Mohon tunggu...
Rahayu Damanik
Rahayu Damanik Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumah Tangga

Best in Specific Interest Kompasianival 2016

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mendampingi Suami Pengangguran

8 Desember 2015   12:25 Diperbarui: 4 April 2017   18:23 5916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi-Suami Pengangguran (Shutterstock)"][/caption]Mungkinkah istri bisa setia mencintai suami yang sedang menyandang predikat pengangguran? Sering kali reaksi pertama suami-istri yang sedang menghadapi masalah adalah keinginan untuk mengakhiri perkawinan. Angka perceraian meningkat tak terkendali. Sebagai seorang yang menyadari pernikahan adalah sebuah karunia suci yang harus dijaga dengan sepenuh hati maka jika ada persoalan hendaknya jangan lari namun berusaha bersama-sama melihat masalah dan menyelesaikannya satu demi satu. Tidak mampu menafkahi keluarga tentu menjadi suatu pukulan berat khususnya bagi seorang pria yang sudah berumah tangga karena tidak ada yang ingin menganggur kecuali karena keterpaksaan.

         Seandainya ditanya, bisakah kita bertahan jika biaya makan sehari-hari hanya mengandalkan pada penghasilan istri yang mungkin tidak seberapa? Bila kita mengasihi suami dengan tanpa syarat tentu tidak mustahil tetap mencintainya walau dalam situasi berat seperti ini. Alih-alih mengeluh dan memikirkan perceraian sebaiknya kita para istri menyadari kalau suami pun tidak ingin menjadi seorang pengangguran. Tidak mampu menafkahi keluarga tentu menjadi suatu pukulan berat khususnya bagi seorang pria yang sudah berumah tangga. Harga diri laki-laki terletak pada kemampuannya mencari nafkah. Jadi, suami sudah cukup mendapat malu karena status penganggurannya otomatis menjadi sorotan masyarakat. Jika suami sudah merasa terhina oleh makian istri maka dia akan menilai dirinya seorang yang gagal dan tidak berguna. Apa pun yang dia kerjakan tidak mungkin berhasil bila dia tidak semangat dan pesimis terhadap dirinya sendiri. Suami butuh seseorang untuk membuatnya bangkit kembali.

Saat menikah, istri sudah berkomitmen untuk menemani suami melewati masa susah dan senang. Risiko menjadi seorang pengangguran harus dihadapi bersama karena setelah mengikat perjanjian sehidup semati maka semua permasalahan yang timbul menjadi tanggung jawab bersama. Tidak adalagi yang namanya masalah “mu” atau masalah “ku”. Hanya ada masalah “kita” bersama. Bertanggung jawablah dengan suami pilihan kita dulu. Perbaiki situasi yang sudah terlanjur. Jangan mudah menyerah dengan rumah tangga kita hanya karena masalah ekonomi sedang melanda. Seandainya kita berada di posisi suami, tentu kita juga ingin didukung.

Jika suami tidak bisa bekerja saat ini bersyukurlah karena istri masih bisa bekerja. Ikhlaskan ketika situasi memaksa istri yang menjadi tulang punggung keluarga. Suami pengangguran saat ini bukan berarti akan selamanya demikian. Bayangkan suami yang pengangguran dan istri juga tidak memiliki pekerjaan tentu kondisi mereka lebih memprihatinkan.

Coba mengajak suami berbincang dari hati ke hati dan jangan sampai kita menunjukkan sikap menggurui apalagi mengatur karena bagaimana pun statusnya saat ini, suami tetaplah kepala keluarga dan harus dihormati. Sebelum memberi masukan untuk suami sebaiknya istri memuji dengan tulus kebaikan dan kelebihan yang dimiliki suami. Sadarkan suami kalau dia memiliki kemampuan dan kelebihan yang membuatnya mampu meraih kesuksesan. Sikap seperti ini membuat suami lebih merasa percaya diri dan lebih bersemangat mencari pekerjaan. Saat berbicara padanya jangan sampai istri terlihat menyepelekan sekalipun kita menilai apa yang dia ucapkan seperti kurang masuk akal. Suami pengangguran tentu lebih mudah tersinggung mengingat istri memiliki penghasilan sementara suami tidak. Coba tanyakan pada suami, pekerjaan atau usaha apa yang dia inginkan. Pikirkan sebuah profesi yang sesuai dengan kesenangan/minat suami. Dengarkan keluh kesah dan rencananya mengenai masa depan. Siapa tahu dengan berdiskusi, suami bisa menemukan tujuan hidupnya. Hibur suami agar selalu bersemangat dan istri jangan sampai memborbardir suami dengan kemarahan, cercaan, omelan, atau sindiran-sindiran yang berkepanjangan. Bersama-sama mencari peluang untuk suami bukan hanya terus menekannya untuk mencari pekerjaan sendiri.

Andalah sumber inspirasi dan penyemangat hidupnya, ini saatnya membuktikan kesetiaan janji pernikahan dulu. Bukankah ada yang mengatakan kesetiaan istri diuji saat suaminya sedang tidak memiliki apa-apa dan kesetiaan pria diuji ketika sang kepala keluarga sudah memiliki segalanya? Istri mungkin sudah ngotot mau bercerai karena suami tidak bisa menafkahi lagi. Tidak terelakkan kalau suami adalah pencari nafkah keluarga dan adalah hak istri jika tetap ingin bercerai ketika suaminya tidak punya penghasilan. Namun jangan lupa untuk berdoa siang-malam dengan sekuat tenaga agar suami baru nanti jangan sampai dipecat dari pekerjaan atau sampai sakit berat yang membuatnya terpaksa menganggur.

Semoga situasi kepala keluarga yang sedang tidak bekerja bisa dimaknai sebagai kesempatan mulia untuk menolong suami menjadi seorang yang lebih baik dengan menunjukkan cinta dan dukungan yang lebih besar. Saat berhasil, suami akan sulit melupakan kesetiaan istri yang telah mendampinginya di kala susah. Adakah Bapak Ibu yang ingin berbagi? Thanks for share.

 

Salam, 

Rahayu Setiawati

 

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun