. .Selagi begitu bayak orang (termasuk saya, secukupnya) mengelu-elukan kinerja dan perangai Jokowi-Ahok yang demikian fenomenal, saya digelitik oleh sebuah pengandaian. . .Andaikan sepakterjang Jokowi tidak berpijak pada semua hal yang mendukung 'kebenaran'nya, apakah dia mulus menjalankan semua kebaikannya tersebut? . .Begitu banyak yang melandasi, saya mengambil satu aspek dulu, posisi beliau di jabatan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. [caption id="attachment_261561" align="alignright" width="222" caption="Andai saya di posisi beda"][/caption] Berbeda dengan daerah lain yang otonomi daerahnya ada pada daerah tingkat II, kabupaten dan kotamadya; Jokowi begitu mulus dengan otoritas pada posisi otonomi daerah ada pada tingkat gubernur/propinsi. . .Bagaimana seandainya dia jadi gubernur sebuah daerah yang hanya untuk menggunakan alun-alun sebagai tempat pelantikan dirinya harus meminta izin dan ditolak oleh bupati/walikota 'bawahan'nya? Lalu berikut semua kebijakannya masih harus dikompromikan dengan 'para bawahan'nya, boleh jadi ada yang tidak bersedia sejalan. Ini baru tantangan ke bawah. . .Seandainya dia ada di posisi sebagai walikota/bupati, camat, lurah di wilayah DKI Jakarta, yang bisa dikomandai sang gubernur eksklusif semacam ini, mampukah dia menjadi dirinya sendiri, berjalan dengan semua apa yang dia pikir baik? . .Kalau gubernurnya sebaik dia, boleh jadi kebaikan Jokowi bisa diselipkan konform dengan kebijakan atasannya. Tapi bagaimana kalau gubernurnya seburuk yang dihasilkan oleh demokrasi uang dan keterdikenalan yang semu seperti di negeri ini? Mampukah kebaikannya berkelit dengan setiap kendali kepentingan atasannya? . .Itu dulu, telmi saya mendadak kambuh nih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H