Suara sirine ambulan ini begitu menyayat hatiku. Rembesan air dari pelupuk mataku semakin menggenang dan membentuk buliran-buliran yang terjatuh satu per satu. Kabur dan buram pandanganku melihat sebujur tubuh di atas dragbar ambulan yang diam membeku. Aku hanya bisa memegang erat tangan keriput yang begitu lemah tanpa daya. Hati dan lidahku tak henti berdo'a kepada sang pemilik hidup, agar aku masih diberi kesempatan untuk mendengar pitutur dan melihat senyum di wajah rentanya.
Mak Nar, begitu keluarga kami memanggil tubuh beku di depanku, beliau adalah keluarga kami meski tidak ada ikatan darah. Eyangku menerima Mak Nar di rumahnya 30 tahun yang lalu. Saat itu Mak Nar baru berusia 15 tahun. Mak Nar adalah tetangga eyang di desa Sukasari, beliau berasal dari keluarga buruh tani. Saudara kandungnya berjumlah 8 orang dengan jarak kelahiran yang dekat antara anak yang satu dengan anak yang lain. Mak Nar sendiri adalah anak pertama di keluarga mereka. Maka tidak heran ketika Mak Nar berumur 10 tahun beliau harus rela drop out dari sekolah untuk membantu perekonomian orang tuanya.
Empat tahun Mak Nar bergulat dengan lumpur dan glugut padi di sawah, berada di bawah terik matahari yang membuat kulitnya menjadi gelap eksotis. Beliau terpaksa mengorbankan usia mudanya hilang demi menyambung kehidupan keluarganya. Siapa pun yang menyuruhnya mengerjakan pekerjaan  di sawah, beliau akan dengan senang hati  menerimanya. Yang penting dapat uang dan dapur keluarganya mengepul. Dan adik-adiknya bisa makan meski harus berbagi sepiring berdua bahkan berempat jika masuk masa paceklik.
Di umur  14 tahun Mak Nar pasrah akan nasibnya, ketika orang tuanya meminta untuk menerima pinangan dari seorang duda desa sebelah. Duda tersebut adalah pensiunan polisi hutan, yang umurnya hampir sama dengan umur bapaknya. Suami Mak Nar sangat sabar dan pengertian. Setelah menikah Mak Nar tidak diperbolehkan bekerja oleh suaminya.Â
Meskipun hidup dalam kesederhanaan, mereka merasa bahagia. Suaminnya juga tidak melarang ketika sesekali Mak Nar harus membantu keuangan keluarganya. Satu tahun berlalu ternyata Allah harus memisahkan ikatan romatis mereka. Suami Mak Nar harus menghadap Illahi karena sakit kuning (hepatitis) yang dideritannya. Mak Nar menjanda di usia muda dengan kenangan manis yang dibawanya sampai tua.
Setelah 100 hari kematian suaminya, Mak Nar harus kembali bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga membantu keluarganya. Akan tetapi waktu itu tidak banyak petani pemilik sawah yang memintanya untuk bekerja di sawahnya, karena masa paceklik melanda beberapa desa di sekitar desa Sukasari. Alhasil Mak Nar lebih banyak menganggur di rumah.
"Assalamu'alaikum, Bu Mantri..." sapa Mak Nar kepada eyangku ketika usai jamaah subuh di mushala.
Bu Mantri adalah sebutan populer eyangku di desa Sukasari, karena beliau adalah istri dari pegawai penyuluh pertanian. Padahal nama asli eyang Tatik Widyawati. Akan tetapi warga desa lebih suka menyebut Bu Mantri dari pada nama asli eyangku.
"Wassalamu'alaikum  warohmatullahi wabarakatuh." Jawab eyang dengan nada lirih sambil melipat mukenanya.
"Piye kabarmu Nduk..?" tanya eyangku kemudian.
"Alhamdulillah sehat bu Mantri," jawab Mak Nar.Â