Mohon tunggu...
Rahayu Damanik
Rahayu Damanik Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumah Tangga

Best in Specific Interest Kompasianival 2016

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Mengungkap Pernikahan Kebal Cerai Suku Baduy Dalam yang Menginap di Rumah Saya

29 Agustus 2016   12:05 Diperbarui: 29 Agustus 2016   12:33 1731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suku Baduy Dalam yang menginap di rumah saya Sabtu Malam 27 Agustus 2016 sampai Minggu pagi 28 Agustus 2016 (foto: Rahayu)

Pagi hari Sabtu 27 Agustus 2016 saya menerima SMS dari Aldi (26 tahun) anak pertama Pak Sapri (49 tahun) suku Baduy Dalam yang beberapa bulan lalu pernah bertemu dengan saya dan suami di perkampungan Baduy. Dulu saya dan suami sengaja mengunjungi Suku Baduy Dalam rangka acara blog competition “Merayakan Baduy Kembali” yang diadakan Kompas.com dan Kompasiana. Tentu saja saya tidak akan mau repot-repot berangkat ke perkampungan Baduy bila tidak penasaran dengan Suku Baduy ini. Saya tergiur mengetahui bagaimana gerangan rupa perkampungan Baduy yang sedemikian asri karena tiada asap motor, limbah detergen, asap rokok, atau pupuk kimia di sana.

Sebab suku Baduy Dalam tidak memakai pasta gigi, shampo, sabun mandi, atau detergen untuk keperluan sehari-hari. Belum lagi mereka menolak menggunakan listrik dan pendidikan formal. Bila ingin ke mana-mana tidak boleh memakai sandal dan hanya jalan kaki termasuk bila mereka pergi ke tempat yang jauh misalkan ke Jakarta, Bogor, Tangerang, atau Depok.

Siapa yang tidak penasaran dengan suku yang memegang teguh tradisi dengan sedemikian ketat? Apalagi pernikahan mereka yang monogami dan tidak dapat bercerai. Benar-benar eksotisme budaya yang membuat saya penasaran. Keunikan budaya Baduy Dalam ini bisa dibaca di tulisan saya sebelumnya

Saat saya berkunjung ke Baduy itu, kami saling bertukar nomor handphone dan menawarkan bila sedang ke Tangerang jangan lupa singgah ke rumah saya. Mengenai handphone hanya boleh digunakan di luar perkampungan Baduy Dalam sebab haram hukumnya menggunakan alat elektronik di Baduy Dalam. Pun tidak ada sinyal di sana dan bila malam hari tiba sangat gelap gulita sebab tiada setitik cahaya lampu listrik.

Akhirnya, Sabtu malam pada tanggal 27 Agustus 2016 jadilah keempat teman-teman Baduy ini datang ke rumah saya. Kebetulan Jumat (26 Agustus 2016) dan Sabtu (27 Agustus 2016) mereka diundang ke pameran budaya Baduy di GOR Tangerang. Sabtu sore setelah acara selesai mereka berjalan kaki ke rumah saya di Poris Gaga Baru Tangerang Banten. Saya sudah menawarkan untuk menjemput mereka namun mereka menolak karena larangan menaiki kendaraan yang masih dipegang teguh.

Saat di rumah, saya menyempatkan diri mengobrol banyak hal khususnya dengan Pak Sapri mengenai pernikahan Suku Baduy Dalam yang menurut pengakuan Pak Sapri belum ada yang bercerai hingga kini. Bahkan satu suami hanya boleh menikah dengan satu istri kecuali bila salah seorang telah meninggal dunia boleh menikah lagi. Hal ini juga berlaku untuk Puun yang merupakan kepala adat suku Baduy Dalam.

Saya penasaran bertanya mengenai pernikahan Suku Baduy apakah tidak ada pertengkaran suami istri sehingga bisa sampai tidak ada perceraian? Pak Sapri tertawa ditanya demikian. Tentu saja ada pertengkaran namun biasanya disikapi dengan mencari udara segar di luar rumah adat mereka yang tanpa menggunakan paku sama sekali. Hal ini dilakukan Pak Sapri untuk menenangkan pikiran pun demikian sang istri. Biasanya keadaan akan kembali membaik saat pulang ke rumah lagi.

Pertengkaran yang biasa dialami pasangan Suku Baduy Dalam menurut Pak Sapri biasanya adalah masalah makanan yang tidak mencukupi untuk semua anggota keluarga sebab seperti kita ketahui lahan tani Suku Baduy saat ini sudah menyempit. Hal ini disebabkan terjadinya pertumbuhan jumlah penduduk Suku Baduy Dalam namun tidak disertai dengan perluasan area kampung Baduy. Akibatnya, lahan tani terpaksa digunakan sebagai tempat tinggal sehingga produksi beras menurun drastis. Suku Baduy Dalam terpaksa berjualan madu hutan dan aneka kerajinan tangan lain untuk membeli beras dari luar Baduy.

Saya sungguh terkesan dengan pernikahan satu suami dengan satu istri para pasangan Suku Baduy Dalam ini. Bagaimana tidak? Dalam kondisi kemiskinan dan tanpa mengenyam dunia pendidikan mereka bisa mencapai pernikahan yang langgeng sampai maut memisahkan. Betapa luar biasanya, mengingat banyak pasangan yang berlimpah harta dan berpendidikan namun menyerah pada badai rumah tangga.

Banyak kita yang bercerai karena sudah tidak cinta lagi kepada pasangan. Perkara cinta yang sudah tawar, para Baduy Dalam tampaknya sangat ahli menghidupkan api asmara dan mempertahankannya agar tetap menyala dalam rumah tangga. Sebab pernikahan pria dan wanita Baduy Dalam bukanlah atas dasar cinta namun perjodohan yang harus diterima.

Suami dan anak saya (ikut-ikutan tidak pakai Sandal) mengantarkan teman-teman Baduy ke gerbang cluster perumahan kami (foto: Rahayu)
Suami dan anak saya (ikut-ikutan tidak pakai Sandal) mengantarkan teman-teman Baduy ke gerbang cluster perumahan kami (foto: Rahayu)
Saya menarik kesimpulan kalau untuk mempertahankan sebuah rumah tangga membutuhkan sebuah konsep berpikir yang terpatri di dalam jiwa bahwa, “Sehebat apa pun guncangan dalam pernikahan saya, akan tetap saya pertahankan!” Tampaknya inilah yang ada di benak para suku Baduy Dalam sebab hidup dalam kemiskinan, tiada pendidikan, apalagi ‘hanya’ dijodohkan bukanlah kehidupan yang ringan namun mereka tidak menjadikannya sebagai alasan dan pembenaran untuk bercerai. Saya percaya kita pun bisa seperti Suku Baduy Dalam yang sekali berkomitmen menikah akan tetap memegang janji nikah sampai kapan pun asalkan di dalam pikiran kita tertanam tekad yang kuat dan menolak perpisahan dengan alasan apa saja.

Hal lain yang saya percaya sangat penting adalah pengaruh lingkungan. Sama seperti Suku Baduy Dalam yang semuanya berada dalam satu lingkungan yang menghindari perceraian pun demikian kita juga harus sering-sering berada dalam lingkaran pertemanan yang menganggap penikahan adalah sebuah hal yang harus dijaga bagaimana pun juga. Hal ini memberikan kita sebuah kekuatan untuk mengemban permasalahan keluarga tanpa sedikit pun memberikan celah bagi perceraian. Coba bayangkan bila kita berada dalam pertemanan yang menganggap perceraian adalah hal yang lumrah. Tentu komitmen kita mudah goyah.

Demikianlah hasil interview saya dengan seorang Suku Baduy Dalam. Semoga menginspirasi kita semua untuk memperjuangkan pernikahan yang langgeng sampai kakek nenek.

Salam,

Rahayu Damanik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun