Mohon tunggu...
Rahayu Damanik
Rahayu Damanik Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumah Tangga

Best in Specific Interest Kompasianival 2016

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kisah Remaja yang Percaya Diri dengan Gigi Tonggosnya

8 Agustus 2016   12:30 Diperbarui: 8 Agustus 2016   12:45 1115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah kisah saya sendiri khususnya saat remaja dan belum menikah yang memiliki gigi agak (baca: sedikit) tonggos. Sampai kini pun kondisi gigi saya belum berubah. Dulu, sesekali gigi saya menjadi bahan olokan adik yang memanggil saya dengan Yutong, “Ayu tonggos!” sakit hati? Nyesek? Biasa aja tuh he..he..Tetap percaya diri.

Jarang-jarang lho remaja yang pede dengan gigi tonggos. Alih-alih pede malah banyak yang minta kepada orang tua supaya dipakein behel biar makin cakep. Bila saya meminta kepada orang tua dibelikan behel tentu mereka tidak menolak namun sama sekali saya tidak pernah mengajukan permintaan tersebut meskipun dengan kesadaran penuh saya memiliki sebuah ‘kekurangan’

Faktor utama yang membuat gigi saya demikian adalah karena genetik bapak saya yang memiliki gigi yang tonggosnya lumayan. Syukurlah gigi mama saya rapi jadi hasilnya perpaduan mereka berdua; saya memiliki gigi yang tidak setonggos bapak saya. Bila ada keluarga yang melihat gigi bapak saya baik-baik saja, enggak tonggos, itu karena bapak memakai gigi palsu he..he..Entah karena apa saya lupa penyebabnya. Malah saat di rumah, bapak sengaja mencopot gigi palsunya dan tertawa memamerkan mulut yang sudah tidak bergigi lagi kepada kami anak-anaknya. Kocak!

Saya ingat sewaktu balita atau SD, bapaklah yang sering mendapat tugas untuk mencabut gigi saya yang sudah goyang dengan menggunakan benang. Dulu belum terpikir seperti sekarang; pergi ke dokter gigi ‘hanya’ untuk mencabut gigi. Entah bagaimana caranya, bapak dengan telaten mencabut gigi saya dengan benang dan tanpa sakit yang berlebihan gigi saya tiba-tiba sudah copot. Selanjutnya, bapak mengikuti tradisi orang lain yang kalau gigi bagian bawah anaknya copot maka gigi tersebut dibuang ke atap. Bila gigi atas yang copot maka giginya harus ditanam di tanah. Katanya sih supaya giginya tumbuh lagi dengan yang lebih bagus. Mungkin bapak saya berharap gigi anaknya tidak seperti dirinya. Sampai bela-belain ikut mitos masyarakat. Buktinya? Gigi saya tetap tonggos tuh!

Kisahnya agak sedikit di luar harapan saat saya sudah bekerja dan datang bersama pacar ke rumahnya. Pacar berencana ingin mengenalkan saya kepada orang tuanya. Dag dig dug ser, pasti! Saya sudah persiapkan pakaian dan riasan terbaik yang akan digunakan supaya terlihat sopan dan manis di hadapan calon mertua. Selain itu, saya bersama pacar juga sudah melakukan persiapan khusus mengenai kira-kira apa yang akan ditanyakan orang tuanya dan bagaimana jawaban saya nanti. Kami latihan wawancara dulu. Pacar pura-pura berperan sebagai orang tua yang sedang menginterview saya (sudah kayak lamaran kerja ya he..he..) kemudian saya yang melakonkan diri menjadi calon menantu yang baik.

Pertemuan saya dengan orang tuanya berlangsung lancar. Merasa panas dingin pasti namun saya lumayan bisa menyembunyikan rasa grogi. Memang benar kata ungkapan, “Woman is a good pretender.” Selesai pertemuan dengan orang tua pacar, saya pun pulang. Keesokan harinya saat bertemu pacar, saya bertanya padanya, “Apa yang ditanya orang tua kamu pas aku sudah pergi?” Pacar agak bingung mau menjawab apa namun melihat wajah saya yang serius ingin tahu bagaimana performa saya di depan orang tuanya, dia pun berkata, “Sama sekali enggak ditanya apa-apa hanya tentang gigi” Ha?? Ya ampun, sudah persiapan ini itu hanya ditanya tentang gigi. Sedih?! Ia sedikit he..he.. Lalu ada keinginan untuk memakai behel biar tambah cakep? Sama sekali enggak tuh! Soalnya gigi tonggos ini sangat berarti buat saya. Setiap saya bercermin dan melihat gigi, saya jadi ingat kepada bapak saya. Saya pun semakin sadar kalau saya ini anaknya beliau. Saya juga selalu terkenang peristiwa masa kecil saat bapak mencabut gigi saya yang goyang dengan sehelai benang. Lagi pula gigi tonggos ini membawa berkah, lho kok bisa?

Masalahnya gara-gara gigi tonggos ini saya jadi menemukan teknik untuk tersenyum manis. Bagaimana caranya? Saat tersenyum rapatkan kedua bibir (bibir atas dan bibir bawah sampai menutupi semua gigi yang tonggos) kemudian tersenyumlah dengan tulus maka senyuman itu akan terlihat manis sekali. Beberapa teman berpendapat saya sangat manis saat tersenyum he..he.. Lagipula yah, saya percaya kualitas seseorang tidak ditentukan dari kerapian giginya tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya. Betul tidak?!

Salam kawula muda,

Rahayu Damanik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun