Hujan turun dimalam itu. Tidak cukup deras, tapi cukup mampu membuat badan basah kuyup. Dengan mantap dibalut jas hujan, malam itu kususuri jalan pesisir Losari. Menghindari jalan yang baru saja amblas karena abrasi di musim penghujan. Sepanjang jalan menuju Gedung Kesenian Societeit De Harmonie menagih janji seorang kawan untuk ngopi darat di malam dingin.
11 Januari 2012 malam itu. Lokasi gedung kesenian telah di depan mata. Kios-kios penjual kopi dan gorengan khas tetap buka walau hujan tak hanti-hentinya. Sebuah tenda dan banyak kursi diatur sedemikian rupa. Bisa ngopi dan cerita hingga larut malam kalau sudah duduk disana. Ditambah hujan yang turun pas disampin badan menambah asik suasana.
Sebelum masuk ke tenda-tenda menyeruput kopi hangat, kawan saya lebih dulu mengajak masuk ke gedung kesenian. Awalnya bingung. Ada acara apa di dalam sana. Dilihat dari luar, tak ada aktifitas di dalam sana, cahaya juga tidak begitu jelas. Tapi deretan sepeda motor dan mobil di depan gedung membuktikan jika benar ada kegiatan di dalam sana.
Suasa gelap saat itu. Dari luar sesekali sayup-sayup suara terdengar. Terkadang meninggi dan tiba-tiba menghilang bagai dibunuh oleh waktu. Ada suara perempuan dan laki-laki, bicara bergantian dan terkadang terdengar saling bertengkar. Penasaran, ku terobos tirai hitam di pintu masuk sebelah kiri menuju ruang inti gedung kesenian yang sudah lama terbengkalai ini.
Pagar besi yang membatasi dunia luar gedung kesenian tidak nampak. Ditutupi dengan kain hitam panjang yang dipadu padangkan dengan kain kuning yang juga panjang, bahkan menutupi separuh ruang pertunjukan. Ini adalah malam terakhir pertunjukan teater dengan judul waiting for godot yang diperankan oleh Kala Teater yang telah berlangsung sejak 7 Januari.
Dalam ruang pertunjukan telah disesaki pengunjung. Mereka duduk melantai tepat di depan panggung yang didesain sejajar dengan penonton. Rata-rata penontonnya adalah mahasiswa. Semua khusuk menikmati lakon demi lakon. Sesekali kamera dan handphone ditangan mereka diangkat untuk mengabadikan satu adegan dalam pertunjukan panjang dan melelahkan itu.
Waiting for godot berkisah tentang dua sabahat, Vladimir dan Estragon yang setiap hari dilaluinya dengan menungu sang godot atau juru selamat. Dari awal pertunjukan hingga akhir konflik demi konflik terjadi antar keduanya dalam menunggu sang godot muncul dan menyelamatkannya. Cerita ditambah ruwet dan kompleks ketika Puzzo dan Lucky hadir dalam kehidupan dua sahabat ini.
Alhasil konflik yang lebih besar lagi muncul. Kisah penantian kedua sahabat ini pun makin diwarnai kesedihan, kekerasan dan keputusasaan, walau demikian kadang juga kegembiraan menghampiri mereka. Lakon ini diperankan oleh aktor lokal. Sebahagian besar bahkan masih mahasiswa. Naskahnya ditulis oleh Samuel Beckett yang diterjemahkan oleh Farid Bambang.
Secara khusus, cerita dalam lakon ini diangkat dari kehidupan sehari-hari. Sosial yang komplek terkadang membuat kita putus asa menjalani hidup. Persoalan dan rintangan mencari kegembiraan hidup tidak sedikit kita jalani, hingga pada akhirnya kita membutuhkan satu sosok yang bisa menyelesaikan semua persoalan itu. Dialah sang juru selamat menurut kita.
Tapi realita tetap realita. Tak ada yang ajaib dan mampu merubah apapun tentang diri kita kecuali kita sendiri. Akhir cerita ini pun begitu. Godot yang dianggap sebagai juru selamat tidak hadir dan memberi pertolongan. Kedua sabahat ini pun memilih untuk memperjuangkan keselamatan dirinya sendiri dan bertekad tidak melabuhkan harapan ke godot lagi.
Pertunjukan yang berlangsung kurang lebih 3 jam ini, makin membuat bulu kuduk merinding dengan alunan istrumen yang menyayat hati. Penuh dengan kepedihan dan kesensaraan, yang sesekali diselipkan dalam sebuah adegan. Penata cahayaan juga menjadikan penonton merasakan apa yang aktor perankan. Kita diajak meresapi lebih jauh tentang penderitaan hidup.