[caption caption="Anies Baswedan di Acara Kompasianival 2015"][/caption]Kompasianival 2015 memberikan saya kesempatan bertemu dan mendengarkan ceramah yang luar biasa dari seorang Anies Baswedan. Banyak hal menarik yang beliau sampaikan terkait dengan pendidikan di Indonesia. Namun, hanya satu topik yang akan saya bahas khusus di artikel ini yaitu mengenai bakat anak. Beliau menyarankan agar para guru dan orang tua memperlakukan anak sebagai benih bukan sebagai kertas putih. Benih belum terlihat mana akar, batang, daun, atau rantingnya. Peran orang tua dan gurulah yang menumbuhkan benih itu agar bisa berkembang dengan baik dan sempurna.
Proses menemukan passion saya sebagai seorang penulis sangat lama dan tidak mudah. Bukan hanya saya yang kesulitan menemukan potensi pribadi namun banyak orang mengalami hal yang sama. Sebagian penyebabnya adalah karena kurangnya pemahaman orang tua dan guru dalam membantu anak menemukan minat dan bakat mereka. Bahkan orang tua, guru, dan lingkungan secara sadar atau tidak sudah menanamkan di pikiran anak tentang gambaran kesuksesan dari sudut pandang masyarakat pada umumnya.
Sudah mengakar di masyarakat kalau profesi yang bergengsi adalah dokter, TNI, pilot, PNS, atau presiden. Jurusan yang terbaik adalah IPA sementara jurusan Bahasa dan IPS “hanya buangan” bagi mereka yang tidak mampu bersaing meraih kelas IPA. Masyarakat percaya kalau anak-anak yang cerdas adalah bila mereka berhasil masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Perguruan Tinggi Swasta (PTS) hanya untuk mereka yang kurang pintar. Anak mana yang tidak ingin membuat orang tua, guru, dan lingkungan bangga?
Demikianlah yang terjadi pada saya. Saya sebenarnya suka jurusan bahasa namun harus berjuang di kelas IPA. Saya bertekad harus masuk PTN bila ingin dianggap sukes. Setelah itu, harus bekerja di tempat yang bagus di mata masyarakat. Tidak ada ruang untuk memikirkan profesi impian. Saya merasa bukan seperti benih namun seperti kertas yang sudah “penuh coretan” mengenai harapan orang lain.
Saat ujian seleksi masuk PTN, saya membuat pilihan pertama di Fakultas Kedokteran Unpad dan pilihan kedua Fakultas Ilmu Keperawatan UI. Akhirnya diterima di pilihan kedua. Tidak terbayang bagaimana kuliah di Keperawatan tetapi itu urusan nanti yang penting saya selamat sudah masuk UI. Saya tidak menikmati kuliah di Keperawatan karena merasa tidak sesuai dengan minat. Ingin keluar dan kuliah di tempat yang saya sukai juga tidak mungkin karena saya tidak tahu persis apa yang saya sukai. Akhirnya saya tetap menjalankan kuliah dengan sebaik-baiknya walau setiap hari saya berjuang memompa semangat agar tetap bertahan menyelesaikan dengan baik kuliah tersebut. Saya selesai kuliah di Keperawatan dengan nilai yang cukup memuaskan namun memutuskan untuk tidak bekerja di rumah sakit karena yakin dunia Keperawatan bukan passion saya.
Saya banting stir dan bekerja di salah satu bank BUMN terbesar sebagai sales di bagian KPR (Kredit Pemilikan Rumah) dan KTA (Kredit Tanpa Agunan). Prestasi saya sangat memuaskan di bank tersebut dan beberapa kali mendapat penghargaan pemenang atau nominasi The Best of The Month. Prestasi yang bagus membuat saya memiliki penghasilan yang sangat baik. Tetapi saya belum yakin kalau bekerja di bank adalah panggilan saya.
Saya pun melanjutkan kuliah di Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Manajemen Keuangan UI dan berharap dengan kuliah di bidang keuangan saya bisa menemukan apa sebenarnya bakat saya. Tetapi ternyata saya pun tidak menemukan minat di bidang keuangan. Selesai pendidikan, saya pernah mencoba menjadi accounting, pengusaha warung makan, membuka bisnis bimbingan belajar dan les privat, menjual mainan edukasi untuk anak, jualan batik online, sampai usaha es krim tetapi semua kandas di tengah jalan karena saya tidak bersemangat menjalankannya. Betapa sulitnya menemukan jati diri karena tidak ada bakat yang menonjol dalam diri saya, semua biasa saja.
