Mohon tunggu...
Rahayu Damanik
Rahayu Damanik Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumah Tangga

Best in Specific Interest Kompasianival 2016

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Rapatkan Barisan Mengubah ‘Tradisi’ Lonjakan Harga Daging Sapi Menjelang Lebaran

28 Juni 2016   12:09 Diperbarui: 30 Juni 2016   16:41 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bapak Menteri Thomas Lembong dalam acara nangkring Kompasiana (foto: Rahayu)

Peristiwa pilu masa kecil itu masih jelas terekam di ingatan. Bapak saya yang sudah lama menunggu masa panen tiba ternyata tidak menuai hasil. Seharusnya bapak memanen hasil kol di ladang, menjualnya, kemudian bergembira karena menerima uang sebagai hasil jerih payah beliau.

Alih-alih bahagia, ternyata keringat, uang, dan pikiran yang sekian bulan telah dikucurkan tak membuahkan hasil. Kata bapak, lebih baik kol yang siap dipanen itu dibiarkan di ladang, membusuk, dan menjadi pupuk hijau karena harga yang ditawarkan oleh pedagang yang biasa membeli hasil panen bapak terlalu murah. Biaya yang dikeluarkan untuk memanen pun lebih besar daripada uang yang diterima. Artinya tekor dan lebih baik hasil kol tersebut tidak dijual.

Saya yang masih duduk di bangku SD tidak terlalu paham mengapa bisa demikian karena menurut saya, jarak pasar tradisional tempat biasa mama berbelanja dengan ladang bapak hanya sekitar satu jam saja. Kenapa bapak tidak menjual ke pasar saja hasil panennya? Kenapa harus menjual ke pemborong yang memberikan harga murah?

Bapak Menteri Thomas Lembong dalam acara nangkring Kompasiana (foto: Rahayu)
Bapak Menteri Thomas Lembong dalam acara nangkring Kompasiana (foto: Rahayu)
Nangkring Kompasiana-Kemendag Mengenai Harga Daging Sapi

Sebagai seorang anak yang melihat langsung dunia petani, saya sama sekali tidak setuju dengan kebijakan pemerintah untuk mengimpor daging sapi dengan tujuan agar harga daging sapi yang di pasaran jangan terlalu mahal. Pemerintah bahkan memberikan target ingin menurunkan harga 80.000 Rupiah per kilogram daging sapi. Menurut Bapak Thomas Lembong menteri perdagangan, salah satu cara yang ditempuh untuk menurunkan dan menstabilkan harga sapi adalah dengan cara mengimpor daging sapi beku dari Australia.

Menurut saya, bila pemerintah mengimpor daging sapi sama saja membuat peternak lokal gigit jari. Betapa menyedihkan kalau pemerintah sendiri menjadi pesaing bagi peternak lokal. Apa salahnya harga daging sapi mahal? Bukankah yang diuntungkan peternak lokal juga? Inilah salah satu alasan mengapa saya tidak pernah keberatan bila harga daging sapi meningkat cukup tajam setiap tahun.

Pertama kali pindah ke Poris Tangerang Banten tahun 2012 harga daging sapi kalau saya tidak salah seingat 80 ribu per kilogram kemudian naik perlahan-lahan dan setahun terakhir menjadi 120 ribu per kilogram. Menjelang Ramadhan tahun ini bahkan naik menjadi 130 ribu per kilogram. Saya selalu berbelanja di tempat yang sama yaitu pasar tradisional Poris Indah. Boleh dikatakan saya tidak keberatan dengan kenaikan harga daging sapi saat Ramadhan dan menjelang Lebaran karena merasa hal itu sudah ‘tradisi’ dan pastinya akan menguntungkan peternak lokal juga.

Berbeda dengan anggapan saya dan masyarakat yang biasanya pasrah dengan kenaikan harga sapi saat bulan puasa, bagi pemerintah khususnya Pak Jokowi menganggap hal tersebut tidak biasa, harus diubah, dan dijungkirbalikkan. Awalnya saya tidak mengerti, namun kini saya pun menjadi sadar karena teringat pengalaman masa kecil di mana bapak saya yang membiarkan hasil panen kol begitu saja di ladang.

Saya tidak mengerti jalan pemikiran bapak namun semakin dewasa, saya paham bapak berprinsip kalau petani itu tugasnya adalah menanam dan bukan berdagang. Bila mau menjual hasil panen, jual saja ke pedagang besar yang memborong semua hasil panen. Pemborong tersebutlah nantinya yang akan menjual hasil panen bahkan kabarnya sampai diekspor ke luar negeri. Bapak bahkan tidak tahu sama sekali berapa harga kol saat di tangan pembeli.

Saya berpikir hal yang seperti dialami petani juga sering kali dihadapi peternak lokal yang terkadang tidak memiliki pilihan sehingga terpaksa menjual sapi ke pedagang besar yang memiliki kemampuan mengakses pasar. Banyak sekali petani dan peternak lokal yang tidak pernah menjual langsung ke pasar hasil budidayanya karena pemikiran yang menganggap kalau peran mereka hanya sebatas produsen sehingga buta dan tidak berdaya menghadapi permainan pasar.

Akibatnya? Para pedagang besar terkadang memanfaatkan kurangnya pemahaman para peternak lokal dan petani untuk membeli harga hasil budidaya mereka dengan sistem borongan. Harga beli pedagang besar ini terhadap hasil ladang atau hewan ternak terkadang sangat murah namun nantinya di jual di pasar dengan harga yang tinggi. Artinya? Sering kali petani dan peternak lokal mendapatkan untung yang sangat tipis, tidak untung, bahkan rugi seperti bapak saya dulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun