Mohon tunggu...
Di Timur Fajar
Di Timur Fajar Mohon Tunggu... -

Titip salam dari pemilik lapak ini: Aku andaikan mereka dan mereka andaikan aku. Cobalah berempati: merasakan berada pada posisi mereka, maka akan banyak yang bisa kita mengerti dan pahami tentang mereka, tentang kesalahan mereka. Karena kenyataan tidak pernah salah. Tuhan menghadiahi kita akal, bahwa ada kausalitas dalam setiap persoalan. Maka pandai-pandailah menguraikannya." (Rahayu Winette) Jadilah diri sendiri namun tak ada salahnya Anda(i) coba berempati dalam posisi orang lain. (Di Timur Fajar)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

244 Monster UN Wajah Pendidikan Kita

2 April 2013   16:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:51 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_245657" align="aligncenter" width="300" caption="Apa cuma untuk dan karena monster ini kita belajar? (Google gambar)"][/caption]

.   .Ketakutan jelang Ujian Nasional kembali melanda dunia pendidikan kita. Wabah ini ditebar dari atas, oleh yang merasa berwenang mempertahankan sistim evaluasi ini walau sudah dianulir oleh MK. Kekhawatiran jelas ada di pihak penyelenggara tingkat sekolah: kepala sekolah, guru, orang tua, terutama siswa sendiri. .   .UN tahun ajaran kali ini akan berbeda. Siswa akan terpolarisasi dalam 20 paket soal. Sulit berharap datangnya terobosan bantuan dari luar, kalau itu yang jadi masalah. Masalah bagi pihak otoritas, bahwa UN akan rawan dicurangi kalau tidak lebih dipersulit dengan model demikian. Masalah bagi pihak sekolahkalau tidak dicurangi, maka hasil murni UN tersebut tidak mampu diperbaiki oleh nilai smesteran. Kecuali sekolah yang pede dengan kwalitas siswanya yang super belajar semata karena ujian. .   .Belajar karena ujian telah mengelabui esensi belajar sesungguhnya dari dunia pendidikan sekolahan kita. Sekolah idealnya menjadi tempat yang didambakan anak untuk menemukan kecintaan belajarnya di sana. Tempat yang dituju anak dengan langkah yang dipercepat untuk bisa bertemu dengan teman-teman belajar bersama, guru yang ramah, materi ajar yang menarik, relevan, korelatif, karena terhubung ke dunia ke seharian mereka. .   .Jadi bukan belajar karena ujian. Menghakimi mereka dengan harga mati, kalau nilainya seperti apa akan memvonis mereka lulus atau gagal. Bahkan mulai memacu dan mengkerangkeng anak belajar semata mengisi kisi-kisi soal sejak anak masuk tahun ketiga di sekolah. Mengepung mereka dengan berlatih menjawab berbagai bentuk soal, menambah jam belajar, kursus les privat dan bimbingan soal di luar sekolah. .   .Sebenarnya apa makna ujian atau evaluasi dalam belajar? Mengapa anak semata yang dijadikan obyek penilaian, dan bukan guru yang mungkin tidak kompeten mengajar, metode yang tidak tepat, materi yang tidak dirasakan manfaatnya, kondisi belajar yang tidak menunjang. Atau soal dalam ujian itu sendiri? Siapa yang berhak menafsirkan soal macam apa bisa jadi indikator keberhasilan belajar anak? Dengan soal macam apa tersebut, berhasilkah anak dalam kehidupannya sepeninggal dari bangku sekolah di situ? MIKIR TUH! .   .Eh, tunggu, mau telmi nih… ada penutupnya. Gimana kalau selesai dari ujian nasionalnya, pengumumannya berbuah hasil,  di sekolah A: 3 guru dinyatakan tidak lulus, metode dan materi ujian tidak memenuhi selera menjawab siswa, dan sekolah belajar karena ujian dibubarkan. BUBRAH. By: Di Timur Fajar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun