjuang dan melakukan aktivitas yang biasa dilakukan laki-laki.
Dalam film ini, dapat dilihat bahwa Marvel hendak mendobrak dan menyampaikan ketidaksetaraan gender yang masih dialami oleh perempuan dengan harapan dapat merubah stigma dan persepsi masyarakat.
Sumber:
Biasini, N., & Wijayanti, S. (2021). Representasi Feminisme Dalam Karakter Pahlawan Perempuan Captain Marvel. Jurnal Widyakala, 8, 17-24.
Fauzi, N. A. (2019). Captain Marvel: Kesetaraan Gender dalam Perspektif Tokoh Superhero. Specta: Journal of Photography, Arts, and Media, 3(2), 73-79.
Imanda, B. C. (2021, Januari 4). Sinopsis Captain Marvel, Asal-usul Salah Satu Superhero Terkuat Marvel. Kompas.com. Diakses dari sini
Renaldy, Budiana, D., & Aritonang, A. I. (2020). Representasi Feminisme dalam Film Captain Marvel. Jurnal E-Komunikasi, 8(1), 1-24.
Ryan, M. (2012). An Introduction to Criticism Literature/Film/Culture. West Sussex: Wiley-Blackwell.
Sembiring, I. G. (2019, Maret 8). Captain Marvel, Menemukan Jati Diri si Pahlawan Terkuat. Kompas.com. Diakses dari siniÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H