Di masa ini, urusan Indonesia dengan para penjajah (Belanda dan Jepang) juga belum sepenuhnya selesai dan kedua negara ini masih ingin memperjuangkan kekuasaannya di Indonesia dengan melakukan propaganda melalui surat kabar.
Sedang hangat-hangatnya setelah merdeka, pers di Indonesia justru mengalami penurunan semangat kemerdekaan. Mereka menjadi terlibat pada persaingan kekuasaan politik dan mengubah sifat pers perjuangan menjadi pers partisipan.
Setelah diakui kemerdekaannya di dunia internasional pada Desember 1949, kebebasan pers mulai dijanjikan dan diterapkan di Indonesia oleh pemerintah. Berita-berita yang diproduksi pada masa ini cenderung berorientasi pada kepentingan politik.
Pers pada masa ini menjadi media komunikasi bagi partai-partai politik. Kebebasan pers yang dikumandangkan hanya digunakan untuk menegaskan status quo dan menjadi tidak efektif penggunaannya untuk menjembatani masyarakat dengan pemerintah.
Pada masa pemerintahan Soekarno ini, penerintah juga menjadi lebih tegas terhadap kegiatan produksi konten media massa untuk memobilisasi masyarakat. Pers yang menentang pemerintah akan dilarang untuk terbit. Kontrol pemerintah akan media saat itu sangat ketat dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan-kepentingan penguasa.
Kebebasan yang Tidak Bebas
Setelah pemerintahan Soekarno, beralihlah kita pada masa pemerintahan Soeharto yang juga menjanjikan kebebasan pers. Di masa ini, pers dapat sedikit menghirup napas kebebasan dengan harapan para jurnalis di Indonesia dapat leluasa untuk menyerukan suara melalui produk jurnalistiknya.
Wujud nyata kebebasan pers ini adalah dengan terbitnya UU No. 11 Tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers yang intinya menjajikan kebebasan pers sebagai hak rakyat dan tidak perlu izin untuk terbit.
Realitanya, media surat kabar saat itu harus memiliki Surat Izin Terbit (SIT) oleh Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) oleh lembaga keamanan KOPKAMTIB. Selain itu, napas kebebasan tadi tidak bertahan lama.
Pada 15 Januari 1974, terjadi Peristiwa Malari yang bersumber dari suara protes masyarakat Indonesia kepada kebijakan pemerintah dalam aspek ekonomi dan sosial. Pemerintah beralih menjadi ketat kontrolnya terhadap pers dan mengakibatkan 12 pers dibredel atau dicabut surat izin terbit dan cetaknya.
Tertera dalam UU No. 21 Tahun 1982, bahwa pers harus memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) oleh Departemen Penerangan untuk dapat terbit. Beberapa perusahaan media yang masih teguh dalam produksi konten yang mengkritik pemerintahan Soeharto kala itu ada Editor, Tempo, dan Detik, walaupun akhirnya Tempo dibredel hingga dua kali.