R.A Kartini pernah berkata “Dan biarpun Saya tidak beruntung sampai jalan itu, meskipun patah ditengah jalan, saya akan mati dengan merasa berbahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya ada turut membantu mengadakan jalan yang menuju ketempat perempuan Bumiputera merdeka dan berdiri sendiri”
Perempuan dilahirkan dengan berbagai stigma dari masyarakat dan kewajiban atau ‘katanya kewajiban’ menilai perempuan harus begini harus begitu, tidak boleh begini dan tidak boleh begitu.
Stigma perempuan yang sempurna adalah perempuan yang handal dalam ranah domestik, sedang perempuan karir dicap sebagai wanita terkutuk.
Seiring perkembangan waktu dan modernitas perempuan telah disebar disektor publik dan masyarakat mulai menerima dan terbuka dengan adanya perubahan dewasa ini, perempuan juga tidak ragu untuk menjadi seorang pemimpin.
Tapi tak sedikit juga yang masih belum memahami kedudukan perempuan baik hak dan kewajibannya. perempuan karir dianggap menelantarkan anak dan suami, sedang perempuan yang diam diruamah saja dikira hanya menghabiskan uang suami.
Lebih rumit lagi dewasa ini perempuan selalu dilempar pertanyaan dan dipaksa untuk memilih. Najwa Shihab juga mengatakan bahwa perempuan itu multi-peran dan tidak usah dipaksa untuk memilih, karena semuanya bisa dilakukan. Ini bukan masalah perempuan atau krisis pemikiran tapi ini bagaimana individu itu yang menjalani.
Bisa jadi dia adalah perempuan dengan mental yang kuat dan memilih untuk menjadi perempuan multiperan atau bisa jadi memilih untuk menjadi perempuan yang bekerja dirumah karena alasan-alasan tertentu yang tidak kita ketahui semudah kita membuat argumen yang sangsi.
Perempuan bukanlah alat yang mereka anggap sekedar mesin reproduksi manusia dan pemuas saja. Apalagi dengan itu terbanyang mesin menggiling beras ketika kamu membaca ini. Yang lebih parahnya lagi menurut empu-empu Yunani, kejahatan, penyakit, kekacawan dan penderitaan menghantui dunia karana ulah Pandora, wanita bodoh yang tak patuh pada suaminya Epimetheus (Amina Wadud: 1992)
Beda halnya dengan Indonesia, kebangkitan gerakan perempuan ada sejak masa kolonial yang ditandai kongres pertama gerakan perempuan pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta.
Perempuan yang berfikir untuk bangsanya, meraka berkumpul dari berbagai latar belakang berasal dari suku yang berbeda, agama yang berbeda pula, dan tidak membawa kepentingan pribadi. Mereka bersepakat untuk mengadakan kongres perempuan pertama.
Namun itu bukan menjadi tanda awal adanya gerakan perempuan. Sebelum kongres perempuan pertama digelar, organisasi-organisasi perempuan yang bersifat kedaerahan dan keagamaan telah muncul diberbagai tempat. Tercatat organisasi perempuan yang pertama di Indonesia adalah Puteri Mardika yang didirikan pada 1912. Lebih jauh lagi sebelum itu ternyata gerakan perempuan sudah ada sejak tahun 1908 dalam organisasi Budi Oetomo yakni Sayap Perempuan. Tidak lama setelah munculnya organisasi Puteri Mardika, organisasi-organisasi perempuan baru bermunculan