Mohon tunggu...
Rahayu Damanik
Rahayu Damanik Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumah Tangga

Best in Specific Interest Kompasianival 2016

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Rapatkan Barisan Mengubah ‘Tradisi’ Lonjakan Harga Daging Sapi Menjelang Lebaran

28 Juni 2016   12:09 Diperbarui: 30 Juni 2016   16:41 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sama seperti nutrisi dalam ASI beku tetap bagus, demikian juga daging sapi beku (foto: health.liputan6.com)

Peristiwa pilu masa kecil itu masih jelas terekam di ingatan. Bapak saya yang sudah lama menunggu masa panen tiba ternyata tidak menuai hasil. Seharusnya bapak memanen hasil kol di ladang, menjualnya, kemudian bergembira karena menerima uang sebagai hasil jerih payah beliau.

Alih-alih bahagia, ternyata keringat, uang, dan pikiran yang sekian bulan telah dikucurkan tak membuahkan hasil. Kata bapak, lebih baik kol yang siap dipanen itu dibiarkan di ladang, membusuk, dan menjadi pupuk hijau karena harga yang ditawarkan oleh pedagang yang biasa membeli hasil panen bapak terlalu murah. Biaya yang dikeluarkan untuk memanen pun lebih besar daripada uang yang diterima. Artinya tekor dan lebih baik hasil kol tersebut tidak dijual.

Saya yang masih duduk di bangku SD tidak terlalu paham mengapa bisa demikian karena menurut saya, jarak pasar tradisional tempat biasa mama berbelanja dengan ladang bapak hanya sekitar satu jam saja. Kenapa bapak tidak menjual ke pasar saja hasil panennya? Kenapa harus menjual ke pemborong yang memberikan harga murah?

Bapak Menteri Thomas Lembong dalam acara nangkring Kompasiana (foto: Rahayu)
Bapak Menteri Thomas Lembong dalam acara nangkring Kompasiana (foto: Rahayu)
Nangkring Kompasiana-Kemendag Mengenai Harga Daging Sapi

Sebagai seorang anak yang melihat langsung dunia petani, saya sama sekali tidak setuju dengan kebijakan pemerintah untuk mengimpor daging sapi dengan tujuan agar harga daging sapi yang di pasaran jangan terlalu mahal. Pemerintah bahkan memberikan target ingin menurunkan harga 80.000 Rupiah per kilogram daging sapi. Menurut Bapak Thomas Lembong menteri perdagangan, salah satu cara yang ditempuh untuk menurunkan dan menstabilkan harga sapi adalah dengan cara mengimpor daging sapi beku dari Australia.

Menurut saya, bila pemerintah mengimpor daging sapi sama saja membuat peternak lokal gigit jari. Betapa menyedihkan kalau pemerintah sendiri menjadi pesaing bagi peternak lokal. Apa salahnya harga daging sapi mahal? Bukankah yang diuntungkan peternak lokal juga? Inilah salah satu alasan mengapa saya tidak pernah keberatan bila harga daging sapi meningkat cukup tajam setiap tahun.

Pertama kali pindah ke Poris Tangerang Banten tahun 2012 harga daging sapi kalau saya tidak salah seingat 80 ribu per kilogram kemudian naik perlahan-lahan dan setahun terakhir menjadi 120 ribu per kilogram. Menjelang Ramadhan tahun ini bahkan naik menjadi 130 ribu per kilogram. Saya selalu berbelanja di tempat yang sama yaitu pasar tradisional Poris Indah. Boleh dikatakan saya tidak keberatan dengan kenaikan harga daging sapi saat Ramadhan dan menjelang Lebaran karena merasa hal itu sudah ‘tradisi’ dan pastinya akan menguntungkan peternak lokal juga.

Berbeda dengan anggapan saya dan masyarakat yang biasanya pasrah dengan kenaikan harga sapi saat bulan puasa, bagi pemerintah khususnya Pak Jokowi menganggap hal tersebut tidak biasa, harus diubah, dan dijungkirbalikkan. Awalnya saya tidak mengerti, namun kini saya pun menjadi sadar karena teringat pengalaman masa kecil di mana bapak saya yang membiarkan hasil panen kol begitu saja di ladang.

Saya tidak mengerti jalan pemikiran bapak namun semakin dewasa, saya paham bapak berprinsip kalau petani itu tugasnya adalah menanam dan bukan berdagang. Bila mau menjual hasil panen, jual saja ke pedagang besar yang memborong semua hasil panen. Pemborong tersebutlah nantinya yang akan menjual hasil panen bahkan kabarnya sampai diekspor ke luar negeri. Bapak bahkan tidak tahu sama sekali berapa harga kol saat di tangan pembeli.

Saya berpikir hal yang seperti dialami petani juga sering kali dihadapi peternak lokal yang terkadang tidak memiliki pilihan sehingga terpaksa menjual sapi ke pedagang besar yang memiliki kemampuan mengakses pasar. Banyak sekali petani dan peternak lokal yang tidak pernah menjual langsung ke pasar hasil budidayanya karena pemikiran yang menganggap kalau peran mereka hanya sebatas produsen sehingga buta dan tidak berdaya menghadapi permainan pasar.

Akibatnya? Para pedagang besar terkadang memanfaatkan kurangnya pemahaman para peternak lokal dan petani untuk membeli harga hasil budidaya mereka dengan sistem borongan. Harga beli pedagang besar ini terhadap hasil ladang atau hewan ternak terkadang sangat murah namun nantinya di jual di pasar dengan harga yang tinggi. Artinya? Sering kali petani dan peternak lokal mendapatkan untung yang sangat tipis, tidak untung, bahkan rugi seperti bapak saya dulu.

Bagaikan langit dan bumi, keuntungan yang diperoleh pedagang besar pun sangat tinggi karena paham mengenai pemasaran. Seandainya waktu bisa diulang, hasil panen bapak saya tidak akan saya biarkan begitu saja. Memanfaatkan ilmu sales yang saya punya akan saya jual hasilnya langsung ke pasar atau saya promosikan di internet dengan harga yang memuaskan sehingga bisa melihat raut muka gembira bapak saya. Pastilah beliau merasa bahagia sebab hasil kerja kerasnya dihargai secara layak dan pantas.

Saya mendapatkan ilmu yang berharga kalau inilah fakta yang terjadi di lapangan. Peternak lokal menjual sapi dengan harga yang murah kepada pedagang besar kemudian oleh sang pedagang, sapi diolah sedemikian rupa seperti dipotong-potong sehingga harga per kilogramnya pun jauh lebih mahal daripada harga sapi yang msih utuh. Mungkin tidak semua namun tetap saja sedih menyadari kalau ternyata banyak peternak lokal yang memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap para pedagang besar. Namun kenyataan ini jugalah yang membuat saya paham kalau apa yang dilakukan pemerintah untuk mengimpor daging sapi sebagai langkah jangka pendek untuk menjaga harga pasar daging sapi stabil adalah sebuah pilihan yang tepat.

Seandainya impor tidak dilakukan sementara pasokan daging sapi berkurang seiring meningkatnya permintaan daging sapi di bulan Ramadahan dan menjelang Lebaran, maka bisa menyebabkan harga daging sapi tembus mungkin mencapai 150 ribu per kilogram. Lalu siapakah yang diutungkan bila harga daging sapi menjadi mahal sekali?

Justru kondisi pasokan daging sapi yang sangat kurang di daerah Jabodetabek Jawabarat memaksa pemerintah mau tidak mau harus mengimpor daging sapi karena impor sama sekali tidak terbukti membunuh peternak lokal namun memberikan solusi bagi permasalahan lain yang bisa timbul akibat kelangkaan stok daging sapi. Impor ini sangat penting untuk menjaga kestabilan harga. Mengapa? Bila kelangkaan dibiarkan sehingga harga terus menanjak naik akan menimbulkan beberapa risiko yang sangat membahayakan. Satu hal yang diharapkan pemerintah adalah kondisi dimana peternak dan pedagang mendapatkan keuntungan yang wajar dan tidak memberatkan konsumen juga. Jangan sampai hanya segelintir orang yang diuntungkan saat harga daging sapi melonjak naik. Inilah sebabnya pasokan harus cukup. Bila pasokan cukup maka harga tidak akan melambung tinggi.

Satu hal yang semakin meyakinkan saya kalau daging sapi beku impor tidak akan memberatkan peternak lokal adalah karena pemerintah hanya menyuplai daging sapi beku impor di wilayah Jabodetabek dan daerah yang kekurangan daging sapi saja jadi hal ini sungguh menenangkan. Wilayah luar Jabodetabek dan Jawa Barat biasanya tidak perlu disuplai lagi asalkan bisa dipenuhi oleh daging sapi lokal.

