Aku terlelap begitu nyenyak di atas kasur yang dibalut dengan seprai warna biru dongker kesukaanku, langit-langit kamar berbeda dengan bisanya, lampu kamar dimatikan lebih awal karena waktu sudah terlalu larut.Â
Di bawah alam sadar aku menyusuri ruangan yang tak asing di ingatan, kamar tercintaku dengan dinding biru langit membuatku semakin betah berlama-lama disana, duduk di atas kasur sambil membaca novel Rindu karya Tereliye, menulis quotes di buku harian atau sekedar menunton film terbaru dari telegram menambah kenyamanan tempat itu dan tak diragukan lagi bahwa kamarku syurgaku.Â
Tak lama terdengar bunyi beker menusuk-nusuk telingaku dan memaksaku bangun dari mimpi indah itu, dengan berat hati aku terpaksa membuka mata perlahan menatap langit-langit ruangan yang sangat menyilaukan. "Dimana aku?" Batinku bertanya ragu. "Istayqidhi, ya ukhti!" Suara teman sekamarku yang rajin membangunkan setiap orang tepat pada jam tiga dini hari.Â
Aku duduk dan berusaha mengumpulkan nyawaku dari alam bawah sadar sambil memperhatikan sekitar dan berusaha mengingat kembali kejadian 15 jam yang lalu, "haya qumy, istahimi al'an!" Serunya lagi, sambil menyodorkan handukku yang sengaja ia bawakan.
Ingatanku berputar pada dua tahun silam, ketika pandemi terjadi dan menyebabkan penghuni di tempat ini dirumahkan. Tepat pada tanggal 23 Maret 2020 kami dipulangkan. Dugaanku salah saat mengira bahwa perpulangan ini hanya berjangka dua atau tiga bulan saja, tapi nyatanya  pandemi tak kunjung berhenti dan berlangsung sekitar dua tahun lamanya.Â
Tahun itu semua kegiatan dialihkan menjadi serba online, pemberlakuan PPKM dan PSBB sedang marak-maraknya hingga mencapai level-4 serta masyarakat yang selalu dihimbau untuk tetap mematuhi protokol kesehatan; memakai masker, jaga jarak dan cuci tangan pakai sabun.Â
Kegiatan saat di rumah sangat tidak teratur, tak jarang rasa malas, lalai, bosan menghampriku dan sulit untuk diatasi, kuliah jarak jauh yang sangat mengandalkan aplikasi online seperti: zoom, Â google meeting dan WA, membuatku semakin kecaduan untuk berlama-lama bermain gawai, lupa waktu untuk murajaah, bantu beres-beres rumah, bahkan untuk makan dan madi pun terkadang aku lupa.
Januari ke Desember terlalu singkat saat semuanya telah berlalu, smester satu, ujian tengah smester, drama syabakah dhoifah saat di class room, ujian akhir smester, libur smester, semuanya terlewati begitu saja selama kurang lebih tiga smester.Â
Aku mengkuti semua alur yang tersedia, meski terkadang aku selalu mengeluh saat melewatinya, tak jarang tugas yang menumpuk, deadline yang mepet, tuntutan hafalan yang tetap berlangsung serta polemik yang terjadi di dalam rumah berhasil membuatku tertekan dan stres, namun aku memiliki seseorang yang selalu menyadarkanku, menasihati, mengingatkan serta menyemangatiku saat keaadanku tak baik-baik saja dan saat aku merasa putus asa.Â
Seseorang itu sangat  berarti untukku, dia menjadi orang pertama yang bertaruh nyawa untukku.
       "Laa tatakhayali ya ukhti," tegur seseorang yang lewat di depanku "hal indaki musykilah? Haya qushy 'alaya!" Lanjutnya lagi. Aku hanya menggeleng dan tersenyum tipis sebagai jawaban bahwa semuanya baik-baik saja.