. . Banyak sudah saya mendengar petuah jadilah diri sendiri, tapi mewujudkannya tidaklah segampang mengucapkannya. Nasehat memang kita butuhkan, tapi hanya dengan nasehat belum tentu sesuatu itu mudah terwujud. Nasehat sekalian dengan orang yang memberinya perlu kita bawa ke dalam realitas persoalan yang tengah dia jajaki dengan kata-kata bertuahnya.
. . Bicara seperti ini tidak perlu ditanggapi dengan sinis. Berarti bukan anda penasehat yang keperduliannya saya ingin. Dengan keperdulian itu saya ingin dia berempati, coba membayangkan seandainya ada dalam posisi orang yang dia nasehati. Itu pun belum tentu meyakinkan kalau bukan merasakan sendiri bagaimana sudah ada di dalamnya.
. . Tapi hidup tidak bisa dicoba-coba. Menasehati orang yang sudah terjerumus dalam kecanduan narkoba misalnya, bukankah tidak harus ikut terjerumus sekalian di dalamnya. Itu hanya karena kita ingin mencoba seberat dan sesulit apa seorang pecandu bisa keluar dari lingkaran setan kecanduannya.
. . Kita bisa berempati dalam kecanduan itu dalam bentuk dan kadar lain yang berbeda. Seperti sekarang ini, saya sudah masuk dalam kecanduan berkompasiana lebih dari yang saya butuhkan. Saya belum pernah masuk ke lingkaran kecanduan dunia maya lain seperti facebook, twitter, apa lagi? Nah, seandainya di tambah masuk ke dalam lingkaran sana, seperti apa jadinya saya. Bukan berarti saya tidak membenarkan eksistensi social blog itu kalau ada yang bisa mengambil manfaat dari sana. Artinya saya dan mereka yang ketagihan sampai tidak mengenal bataslah yang ingin nasehat itu ada. Nasehat agar tidak berselancar habis-habisan di dunia maya, sampai habis semua waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan hal-hal lain yang lebih penting.
. . Lantas apa hubunganya lancar berselancar di dunia maya dengan sulitnya menjadi diri sendiri? Relevan, ketika diri kita menganggap penting sebuah urusan dikerjakan tapi langkah kaki kita menuju meja computer dan kompasiana menunggu kita di situ. Atau kalau kaki kita sudah berakar di situ, sulit melangkahkannya ke tempat urusan tadi, menunggu kesudahan kita yang tak pernah muncul.
. . Jadi kalau ada yang ingin menasehati saya untuk tidak kecanduan berkompasiana, orang itu bukan hanya disyaratkan sebagai kompasianir, jadi pernah ada dalam posisi saya, sekalian jadilah diri saya yang sulit melepaskan diri karena berkompasiana menjadi pelarian dari kegelisahan saya. Lama-lama akhirnya saya jadi sulit melarikan diri dari makluk yang satu ini sekali pun kegelisahan tidak menjadi alasan saya ada di sini.
. . Apalagi? Ah, telmi saya sudah muncul. Sampai nanti dengan kegelisahan yang lain.
. . Timur Fajar With Telmi(terlanjur mikir)
. . NB : Tanpa Si Cucak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H