Jam 10.00 aku dipanggil ustadzah untuk mengahdap ke kantor, tanpa banyak tanya aku langsung memenuhi panggilannya, meski sedikit tegang aku berusaha untuk tetap tegar, "ini tentang halaqoh shobahiyyah, paggilan ini sebagai peringatan agar kamu lebih bersungguh-sungguh dalam menghafal dan murojaah Al-Qur'an, setoran hafalan di halaqoh hukumnya wajib dan niatkan murojaah serta hafalan ini untuk bekal hidup kamu nanti, bukan sakedar memenuhi tuntutan kampus dan nilai ujian saja. Mulai hari ini kamu berada di bawah pengawasan saya, jika selama seminggu tidak ada perkembangan dalam hafalan dan tidak ada perubahaan saat ujian nanti, saya tidak akan segan mengeluarkan SP-1 sebagai peringatan." Ujarnya dengan lugas saat itu. Aku hanya diam dan mengangguk lalu pergi meninggalkan kantor. Ucapan itu terngiang jelas di telingaku, aku merasa gagal, putus asa dan kecewa pada diriku sendiri.
Di perpustkan kampus aku sering duduk sendiri dengan mushaf yang tak lepas kugenggam, tak jarang air mataku tiba-tiba jatuh meratapi betapa bodohnya diriku yang tak bisa menghafal dengan cepat, "beri aku satu alasan, kenapa kamu duduk di sini dengan mushaf itu?" Tanya seseorang yang tiba-tiba duduk di sampingku.Â
"Aku belum setor hafalan selama seminggu." Keluhku. "Serius?" matanya membulat meyakinkan jawaban yang baru saja ia dengar, "iya, aku hampir kena SP dari kantor, kemarin ustdzah baru saja memperingatiku." Terangku, "dan selama seminggu  kedepan statusku menjadi mahasiswa dalam pengawasan idaroh, jika tidak ada perubahan selama itu, aku benar-benar bakal kena SP-1." Lanjutku.Â
"Dengarkan aku, apa yang menjadi hambatanmu dalam menghafal? Kurang fokus? Tidak ada waktu? Atau kamu terlalu sibuk dengan urusanmu sendiri? " Ia menghela napas dan melanjutkan bicaranya, "Dengarkan aku sekali lagi. Al-Quran itu sebenarnya mudah untuk dihafal, menjadi sulit itu karena presepsi kita sendiri. Berikan waktu untuk mengahafal, berikan ia luang dan ruang untuk mengisi hatimu serta harimu. Tambahan hafalan dan murojaah harus beriringan, bagi waktumu untuk dua hal tersebut." Aku mendengar nasihatnya dengan seksama, "juga jangan lupa untuk berdoa dan terus bersabar. Bersabar sedikit lagi untuk memutqinkan hafalan, rasakan kenikmatannya saat bersama Al-Quran, anggaplah kesulitan ini sebuah tantangan dan penggugur dosa-dosa yang telah lampau, barangkali Allah ingin melihatmu  lebih berijtihad dan lebih mendekatkan diri pada-Nya. Allah selalu menginginkan yang terbaik untuk setiap hambanya." Tutupnya sambil tersenyum dan berusaha membangkitkan semangatku.Â
"Terimkasih banyak, Ukh." Balasku singkat, derai air mataku tak lagi bisa kutahan, semuanya tumpah saat ia beranjak pergi meninggalkanku.
Nak, selama aku masih mampu menyekolahkanmu, kau sekolahlah yang benar. Sungguh-sungguhlah dalam  belajar, menghafal yang rajin, cari semua ilmu yang bisa menambah keimananmu dan  mendekatkan pada Rabbmu.
 Selama kau lihat aku baik-baik saja untuk menfkahimu, kau jangan kecewakanku, jadilah ahli ilmu lalu ahli ibadah.Â
Aku mendukung setiap yang kau kerjakan selama itu tak melenceng dari ajaran. Nak, bantulah aku meringankan hisabku di hadapan Rabbku, tutuplah auratmu, shalatlah lima waktu, doakan aku dan mamakmu, amalkanlah semua ilmu yang telah kau pelajari.Â
Dengan segala keterbatasanku dalam mendidikmu, aku kerahkan segala tenagaku, Nak. Hanya agar kau menjadi anak yang shaleh. Jika tak ada lagi bahuku untukmu bersandar, kau masih punya Allah sujudlah pada-Nya dan mintalah segalanya, jika tanganku tak bisa lagi memelukmu, sujudlah pada-Nya menangislah.Â
Kau tak pernah benar-benar kehilanganku selama kau tak meninggalkan shalatmu.
Berulangkali aku baca pesan dari Abah yang ia berikan saat aku memutuskan untuk menempuh perjalanan menuntut ilmu ke tempat ini, berkali-kali pula air mataku berderai ketika mengingat niat awal yang menjadi pondasiku hingga sampai di titik ini.Â