Menepati janji itu penting, tapi banyak orang suka ingkar janji dan cenderung menganggapnya enteng. Penyebabnya bisa jadi mereka tidak menerima konsekwensi atau akibat dari tindakan tak terpuji itu. Sementara itu orang yang dipecundangi tidak merasa perlu memberikan pelajaran.
Sebuah pelajaran apa salahnya. Dan saya merasa itu perlu diberikan ketika seseorang membuat janji hanya untuk kemudian membatalkannya secara sepihak. . Orang itu janji mau menyewa panstup (semacam baskom bercagak) untuk keperluan prasmanan sebuah acara pesta. Tiba waktunya barang itu tidak jadi diambilnya, tanpa pemberitahuan apa-apa malah. Pada hal beberapa saat sebelum itu dia masih sempat SMS dua kali untuk tidak meminjamkan barang itu ke orang lain. Padahal benar, di saat yang sama ada orang lain mau menyewa peralatan itu, tidak jadi karena sudah dibooking orang dimaksud.
Sangat mengecewakan!
Di lain waktu aku membuat dia harus menelan kekecewaan yang sama. Aku melakukan hal tersebut dengan alasan yang sudah disiapkan. Waktu itu dia kembali janji memerlukan barang tersebut, dan saya iyakan saja. Begitu tiba waktu dia datang sendiri menjemput panstupnya, aku mengatakan sudah dipinjam orang lain.
“Bukankah saya yang sudah duluan meminjamnya?” suaranya tidak senang.
“Benar, tapi apa jaminannya kau benar benar akan jadi meminjamnya? Bukankah waktu itu kau sendiri telah menyalahi perjanjian!”
. . . . . . . . . . . . . . . .* * *. . . . . . . . . . . . . . .
Pembalasan ternyata harus lebih ‘kejam’ dari perbuatan. Di lain waktu dia menyuruh orang meminjam bawang sewaan tersebut, aku tidak memberikannya. Kubuat alasan barang itu sedang dipinjam seseorang. Esoknya dia mengetahui alasan itu sebenarnya tidak ada, lalu menyambangiku.
“Aku kan meminjam barang itu langsung pada saatnya, kenapa kamu tidak bersedia meminjamkan. Jangan bilang kalau seseorang telah meminjamnya. Orang itu kawan saya, dan dia tidak merasa meminjam panstup dari kamu kemarin.”
Apa boleh buat, ada kata-kata yang ‘tepat’ untuk itu.
“Lain kali kalau mau meminjam barang itu sekarang, pakainya kemarin; baru aku percaya!”
. . . . . . . . . . . . . . . . * * *. . . . . . . . . . . . . . . .
Sarkartis memang! Semoga hal itu tidak sampai terjadi. Asal tahu saja episode terakhir tadi hanyalah khayalan obssesiku, mengimbangi kekecewaan dan keinginan untuk memberikan pelajaran yang telak kepada seseorang yang ingkar janji.
By : Rahayu Winnet
NB : Sedikit tips dalam melakukan perjanjian bisnis sewaan:
· Kalau harus membatalkan janji, usahakan berani memberitahukan secepatnya. Itu konsekwensi yang harus dipikul untuk tidak terlalu mengecewakan pihak lain.
· Kalau karena bisa mendapatkan sewa harga lebih murah di tempat penyewaan lain, beda harga tidak harus mengalahkan nilai sebuah kepercayaan yang sudah diambil.
· Point di atas bukan berarti tidak perlu berpikir efisiensi biaya. Silakan mengecek lebih dulu kisaran harga sewa sebuah barang pinjaman, setelah itu pastikan jadi dengan peminjaman yang mana.
· Upayakan adanya sistim uang panjar untuk jaminan jadi sebuah peminjaman.
· Akhirnya, ingat: sekali lancung ke ujian, tahun depan semoga tidak ada ujian (nasional) lagi. Hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H