Mohon tunggu...
Rahayu Damanik
Rahayu Damanik Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumah Tangga

Best in Specific Interest Kompasianival 2016

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Guru Ada yang LGBT] Jangan Larang LGBT Masuk Kampus!

22 Februari 2016   00:11 Diperbarui: 22 Februari 2016   09:29 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Larangan Masuk Kampus Tidak Efektif (www.breaking2news.com)"][/caption]Saya sudah pernah menulis tentang ini di Kompasiana beberapa hari yang lalu, namun artikel tersebut saya hapus karena menurut saya analisisnya kurang tajam. Saya mengganti dengan artikel ini tanpa lupa mencantumkan semua komentar yang masuk di artikel tersebut. Salah satu letak perbedaan artikel ini dengan artikel sebelumnya adalah adanya pembahasan mengenai penularan LGBT yang menjadi sebuah momok menakutkan.

LGBT tidak diperbolehkan masuk kampus salah satu alasannya adalah karena perguruan tinggi merupakan wadah untuk mencetak pemimpin masa depan sehingga harus terbebas dari fenomena penyimpangan seksual. Bagaimana kalau ternyata pengajarnya juga ada yang LGBT? Saya memiliki saudara yang berprofesi sebagai guru, katanya dia punya teman yang juga guru perempuan. Guru wanita tersebut sampai sekarang belum menikah karena mengaku tidak tertarik kepada pria, sukanya kepada sesama wanita. Inilah salah satu dasar mengapa saya berpendapat kalau kebijakan melarang kaum LGBT masuk ke dunia kampus kurang tepat karena meskipun kampus adalah wadah untuk mencetak generasi yang baik dan berkualitas bukan berarti harus disterilkan dari mahasiswa yang LGBT.

Anggaplah calon mahasiswa LGBT benar-benar dilarang masuk kampus, apakah bisa menjamin mahasiswa yang steril suatu saat tidak ‘terjangkiti’? 'Penderita' LGBT seharusnya tetap diterima di kampus yang notabene adalah salah satu tempat untuk 'meluruskan' orang-orang yang melenceng. Sekarang dilarang masuk kampus besok-besok dilarang masuk sekolah. Itu namanya membuat 'penderita' LGBT semakin terperosok. Bagaimana pikiran mereka semakin terbuka bila tidak mendapatkan ilmu pengetahuan dan pendidikan moral yang memadai dari kampus?

Saya pernah membaca pengalaman seorang anak laki-laki yang menjadi homoseksual karena perilaku abang kandung sendiri yang mengajarkannya demikian dan menjadikannya objek seks. Seram sekali bukan? Bagaimana kalau mereka adalah anak Bapak/Ibu? Bisakah menjamin 100% kalau kelak anak-anak sendiri tidak akan terkena yang namanya ‘virus’ LGBT? Bagaimana perasaan orang tua yang sudah berduka anaknya LGBT lalu ditambah lagi dengan larangan menuntut ilmu. Betapa hancur hati mereka. Pernah ada seorang rekan kerja yang mengaku ‘digerayangi’ ibu manager kami saat sedang naik motor berdua.

Semenjak itu berkembanglah isu kalau sang manager seorang penyuka sesama jenis. Kebetulan juga dulu (lama sekali) saya pernah melihat langsung dan mendapat kesaksian mengenai seorang ART saya dengan gejala lesbian yang tentu tidak diakui. Gejala tersebut seperti: memeluk dan bahkan berani menggerayangi ART wanita lain khususnya bila sedang naik motor bersama, tidak menggunakan BH (tidak ada satu pun kutang di lemarinya), memakai celana dalam pria, rambut dipotong sangat pendek menyerupai cowok, sebagai pengganti bra dia menggunakan sejenis korset untuk menekan kedua payudaranya (supaya tampak seperti pria), dan nama panggilannya bernuansa cowok misalkan “Niko” (padahal jelas-jelas namanya di KTP sama sekali tidak ada unsur “Niko”).

Mengapa saya tulis seperti di atas? Saya ingin kita paham kalau LGBT bukan hanya sebatas artis tetapi dekat sekali dengan kita, mungkin ART kita sendiri bahkan guru anak kita. Intinya, LGBT bisa saja suatu saat menimpa orang yang sangat kita cintai. Bila kita mewawancarai mereka maka mereka tidak mungkin bisa memberikan solusi atas wabah LGBT karena mereka sendiri terjebak dalam suatu ikatan yang sebenarnya ingin mereka lepaskan.

Ada tiga respon yang mungkin muncul di dalam diri mereka. Pertama banyak di antara kaum LGBT yang ingin berubah normal, ada juga yang ingin diterima apa adanya, bahkan ada yang berusaha menutupi kekurangan dengan cara menikah dengan lawan jenis padahal di dalam diri hanya mendamba sejenis. Mengenai ART saya yang dulu, sudah dicoba untuk memberi masukan supaya rajin sholat (mendekatkan diri kepada Tuhan), saya mengganti nama panggilannya dengan nama wanita yang seperti di KTP-nya, menganjurkan memakai pakaian dalam wanita, bahkan memberikan kesaksian bagaimana saya yang dulunya pernah terjebak dalam satu masalah yang mungkin ada kemiripan, kini bisa lepas karena mendekatkan diri kepada Tuhan.

Memang tidak mudah karena belum tentu apa yang kita pandang baik direspon dengan baik. Namun bagaimana kalau kampus melakukan hal yang sama terhadap semua mahasiswanya? Alih-alih melarang masuk kaum LGBT lebih bermanfaat bila kampus lebih gencar memberikan pendidikan karakter dan moral. Dukung penuh kegiatan kerohanian kampus, bila perlu wajibkan seluruh mahasiswa mengikuti kegiatan rohani sesuai agama masing-masing, dan berikan mata kuliah wajib mengenai pendidikan moral. Bukankah hal tersebut lebih berpotensi mematangkan karakter mahasiswa non LGBT dan semakin memungkinkan mahasiswa LGBT untuk berbalik ke jalan yang benar?

Bencilah LGBT-nya, jangan sampai melegalkan sesuatu hal yang jelas-jelas menyimpang. Namun sedapat mungkin bantulah ‘penderita’ LGBT keluar dari kehidupan yang sudah lama ingin ditinggalkannya. LGBT salah karena tidak sesuai dengan ajaran agama, dimana kita percaya pada awalnya Tuhan menciptakan Adam & Hawa, bukan Ani & Siti, atau Tomi & Joni. Lihatlah proses pembentukan seorang anak, terjadi karena pertemuan sebuah sperma (pria) dan sel telur (wanita) yang semakin menegaskan kalau memang demikianlah yang dikehendaki yaitu pasangan yang terdiri dari pria dan wanita.

Apa yang dimaksud dengan LGBT? Sudut pandang saya LGBT adalah semua yang saat ini mengalami disorientasi seksual tanpa melihat penyebabnya. Baik seorang yang menjadi pelaku sekaligus korban, atau korban saja yang saat ini menjadi LGBT, termasuk yang mencari tempat pelampiasan LGBT. Semuanya adalah LGBT asalkan saat ini sedang mengalami penyimpangan orientasi seksual.

Penyebab terjadinya LGBT pada umumnya ada beberapa:

1. Sakit hati, kecewa, atau patah hati pada lawan jenis yang dulunya menjadi kekasihnya. Misalkan seorang wanita yang diselingkuhi berkali-kali oleh laki-laki sehingga tidak percaya lagi pada yang namanya laki-laki sehingga akhirnya merasa jatuh cinta pada wanita.

2. Terluka kepada orang tua misalkan, ada seorang anak perempuan yang sangat membenci bapaknya karena sang bapak selalu memukuli istrinya yang notabene adalah ibu dari si anak perempuan. Akhirnya si anak perempuan membenci semua mahluk yang bernama laki-laki dan kemudian mencintai sesama jenis.

3. Orang tua yang mendambakan anak laki-laki namun ternyata yang lahir anak perempuan apalagi orang tua menunjukkan kekecewaannya, maka si anak perempuan secara tidak sadar menyalahkan jenis kelamin dan dirinya yang tidak mampu membahagiakan orang tuanya. Lama-lama si anak perempuan berusaha mengubah pemikirannnya dan tingkah lakunya kalau dia adalah seorang anak laki-laki seperti yang diidam-idamkan ibu/bapaknya. Inilah cikal bakal terjadinya lesbian, dimana seorang wanita berubah. Kini dia merasakan seolah-olah dirinya adalah seorang pria sehingga wajar dia mencintai wanita.

4. Korban secara langsung pelaku LGBT seperti kasus anak kecil yang dijadikan objek seks abangnya

5. Tertular LGBT karena bergaul terlalu akrab dengan kaum LGBT

6. Mungkin ada Bapak/Ibu pembaca yang ingin menambahkan pendapat?

Kaum LGBT tidak boleh masuk kampus karena berpotensi menularkan kebiasaannya pada mahasiswa lain. Saya tidak sependapat bila mereka dilarang menuntut ilmu. Perilaku apa di muka bumi yang tidak bisa menular? Perokok bisa menularkan kebiasaan merokoknya kepada temannya, pelaku seks bebas, korupsi, pemarah, pemalas, penipu semuanya bisa menular. Hati-hati berteman dengan pasangan yang suka selingkuh, suatu saat Anda pun akan selingkuh, ini adalah sebuah fakta! Demikian juga karakter baik seperti rajin, jujur, atau setia bisa menular. Intinya jangan beranggapan kalau hanya LGBT yang bisa menular.

Coba kita selidiki ke dalam hati kita, adakah suatu kekurangan yang berpotensi untuk ditularkan kepada orang lain? Selama kita hidup di muka bumi pasti ada suatu kekurangan di dalam diri kita. Itulah sebabnya, marilah kita menjadi manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, salah satunya dengan cara jangan menghakimi kaum LGBT. Seperti sebuah kalimat bijaksana, “Selumbar (rimah kayu) di mata saudaramu bisa kau lihat tetapi balok di matamu sendiri tidak bisa kau lihat” Artinya jangan terlalu fokus menghakimi ‘kesalahan kecil’ orang lain sehingga ‘kesalahan besar’ diri sendiri tidak disadari.

LGBT itu kesalahan fatal, tidak bisa dimaafkan karena berbahaya bagi generasi anak cucu. Benarkah hanya LGBT yang membahayakan? Mana lebih berbahaya daripada koruptor? Sekalian saja perokok dilarang masuk kampus, coba lihat sudah berapa banyak anak yang meninggal karena diagnosis infeksi paru-paru akibat asap rokok. Atau jangan perbolehkan satu pun mahasiswa penikmat pornografi masuk kampus karena mahasiswa lain bisa terjangkiti. Boleh juga mengeluarkan semua mahasiswa yang pemalas dan gemar melakukan plagiat di kampus karena berpotensi menularkan kebiasaan buruknya dan kelak membahayakan orang banyak bila berhasil menjadi pejabat.

LGBT mungkin lebih baik karena ada perang batin di dalam hatinya yang juga ingin memiliki keturunan dan punya keluarga yang normal. Sayangnya usaha untuk mencapai yang demikian selalu gagal dan membuat mereka menyerah. Bagaimana dengan Bapak/Ibu/Remaja yang diam-diam menikmati pornografi dan tampaknya tanpa merasa bersalah? Bagaimana pula dengan koruptor yang santai saja menghisap darah rakyat? Jadi, masihkan mengatakan LGBT adalah ‘penyakit’ yang paling fatal sehingga harus dilarang mengenyam pendidikan?

Jangan larang kaum LGBT masuk kampus karena pendidikan adalah hak semua anak bangsa termasuk kaum LGBT. Namun, jangan bergaul dekat dengan kaum LGBT, sama seperti Anda jangan berteman akrab dengan penjudi, pemabuk, perokok, pelaku seks bebas, peselingkuh karena sama-sama berpotensi menular. Banyak ‘penyakit menular’ di perguruan tinggi termasuk keberadaan ‘ayam kampus’ tetapi mengapa masih banyak mahasiswa yang tidak tertular? Karena mereka memiliki prinsip yang kuat di dalam dirinya dan tidak berteman akrab dengan ‘penderita’. Artinya, jangan takut ketularan karena menular tidaknya ‘penyakit-penyakit’ tersebut kembali ke diri Anda masing-masing. Janganlah mengurangi hak seseorang hanya karena tampaknya kesalahan mereka lebih besar daripada kita. Sama seperti hak kita yang tidak ingin dirampas orang lain, demikian juga kaum LGBT tidak ingin hak-nya dicuri.

 

Salam,

Rahayu Damanik

 

Komentar yang masuk ke artikel sebelumnya:

1. Yon Bayu

Wah, Ito ternyata berani juga. bakalan banjir serangan nih hehehe....

2. Zulkifli Harahap

LGBT ada di mana-mana. LGBT ii, khususnya pelegalan perkawinan sejenis, menjadi riuh tidak lebih hanya karena Amerika Serikat negara kapir itu melegalkannya baru-baru ini. Sebelumnya, banyak negara yang telah melegalkannya, tetapi bangsa yang bukan kapir ini diam seribu bahasa. Demikian juga ketika seorang pangeran Timteng tertangkap akibat tindakan LGBT di Inggris, manusia penghuni belas Hindia Belanda ini diam juga. Dua tahun lalu, sekolah (SD) anak saya heboh, apa pasal? Heboh karena guru olah raganya ketahuan menggerayangi salah seorang muridnya. Ini satu bukti takterbantahkan bahwa otot kencang dan kegiatan kelelakian itu bukan jaminan (apalagi) obat anti-LGBT, seperti yang banyak dituliskan beberapa K'ner yang mendadak jadi pengamat LGBT.

Saya juga mengenal seorang atlet marathon yang telah berhasil merebut sejumlah piala bergilir (artinya berhasil sebagai juara pertama beberapa kali dikalikan dengan tiga), tetapi gerak tubuh tetap saja kelihatan agak kemayu. Ketika saya masih SMP saya diajaknya tidur di rumahnya. Karena dia baru saja pulang setelah merantau lima tiga tahun dan ke-LGBT-annya masih sangkaan, saya pun setuju. Eee . . . begitu tiba saatnya "manuk" berkokok, saya merasakan manuknya itu telah terselip menyentuh selangkangan saya, walaupun masih disekat oleh celana dan sarung saya serta sarungnya. Karena sangat mengidolakannya, saya berpikir keras bagaimana caranya agar selangkanan saya terbebas. Saya berpura-pura menggeliat sambil berguling menjauhi dia. Setelah itu saya tobat dekat-dekat dengannya.

Mungkin karena tidak ada pelampiasan, dia terpaksa mengorbankan marwahnya kepada saudaranya. Berbeda dengan teman-teman LGBT saya yang kerjanya berburu "manuk," walaupun telah bergaul dan sering tidur berhamparan dengan mereka di ruang sempit, tidak satu pun yang pernah bertangan gratil terhadap saya. Ibarat macan, pada dasarnya hewan ini tidak mau memangsa manusia, kecuali jika terdesak karena kelaparan; ini sudah menjadi persoalan hidup-mati. Yang melarang-larang itu merupakan manusia-manusia yang dalam keluarganya tidak ada seorang banci yang sunnatulah merupakan bawaan lahir dan bukan merupakan pilihannya seperti yang dikoarkan oleh pengamat LGBT.

3. Mbah Ukik

Jika ada LGBT di kota tempat tinggalku akan kuusahakan untuk di non aktifkan sebagai guru yang notabene adalah pendidik. Dan selama 7 tahun terakhir sudah mendepak 5 - 7 guru. Mau LGBT silakan asal jangan jadi guru jadi saja tandak!!!!

4. TJIPTADINATA EFFENDI

Wah,, ikut bingung nih mbak

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun