Mohon tunggu...
Rahayu Damanik
Rahayu Damanik Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumah Tangga

Best in Specific Interest Kompasianival 2016

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Fenomena Panggilan “Papa-Mama” di Kalangan Remaja

16 Februari 2016   11:16 Diperbarui: 17 Februari 2016   11:03 3045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi-Remaja Memanggil Papa/Mama Kepada Seorang yang Masih Berstatus Pacar (brightestyoungthings.com)"][/caption]Apa yang terlintas di pikiran Bapak/Ibu kalau anak remaja yang masih mengenal cinta monyet ternyata memiliki panggilan sayang “papa-mama” kepada pacarnya? Mungkin ada yang merasa risi, norak, geli, dan terlalu berlebihan. Menurut pendapat seorang teman yang berprofesi sebagai dosen di Akademi Keperawatan bernama Sanny Frisca, panggilan sayang ke pacar kini mengalami evolusi; tahun 90-an panggilan kepada kekasih masih sebatas “sayang”, kemudian tahun 2000-an berubah menjadi “ayank”, dan terakhir sejak tahun 2010 berubah menjadi “papa-mama”, “umi-abi”, “ayah-bunda”, atau “papi-mami”. Saya pun berkomentar kepada teman tersebut. Jadi, kalau remaja masa kini tiba-tiba putus dengan pacarnya, berarti statusnya berubah menjadi janda atau duda donk. Coba bayangkan ketika remaja yang sudah putus tadi bertemu dan saling menyapa, “Halo mantan istri/suamiku” he..he..

Bila direnungkan apa sebenarnya yang mendasari para remaja suka menggunakan panggilan yang hanya pantas diberikan kepada pasangan yang sudah menikah tadi? Sebenarnya mereka melakukan hal tersebut bukan hanya karena ingin lucu-lucuan atau ingin memiliki panggilan sayang yang tidak pasaran namun ada hal lain yang membuat remaja tidak merasa sungkan menggunakan panggilan “papa-mama”.

Motivasi remaja sebenarnya adalah untuk lebih mengakrabkan hubungan dengan seorang yang spesial di hatinya. Lebih dalam, remaja berharap panggilan tersebut bisa menambah kemesraan antara dirinya dengan sang kekasih. Mereka menganggap hal tersebut bukanlah hal yang aneh karena hanya sekedar panggilan sayang dan apa salahnya memberi panggilan istimewa untuk seseorang yang memang spesial. Kira-kira demikianlah pandangan remaja tersebut. Namun satu hal yang perlu diwaspadai orang tua yang memiliki anak remaja bahwa panggilan tersebut juga biasanya didasari oleh imajinasi kalau remaja tersebut sudah menikah dengan pacarnya dan bahkan bisa juga membayangkan memiliki bayi layaknya pasangan menikah. Panggilan sayang “papa-mama”, imajinasi menikah, dan memiliki bayi adalah sebuah khayalan remaja yang sedang dimabuk cinta. Seolah-olah pasangan adalah segalanya dan cinta mereka abadi serta tidak terpisahkan.

Bayangkan bila imajinasi ini benar-benar menyusup dan mengendap dalam hati dan pikiran remaja, maka keinginan untuk melanjutkan ke arah hubungan intim menjadi tidak terelakkan. Remaja berpikir kalau mereka sudah saling berjanji akan setia selamanya, sehidup semati bagaikan suami-istri maka tidak salah melakukan hal yang sewajarnya dilakukan pasangan menikah. Bayangan mengenai keindahan sesudah menikah membawa remaja pada suasana romantisme meskipun sebenarnya pulsa untuk menelepon pacar saja masih meminta dari orang tua.

Panggilan “papa-mama” di kalangan remaja dinilai mereka sebagai sebuah tanda kedewasaan hubungan dan komitmen yang teguh, namun sebaliknya orang dewasa menilai panggilan tersebut adalah sebuah bukti nyata dan petunjuk kalau ternyata hubungan yang terjalin masih kekanak-kanakan. Mengarahkan remaja supaya bisa menyadari kekonyolan yang mereka lakukan bukanlah hal yang mudah, mengingat saat ini remaja sedang dalam tahap dimabuk asmara sehingga kurang memedulikan celotehan orang lain.

Remaja berada dalam tahap ingin mengetahui dan mencoba segala sesuatu dalam dunia yang penuh warna-warni. Tahap ini tidak mudah bagi remaja bahkan sering membuat mereka serba salah. Remaja perlu digandeng dan tidak boleh dibiarkan/dilepas berkeliaran mempelajari dunia seorang diri.

Walaupun remaja sedang menghadapi masalah yang berat, mereka sangat sulit terbuka kepada seorang yang tidak dipercayai sekalipun itu orang tua sendiri. Sehingga orang tua dituntut juga harus mampu berevolusi dari yang zaman dahulu serba tertutup menjadi orang tua yang dekat dengan anak layaknya sahabat. Yakinkan remaja kalau orang tua adalah seorang yang pasti selalu ada bila mereka butuh. Saya menjadi teringat akan perkataan Bapak saya saat mengetahui saya sedang ‘dekat’ dengan seorang cowok, Bapak mengatakan kepada saya, “Kamu tahu kalau Bapak adalah orang yang paling menyayangi dan memerhatikan kalian anak-anak Bapak. Orang lain mungkin bisa bilang sayang tetapi harus hati-hati dan tetap waspada”. Remaja yang masih buta memang perlu diberikan pengarahan dan pandangan sehingga membuat mata mereka terbuka dan tidak mudah terjerumus pada orang-orang yang ingin mengambil keuntungan darinya.

Bila memungkinkan berikan pandangan kepada remaja kalau status jomblo itu tidak buruk malah sangat bermanfaat karena mereka bisa fokus mengukir prestasi dan mengembangkan diri agar kelak menjadi pribadi yang berkualitas. Lebih indah lagi bila orang tua sudah bisa membaca apa bakat dan minat anak sehingga anak bisa diarahkan mengisi waktu luang dengan mengasah bakat dan minatnya. Kecintaan pada passion-nya akan membuat remaja seolah tidak memiliki waktu menjalin hubungan yang sebenarnya belum waktunya.

Mungkinkah remaja tidak tertarik berpacaran? Mungkin saja khususnya bila sang anak sudah menemukan kehangatan dalam keluarga karena memiliki orang tua dan saudara-saudara yang penuh cinta. Mereka yang sudah menerima kucuran kasih sayang yang melimpah tidak akan mudah haus pada hubungan dengan orang luar. Mengapa dia harus mencari cinta yang lain sementara orang tua sudah memuaskan dahaganya akan kasih sayang? Mengapa sang remaja harus mencari keakraban dengan lawan jenis bila orang tua sudah mampu menjadi teman curhat yang paling asyik, nyambung, dan selalu ada saat mereka butuh?

Namun bila tidak memungkinkan melarang remaja berpacaran, sebagai orang tua tetaplah tenang. Jangan terlalu mengekang atau terlalu membebaskan tanpa batasan. Pengalaman saya yang sudah pernah menghadapi belasan asisten rumah tangga berusia remaja, bila mereka terlalu dikekang akan suka bermain belakang atau berbohong. Sebaliknya, bila terlalu dibebaskan tanpa pengontrolan maka mereka akan ngelunjak. Intinya, berikan remaja ‘sayap’ namun tetap tentukan batasan jelas yang tidak boleh dikompromikan dan dilanggar. Remaja perlu diberi kontrol karena cenderung belum mampu mengendalikan dirinya sendiri.

Bapak saya suka menceritakan pengalaman pahit selama masa hidupnya dan saya pikir hal demikian sangat bermanfaat bagi seorang remaja yang sedang membutuhkan banyak pelajaran tentang bagaimana cara mengarungi hidup. Berikan pengalaman berharga Bapak/Ibu yang kelak pasti sangat berguna dalam menuntunnya mencari jati diri serta membedakan mana yang benar dan salah. Terakhir, bentengilah anak dengan nilai-nilai luhur dan ajaran agama sehingga remaja bisa menjadi seorang yang berkarakter dan peka membedakan mana yang ‘hitam’, ‘putih’, dan ‘abu-abu’. Kelak mereka tidak mudah tersesat dan cerdas menyikapi arus dunia yang semakin deras menghantam. Save teenager..

 

Salam, 

Rahayu Damanik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun