Tepat pada smester empat di Januari 2022 isu pandemi mulai surut, tempat-tempat umum kembali dibuka dan aktivitas kembali normal seperti biasa, begitu pun dengan kampusku tempat kuliah yang berbasis asrama mulai beroperasi. Mahasiswa dari penjuru negara dan berbagai pulau mulai kembali berdatangan untuk menyelesaikan kewajibannya sebagai thalabul ilmi.
      Setiap mahasiswa yang memasuki tempat ini harus siap untuk kehilangan sinyal-sinyal untuk berkomunikasi dengan dunia luar, interaksi dengan media sosial akan semakin lemah dan jarang, seolah memasuki kawasan rimba yang juah dari hingar-bingar kehidupan atau seperti memasuki masa lampau tanpa alat canggih yang modern.Â
Ya, kampus ini bagaikan sebuah perkampungan dengan peraturan yang sangat terkenal, diantara peraturannya yaitu tak mengizinkan untuk membawa hp, laptop atau alat elektronik lainnya, selain itu makanan pedas dan mie instan tak bisa masuk wilayah ini.Â
Bukan hanya peraturannya saja yang terkenal dari tempat ini, talent dan skill penduduknya pun tersohor hingga ke negeri timur tengah, pasalnya penduduk setempat diwajibkan untuk menguasai bahasa Arab dan bahasa ini diresmikan menjadi bahasa nasional dan bahasa pemersatu di kawasan ini.
      STIBA Ar-Raayah, sebuah tempat yang terletak di ujung Kabupaten Sukabumi, lebih tepatnya di daerah yang bernama Cikembang.Â
Kampus ini berbasis pesantren dengan mewajibkan seluruh mahasiswanya untuk tinggal, menginap dan menetap di asrama selama menempuh perkuliaan S-1 yang berjangka selama lima tahun dengan satu tahun pertamanya berupa kelas persiapan bahasa Arab.Â
Terdapat dua jurusan di kampus ini yaitu Pendidikan Bahasa Arab (PBA) dan Komuikasi Penyiaran Islam (KPI).
                                                              ***
      Aku duduk di balkon asrama sambil menatap langit jingga, burung-burung beterbangan mencari tempat pulang, kelelawar keluar dari sarang untuk mencari makanan, matahari mulai tenggelam dengan diiringi angin sore yang menambah kesyahduan.Â
Kuhirup udara sekitar dengan harapan agar sesak di dadaku tak semakin bertambah, tiga bulan sudahku lewati di tempat ini, meninggalkan kebiasan buruk saat berada di rumah serta menata niat dan tujuan yang akan kembali kutempuh.
Kejadian kemarin benar-benar telah menamparku, memabangunkanku dari kemalasan yang tak berujung, menegur bahkan menyadarkanku pada realita dan kurangnya diri.Â