Bagaimana saya menemukan passion dan panggilan hidup sebagai seorang penulis? Bakat berawal dari minat atau sesuatu yang disukai. Sebuah hasrat bagaikan api yang menggelora di dalam diri kita. Hasrat tersebut menimbulkan sebuah kekuatan yang mendorong semangat untuk berkreativitas dan berinovasi. Seolah tenaga untuk mengerjakannya selalu ada. Pekerjaan yang kita cintai membuat kita nyaman sehingga lancar mengerjakan segala sesuatunya. Saya melihat ke dalam diri saya, tidak ada suatu pekerjaan pun yang saya cintai lebih besar daripada menulis. Kecintaan di suatu bidang membuat seseorang tekun mempertajam kemampuannya dan tidak bosan mengasah potensi. Semakin sering melakukan minat akan membuatnya semakin mahir dan berbakat; Practice makes perfect. Kira-kira demikian ringkasan bagaimana cara seseorang menemukan passion.
Alasan mengapa ada orang yang sangat mudah mengetahui “harta terpendam” di dalam dirinya sementara yang lain begitu sulit, sebagian karena banyak anak sudah dicekoki dengan keinginan/harapan orang tua dan lingkungan. Anak tidak diarahkan menemukan bakatnya namun tenggelam dalam perjuangan menggapai impian orang tua demi dianggap sukses. Padahal di dalam dirinya ada suatu keunggulan alamiah yang tidak pernah digali. Akhirnya, meskipun si anak sukses mencapai keinginan orang tua (misalkan menjadi seorang dokter) namun di dalam hati kecilnya tidak ditemukan sukacita karena menjalani kehidupan yang menjadi milik orang lain. Tidak mencintai pekerjaan menyebabkan seseorang tidak bisa bersenyawa dengan detail pekerjaannya. Hasilnya, bekerja menjadi malas-malasan dan jauh dari inovasi. Inilah sebabnya mengapa sampai ada ungkapan I hate Monday dan Thanks God is Friday. Seindah-indahnya hidup adalah yang sesuai dengan jati diri.
Bila terlanjur salah jurusan tetap bukan alasan untuk kuliah asal-asalan. Bukan mustahil salah jurusan membawa kita kepada keberhasilan hidup. Saya sekarang membuka usaha penitipan anak. Tidak mungkin saya bisa mengelola penitipan anak (day care) itu dengan baik bila saya dulu malas-malasan kuliah di Keperawatan. Betapa pentingnya Ilmu Keperawatan dalam mengasuh anak-anak di day care. Membuka usaha dan mengelola karyawan saya membutuhkan perhitungan yang jeli. Betapa terbantu dengan ilmu yang didapatkan dari kuliah Manajemen Keuangan dulu. Buku-buku yang sudah saya tulis mungkin tidak akan ada bila saya tidak salah jurusan.
Memang berat rasanya kuliah salah jurusan tetapi saya harus berhasil menyelesaikan dengan baik apa yang sudah saya mulai sebagai bentuk tanggung jawab saya kepada orang tua. Saya sekarang sering menulis artikel di Kompasiana hal itu semua adalah hasil persenyawaan dari ilmu Keperawatan Jiwa, Keperawatan Anak, Keperawatan Keluarga, Keperawatan Komunitas, dan perenungan dari pengalaman hidup. Betapa bermanfaat ilmu dari pasca sarjana dulu karena sewaktu kuliah kami sering menganalisis jurnal yang melatih saya untuk berpikir kritis dan sistematis.
Orang tua sebaiknya tidak memaksa anak masuk jurusan IPA bila memang anak ahli di bidang bahasa dan tulis menulis. Jangan menjerumuskan dengan mengatakan rahasia kesuksesan adalah dengan masuk PTN. Tidak perlu ragu mendaftar di PTS dengan jurusan yang dicintai daripada memaksakan masuk PTN di jurusan yang tidak disukai. Minat dan masa depan anak-anak jauh lebih berharga daripada ijazah berlabel negeri. Adakah Bapak/Ibu yang ingin berbagi? Thanks for share.
Salam,
Rahayu Setiawati Damanik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H