Bolehkah menikah dengan seseorang yang berbeda agama dengan kita? Sebelum membahas hal tersebut sebaiknya lihat dahulu bagaimana awal terjadinya pernikahan beda agama ini. Mulanya tidak ada keinginan untuk menikah dengan yang tidak seiman namun ternyata pada perjalanan kehidupan bertemulah dengan seseorang yang pesonanya demikian membekas di hati. Hubungan dilanjutkan dengan berpacaran dan ternyata menemukan kecocokan yang belum pernah dirasakan bahkan dengan yang seagama sekalipun. Tidak heran, setelah menjalani masa berpacaran ada keinginan untuk membawa hubungan ke arah yang lebih serius yakni pernikahan.
Meskipun ingin bersatu dalam keluarga, masing-masing pasangan ingin tetap setia pada imannya. Alasannya, bila selama berpacaran bisa akur maka demikian juga saat menikah nanti. Satu hal yang mereka berdua yakini adalah cinta yang tidak memandang status, materi, termasuk agama. Pasangan ini juga mengamini kalau semua agama mengajarkan kebaikan sehingga anak-anak kelak boleh mengikuti agama yang mana saja.
Orang tua sebenarnya tidak menyetujui namun terpaksa memberi restu karena keduanya tetap ngotot menikah. Apalagi menurut penuturan sang anak, selama ini sudah berusaha mencari yang seiman namun ternyata justru lebih sreg dengan sang kekasih yang tidak seiman. Kedua sejoli berusaha meyakinkan orang tua kalau mereka berdua pasti bisa berjalan langgeng asalkan saling menghargai, pengertian, dan toleransi satu sama lain. Sebab yang terpenting adalah mereka berdua saling mencintai dan setia. Kira-kira demikianlah sehinga pernikahan beda agama itu pun akan segera dilangsungkan.
Penulis menganggap sebaik-baiknya pernikahan adalah dengan yang seiman. Bila memang masing-masing teguh dengan keyakinannya sebaiknya mencari calon yang lain sekalipun berat. Anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga beda agama pasti akan bingung harus memilih agama papa atau mamanya. Orang tua juga tidak kalah terbeban dengan hal ini sebab jauh di dalam hati kecil pastilah ingin anak-anak mengikuti iman mereka sehingga hal ini berpotensi menimbulkan persaingan orang tua. Sebab ada beban tersendiri bagi papa atau mama bila sang anak tidak mengikuti agamanya. Apalagi masalah pendidikan agama harus dimulai dari kecil, anak-anak harus diajarkan sesuai agama siapa, papa atau mamanya?
Pengalaman yang pernah penulis lihat, dimana papanya Muslim dan ibunya Kristen, yang terjadi adalah hari Minggu anak-anak diajak sekolah minggu oleh mama dan hari Jumat diajak ke masjid oleh papanya. Saat anaknya ke gereja sang papa tidak tenang dan saat anak ke masjid sang mama gelisah. Repot sekali karena orang tua berbeda dan perkembangan mental anak juga menjadi tidak baik.
Beratnya pernikahan beda agama semakin sulit karena pada dasarnya fondasi orang tua sudah berbeda. Artinya secara prinsip mereka sulit disatukan. Ibarat mengendarai mobil maka sang supir tidak tahu harus mengarahkan kemana apakah ke kiri atau ke kanan. Siap-siap terjadi kecelakaan karena ditabrak atau menabrak. Bila dalam hal yang mendasar pun berbeda maka kedua orang tua sulit untuk saling berpegangan tangan mengarungi beratnya badai kehidupan.
Selain perbedaan mendasar, orang tua beda agama juga tidak sama dalam hal makanan yang diperbolehkan, cara berdoa, dan mendidik anak. Bisa-bisa setiap hari timbul benturan-benturan yang menimbulkan rasa capek hati. Artinya, seiman saja bisa sering selisih pendapat apalagi ditambah masalah perbedaan yang mendasar, pusing banget! Okelah di tahun-tahun awal bisa saling menjaga, lama-lama ‘kan goyah juga sebab semuanya akan berusaha mengarahkan kepada apa yang paling diyakini.
Selain itu, pasangan beda iman tidak bisa merasakan indahnya ibadah bersama suami/istri dan anak-anak. Misalkan gereja bareng atau sholat berjamaah. Pastilah timbul kerinduan beribadah bersama-sama apalagi saat melihat keluarga orang lain yang selalu kompak ibadah bareng. Keinginan ibadah bersama-sama semakin mendalam ketika menyadari kalau kegiatan bersama ini selain bisa menumbuhkan iman keluarga juga bisa memperkokoh intimacy di antara anggotanya. Lagipula keindahan menikah dengan yang satu iman itu, kita bisa saling mengingatkan bila pasangan atau anak mulai melupakan nilai ibadah, bisa berdiskusi mengenai iman bersama-sama, dan ada tempat bertanya bila kurang memahami permasalahan iman. Asyik bukan? Nah, kalau beda iman masa’ ada apa-apa harus tanya pemuka agama atau mbah google? He..he..
Jadi, sebelum terlanjur menikah lebih baik kita pikirkan lagi. Menikah bukan hanya urusan setahun atau dua tahun kemudian kalau tidak cocok bisa pisah begitu saja. Lebih baik  gagal berpacaran daripada rumah tangga kandas di tengah jalan. Bagaimana menjalankan kehidupan pernikahan jauh lebih penting daripada menyatukan dua hati yang berbeda. Lebih baik memilih pasangan yang seiman supaya lebih serasi. Berteman dengan siapa saja namun menikah hanya dengan yang seiman. Buat yang masih mencari pasangan dan menemukan yang beda agama lebih baik jangan dijalani, sebab lebih mudah memadamkan api kecil daripada api yang membara.Â
Salam jiwa muda,
Rahayu Damanik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H