Bahaya Kelangkaan Daging Sapi Menjelang Ramadahan

Produksi daging sapi dalam negeri masih belum mampu mencukupi kebutuhan masyarakat sehingga sebagai langkah jangka pendek harus dilakukan upaya mengimpor daging sapi beku. Pemerintah sudah mendatangkan sapi dari daerah namun tidak cukup. Daging lokal tersebut hanya mampu mencukupi sekitar 35% dari total kebutuhan daging sapi di Jabodetabek dan sisanya harus diimpor. Hasil pemaparan Pak Lembong dan hasil analisis, saya memperoleh beberapa kesimpulan betapa bahaya kelangkaan daging sapi yang dibiarkan menjelang lebaran.

1. Kemungkinan harga daging sapi yang biasanya 120 ribu per kilogram menjadi 150 ribu Rupiah atau mungkin lebih. Akibatnya, banyak masyarakat yang menjadi tidak mampu mengkonsumsi daging sapi. Padahal pemerintah ingin agar masyarakat dapat mengkonsumsi makanan yang bergizi, bermutu, namun harga terjangkau. Apalagi daging sapi adalah salah satu sumber protein yang amat penting untuk pertumbuhan tubuh dan membantu kecerdasan otak. Konsumsi protein yang baik dalam satu generasi akan mempengaruhi kualitas masa depan bangsa.

Selain itu, bila harga kebutuhan meningkat sementara daya beli masyarakat terbatas maka rakyat akan semakin sengsara. Impor daging sapi beku terpaksa dilakukan karena Indonesia belum memiliki stok yang memadai untuk mencukupi banyaknya kebutuhan daging sapi. Bila sudah swasembada maka pemerintah tidak perlu impor lagi, sebaliknya bisa mengekspor.

2. Penjual bakso atau industri sosis dan usaha yang memiliki bahan baku daging sapi bisa tutup karena harga yang tidak terjangkau lagi. Akibatnya, lapangan kerja banyak yang ditutup dan pilihan makanan sumber protein menjadi langka di pasaran.

3. Kelangkaan daging sapi di pasar akan menimbulkan ambisi dari beberapa pihak untuk berburu sapi dari peternak lokal dengan cara membujuk peternak agar mau menjual sapi mereka dengan harga yang murah kemudian dijual dengan harga mahal. Ada yang mengistilahkan pedagang besar memiliki sifat demikian dengan sebutan tengkulak. Para pedagang besar ini akan membeli sapi dari peternak lokal tanpa mempedulikan apakah sapi masih terlalu muda atau sapi-sapi yang dipelihara adalah untuk tujuan pengembangbiakan.

Sapi betina dengan kualitas unggulan tentu berbahaya bila dijual karena bisa mengurangi regenerasi dan populasi sapi di Indonesia. Pedagang besar sering berhasil membujuk peternak lokal untuk menjual sapi sebelum waktunya karena memanfaatkan kondisi peternak lokal yang juga sedang membutuhkan uang apalagi menjelang Lebaran. Bila hal ini terus menerus berlanjut maka Indonesia terancam mengalami kelangkaan populasi sapi unggulan karena membantai sapi betina (indukan) ibarat membakar pabrik sendiri.

4. Bahaya berikutnya yang mengejutkan adalah karena adanya pihak-pihak tertentu yang ingin memperoleh keuntungan di tengah tingginya harga daging sapi. Para orang yang tidak bertanggung jawab ini mencampur daging babi bersamaan dengan daging sapi karena harga selisih harga yang besar. Mengenai ini bisa dibaca di sini. 

 5. Salah satu penyumbang inflasi tertinggi adalah bahan makanan termasuk daging  sapi. Inilah alasan lain mengapa pemerintah mengimpor daging sapi demi menjaga kestabilan harga agar tidak memberikan kenaikan inflasi. Inflasi adalah salah satu musuh terbesar sebuah negara karena sangat merugikan. Tidak ada artinya pertumbuhan ekonomi namun dibarengi juga dengan tingginya pertumbuhan inflasi. Ibaratnya kita sudah memiliki kenaikan penghasilan sepuluh persen namun harga kebutuhan pokok meningkat lima belas persen. Percuma! Pemerintah tidak ingin kekayaan masyarakat terkikis karena adanya penurunan daya beli uang sebab masyarakat khususnya yang miskin bisa semakin menderita.

Kualitas dan Keunggulan Daging Sapi Beku

Mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya mengapa pemerintah harus mengimpor daging sapi beku? Salah satu alasan utamanya adalah karena daging sapi beku bisa bertahan sampai berbulan-bulan. Artinya? Harga daging sapi bisa stabil dan tidak akan ada namanya kasus tidak ada stok di pasar sehingga harga pun menjadi naik. Usia sapi sebelum dipotong bisa diatur (ideal). Kerugian daging sapi segar salah satunya adalah sapi terkadang dipotong saat usia masih terlalu muda atau terlalu tua. Misalkan peternak memiliki sapi yang sudah cukup usia namun tidak ada yang mau membeli, lama kelamaan sapi akan ketuaan dan harganya turun.  

Keunggulan daging sapi beku adalah daging lebih higienis daripada daging segar karena setelah dipotong dan dibersihkan sedemikian rupa, daging sapi dikemas dan dibekukan. Artinya? Kuman dalam daging tidak akan bisa berkembang biak karena suhu yang terlalu dingin. Bila daging sapi segar maka hanya bertahan sekian jam karena bakteri dan kuman dalam daging berkembang dengan cepat saat dibiarkan dalam suhu ruang. Belum lagi daging dihinggapi kuman yang bertebaran bebas di udara. Proses pembekuan sangat ampuh menonaktifkan kuman yang membusukkan daging. Inilah yang membuat daging sapi beku tetap segar hingga berbulan-bulan tanpa penambahan bahan pengawet sama sekali.

Bila dari kandungan nutrisi dan gizi sebenarnya daging sapi segar dan beku memiliki kandungan gizi yang sama karena proses pembekuan tidak merusak vitamin dalam daging. Sebaliknya proses pemanasanlah yang merusak nutrisi dalam daging. Daging sapi beku yang diimpor telah disertai pernyatan halal dari MUI atau organisasi Islam negara asal yang telah diakreditasi oleh MUI. Penilaian kesehatan hewan dan zoonosis serta keamanan pangan dilakukan oleh tim auditor Ditjen PKH, sedangkan penilaian jaminan halal oleh MUI dan LP POM MUI.

Badan Karantina Pertanian dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menandatangani kerjasama dalam hal pemeriksaan sertifikat sehat dan sertifikat halal. Saat daging sapi impor masuk ke pelabuhan, maka akan selalu diperiksa oleh  dokter hewan karantina. Sang penyembelih di Australia juga harus seorang Muslim dan rumah potong hewan yang dipilih pun memiliki standar kesehatan internasional dan sekaligus harus halal. Masa berlaku sertifikat halal ini hanya setahun dan dilakukan pengkajian ulang oleh MUI setiap tahunnya.

Mengenai kehalalan dan kesehatan daging sapi beku impor ini bisa dibaca di website resmi kementerian pertanian. Kita juga perlu mengetahui kalau Indonesia dan Australia mendapat pengakuan dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties/OIE) karena terbebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK) dan penyakit sapi gila.

Sebenarnya ada langkah jangka pendek lain yang sudah ditempuh pemerintah untuk menjaga kestabilan harga daging sapi. Pertama pemerintah sudah mengupayakan penyediaan stok daging sapi dari daerah penyuplai sapi di Indonesia namun jumlah tidak mencukupi dan setelah melihat kondisi yang ada di lapangan, Pak Jokowi pun menyimpulkan swasembada daging sapi baru bisa diraih selama sepuluh tahun mendatang mengingat infrastuktur yang mendukung peternakan sedang giat-giatnya dibangun.

Selain impor daging sapi beku, Pak Lembong juga mengajak masyarakat untuk mencari sumber protein lain yang juga tidak kalah bergizi seperti dari ikan, telur, tahu, tempe, atau seafood sehingga harga daging sapi tidak terlalu melonjak dan masyarakat tetap bisa mendapatkan nutrisi yang cukup. Pemerintah juga mendorong masyarakat untuk membeli bagian daging sapi yang lebih murah karena kandungan nutrisi tetap sama walaupun bentuk (wujudnya) berbeda. Misalkan daging sapi has dalam (primary cut) yang mahal bisa diganti dengan daging bagian paha (secondary cut) yang lebih murah atau bisa diganti menjadi iga yang lebih murah lagi namun tidak kalah dalam urusan gizi. Selain itu ada juga bagian sapi seperti tetelan dan potongan-potongan sisa daging yang harganya jauh lebih murah sekitar 50.000 per kilogram namun kelezatan sama. Sikap tidak turut latah membeli daging sapi dan sikap cerdas memilih sumber protein yang lebih murah dan bergizi menjelang Lebaran ini akan turut membantu mengurangi melonjaknya harga daging sapi.

Beda bagian potongan daging sapi beda pula harganya (foto: Kemendag)
Beda bagian potongan daging sapi beda pula harganya (foto: Kemendag)
Satu hal yang perlu diapresiasi dari pemerintah sekarang adalah mekanisme impor yang terbuka untuk importir perusahaan swasta yang sudah memenuhi syarat seperti memiliki surat perizinan, gudang, dan angkutan pendingin. Pemerintah tidak membiarkan impor daging sapi beku dimonopoli BUMN demi menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.

Sebenarnya kita masyarakat Indonesia sudah biasa dengan masalah membekukan makanan. Lihat saja stok ASI ibu-ibu bekerja pasti dibekukan dan disimpan di kulkas juga bukan? Nutrisinya juga tidak berkurang saat dikonsumsi oleh bayi kita. Demikian juga dengan saya yang baru menyadari kekurangan saya, selama ini saya membeli daging sapi segar di pasar lalu kemudian saya bagi-bagi menjadi beberapa bagian dan kemudian saya bekukan di freezer dan dikeluarkan salah satu saat hendak dimasak.

Sama seperti nutrisi dalam ASI beku tetap bagus, demikian juga daging sapi beku (foto: health.liputan6.com)
Sama seperti nutrisi dalam ASI beku tetap bagus, demikian juga daging sapi beku (foto: health.liputan6.com)
Betapa ruginya? Pertama harga daging sapi segar jauh lebih mahal ujung-ujungnya malah saya bekuin juga. Kedua, pemotongan tidak terjamin higienitasnya karena sudah lama digantung di pasar tempat pedagang daging yang pasti kumannya sudah berkembang. Tentu lebih baik saya membeli daging sapi beku; sudah lebih murah tentu lebih higienis.

Daging beku (kiri) dan daging beku yang sudah siap dimasak (kanan) (foto: Rahayu)
Daging beku (kiri) dan daging beku yang sudah siap dimasak (kanan) (foto: Rahayu)
Saya membeli daging beku impor (kiri) di sebuah toko dengan harga sekilo 87.900. Bapak Ibu yang ingin membeli daging sapi beku bisa membeli di lokasi operasi pasar yang tercantum pada foto pertama artikel ini karena harganya lebih murah daripada yang saya beli. Nanti, bila belum ingin dimasak simpanlah di freezer sehingga tetap beku. Bila ingin dimasak, daging disimpan di kulkas bagian bawah semalaman untuk dimasak pagi hari (kanan). Tujuannya supaya daging tidak beku lagi dan siap dimasak. Saat ingin memasak daging, jangan mencairkan daging di dalam air karena bisa mengurangi kadar protein daging. Daging beku yang saya beli pun tampak sangat segar (kanan) dan rasanya setelah dimasak sama dengan daging sapi di pasar yang kini harganya 130 ribu per kg.

Mempersiapkan Fondasi Meraih Swasembada Daging Sapi

Pemerintah memiliki sasaran untuk menjadikan Indonesia swasembada daging sapi. Namun satu hal yang pasti adalah hal tersebut tidak bisa dilakukan hanya dalam hitungan hari. Kunjungan presiden ke NTT menghantarkan beliau pada kesimpulan kalau swasembada daging sapi bisa diraih 10 tahun lagi karena dipengaruhi infrastruktur. Jabodetabek mengkonsumsi ratusan ton daging sapi setiap harinya, hal ini sangat disayangkan karena harus impor. Pemerintah berharap luasnya kebutuhan akan daging sapi ini bisa dipenuhi oleh NTT yang merupakan wilayah yang sangat cocok untuk ternak sapi.

Bila kebutuhan dalam negeri kelak tercukupi, presiden berharap agar Indonesia bisa surplus dan mengekspor daging sapi berkualitas ke negara lain di dunia. Hal tersebut harus dipersiapkan dengan matang karena kendala utama ternak sapi adalah terkait infrastruktur air bersih lewat embung atau waduk. Selama ini di NTT, air hanya cukup saat musim hujan dan begitu kesulitan saat musim kemarau karena bukit dan lembah gundul akibat rumput yang mati kekeringan. Akibatnya bukan hanya kebutuhan air yang terancam namun juga kebutuhan pangan berupa rumput untuk sapi.

Air sangat diperlukan oleh setiap mahluk hidup termasuk sapi karena penting untuk mengatur suhu tubuh, membantu proses pencernaan, dan mengeluarkan sisa metabolisme dari dalam tubuh sapi. Sebuah sumber mencatat kalau seekor sapi setiap hari rata-rata membutuhkan air antara 3-6 liter/1kg pakan kering. Oleh sebab itu, infrastuktur air harus benar-benar dipersiapkan demi pertumbuhan sapi yang baik.

Pak Thomas Lembong merasa optimis akan mencapai swasembada daging sapi karena melihat kesungguhan pemerintah dalam membangun infrastuktur di semua wilayah Nusantara. Demikian juga untuk perbaikan periode masa bongkar muat di pelabuhan yang selama ini mencapai lebih dari tujuh hari akan terus diperbaiki hingga bisa mencapai di bawah tiga hari.  Tanpa perbaikan di bidang logistik maka tidak mungkin bisa bersaing ekspor dengan negara lain.

Pemerintah juga berencana akan membangun industri pemotongan daging sapi yang modern seperti di negara maju lainnya sehingga biaya lebih kecil karena seluruh prosesnya efisien. Dampaknya, harga jual bisa lebih murah dan mampu bersaing di pasar ekspor. Selain itu, lapangan kerja di bidang manufaktur pun akan terbuka luas.

Selama ini harga daging sapi begitu mahal di Indonesia karena adanya high cost economy karena infrastruktur yang belum memadai. Tidak seperti di Malaysia dan Singapura yang  menurut informasi Pak Jokowi hanya sekitar 55 ribu Rupiah saja. Sehingga untuk mendapatkan harga dan kualitas terbaik perlu dilakukan perbaikan infrastuktur di setiap lapisan. Pemerintah juga akan mengembangkan kerja sama dengan Australia yang terkenal unggul dalam pembibitan sapi. Pembibitan ini bertujuan untuk menyeleksi sapi berkualitas yang bisa menghasilkan sperma unggulan untuk dibagikan kepada industri dan peternak. Peternak juga perlu mendapatkan pendapingan agar semakin mampu mengakses pasar sehingga rantai distribusi bisa diperkecil dan keuntungan peternak meningkat namun harga yang ditanggung konsumen tidak terlalu berat.

Pentingnya Berpikiran Positif untuk Perubahan yang Lebih Baik

Pemahaman saya yang baru atas pentingnya kebijakan impor daging sapi beku ini pun mengantarkan saya pada kesimpulan kalau saya harus membiasakan diri berpikiran positif terhadap kebijakan pemerintah. Bukan berarti saya tidak kritis namun tidak salah bila saya berusaha memahami terlebih dahulu sebelum melemparkan kesalahan pada pemerintah.

Ilmu pengetahuan saya pun menjadi bertambah karena baru menyadari betapa beruntung saya memilih dan mengkonsumsi daging sapi beku yang sudah terjamin higienis, bernutrisi, halal, dan harganya terjangkau. Ternyata negara-negara maju sudah membiasakan hal ini sejak dulu. Lebih mengejutkan lagi kalau adik perempuan saya yang alumni pendidikan tata boga mengatakan justru hotel bintang lima tempatnya bekerja dulu (kini adik saya bekerja di bank) selalu menggunakan daging sapi beku. Mana sempat pihak hotel belanja daging segar di pasar setiap pagi, katanya sambil bergurau.

Melihat spesifikasi daging sapi beku yang luar biasa saya pun tidak ragu memilih daging sapi beku karena ternyata daging sapi beku itu memang murah namun tidak murahan. Namun satu hal yang paling saya tunggu, kelak daging sapi beku yang saya konsumsi adalah daging sapi produksi bangsa saya sendiri. Betapa lengkap kebahagiaan saya bila itu terwujud, amin.

Salam swasembada,

Rahayu Damanik

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun