Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Sosial⎮Penulis⎮Peneliti

Masa muda aktif menggulingkan pemerintahan kapitalis-militeristik orde baru Soeharto. Bahagia sbg suami dgn tiga anak. Lulusan Terbaik Cumlaude Magister Adm. Publik Universitas Nasional. Secangkir kopi dan mendaki gunung. Fav quote: Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ketika Pramoedya Hidup di Era Algoritma

2 Februari 2025   14:00 Diperbarui: 2 Februari 2025   14:00 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Pramoedya Ananta Toer (Sumber: wikipedia.org)

Bayangkan Pramoedya Ananta Toer hidup di zaman digital, di mana kecerdasan buatan (AI), algoritma, dan viralitas menjadi jantungnya teknologi informasi yang mengubah cara kita berkomunikasi, belajar, dan menulis.

Bagaimana sang sastrawan legendaris ini akan menavigasi dunia baru? Apakah ia akan memanfaatkan teknologi untuk memperluas pengaruhnya, atau justru mengkritiknya sebagai alat baru penindasan?

Yang pasti, saya akan jadi follower pertama Pramoedya di semua akun media sosial miliknya.

Menulis di Zaman Digital: Antara Kemudahan dan Tantangan

Di era digital, Pramoedya mungkin akan menemukan kemudahan yang tak terbayangkan.

Platform seperti Google Docs atau Notion memungkinkannya menulis di mana saja, kapan saja, tanpa khawatir kehilangan naskah---seperti yang terjadi pada naskah Bumi Manusia yang dirampas dan dibakar oleh rezim Orde Baru.

Media sosial Twitter atau Substack bisa menjadi panggung baru baginya untuk menyebarkan pemikiran dan karyanya langsung ke pembaca, tanpa melalui filter penerbit atau sensor pemerintah.

Singkatnya, semua cara penulisan, distribusi, dan promosi karyanya akan berubah secara signifikan.

Namun, kemudahan ini juga datang dengan tantangan. Di tengah banjir informasi, karya sastra bisa tenggelam dalam hiruk-pikuk konten digital.

Pramoedya, yang dikenal dengan gaya penulisan yang mendalam dan penuh refleksi, mungkin akan menghadapi tekanan untuk menyesuaikan diri dengan budaya instan dan cepat saji.

Apakah ia akan tetap setia pada gaya penulisannya yang khas, atau beradaptasi dengan tuntutan algoritma yang mengutamakan viralitas?

Foto Pramoedya Ananta Toer (Sumber: wikipedia.org)
Foto Pramoedya Ananta Toer (Sumber: wikipedia.org)

Kecerdasan Buatan: Alat Bantu atau Ancaman?

Kecerdasan buatan telah menjadi alat yang tak terelakkan dalam dunia kepenulisan. Tools seperti DeepSeek, ChatGPT, dan Grammarly bisa membantu Pramoedya dalam proses editing, mencari referensi, atau bahkan menghasilkan ide-ide baru.

Kecerdasan buatan dapat berfungsi sebagai alat bantu dalam proses kreatif. Meskipun AI dapat membantu dalam banyak hal, kreativitas dan sensitivitas manusia tetap menjadi elemen kunci dalam penulisan.

Pramoedya, dengan latar belakangnya yang kuat dalam menggali pengalaman manusia dan sejarah, kemungkinan besar akan tetap menekankan pentingnya suara manusia dalam karyanya

Ia mungkin akan menggunakan AI untuk riset atau pengumpulan data, tetapi tetap mempertahankan proses kreatifnya sebagai bagian dari identitasnya sebagai penulis.

Pramoedya, tentu akan terlibat dalam mempertanyakan etika penggunaan AI dalam penulisan.

Seperti Walter Benjamin (1936) yang mengkritik bagaimana reproduksi mekanis dapat menghilangkan "aura" orisinalitas sebuah karya.

Pramoedya mungkin akan melihat AI sebagai ancaman terhadap keunikan dan keaslian karya sastra, yang bagi dia adalah jantung dari ekspresi manusia.

Rumah tempat kelahiran Pramoedya Ananta Toer, Jl. Sumbawa No. 40, Kel. Jetis, Kab. Blora, Jawa Tengah.(Foto: KOMPAS.com/PUTHUT DWI PUTRANTO N)
Rumah tempat kelahiran Pramoedya Ananta Toer, Jl. Sumbawa No. 40, Kel. Jetis, Kab. Blora, Jawa Tengah.(Foto: KOMPAS.com/PUTHUT DWI PUTRANTO N)

Pramoedya dan Aktivisme Digital

Sebagai seorang aktivis yang tak kenal lelah, Pramoedya mungkin akan memanfaatkan platform digital untuk memperjuangkan keadilan sosial dan kebebasan berekspresi.

Blog pribadi, podcast, atau bahkan kanal YouTube bisa menjadi medium baru baginya untuk menyuarakan kritik terhadap ketidakadilan, seperti yang ia lakukan melalui tulisan-tulisannya di masa lalu.

Namun, ia juga akan menghadapi tantangan baru: misinformasi dan hoaks.

Di era di mana kebenaran sering kali dikaburkan oleh arus informasi yang tak terkendali, Pramoedya mungkin akan menjadi suara yang menyerukan pentingnya literasi media dan berpikir kritis.

Seperti yang ia tulis dalam Rumah Kaca, "kekuasaan selalu berusaha mengontrol informasi," dan di era digital, peringatan ini lebih relevan dari sebelumnya.

Kolaborasi dengan Generasi Muda

Di era digital, Pramoedya mungkin akan menjalin kolaborasi dengan generasi muda, yang akrab dengan teknologi namun haus akan narasi-narasi mendalam.

Melalui platform seperti Kompasiana, Wattpad, dan Medium, ia bisa berbagi cerita-cerita pendek atau esai yang menginspirasi generasi muda untuk berpikir kritis dan mencintai sastra.

Ia juga mungkin akan terlibat dalam proyek-proyek kolaboratif, seperti menulis novel bersama menggunakan AI atau membuat adaptasi digital dari karya-karyanya.

Seperti Henry Jenkins (2006) melihat bagaimana teknologi digital memungkinkan kolaborasi antara pencipta dan audiens, menciptakan budaya partisipatif yang inklusif.

Pramoedya, dengan semangat egaliternya, mungkin akan merangkul budaya ini sebagai cara untuk memperluas pengaruh sastra.

Kritik terhadap Kapitalisme Digital

Meski memanfaatkan teknologi, Pramoedya tidak akan kehilangan sikap kritisnya terhadap sistem yang menindas.

Ia mungkin akan mengkritik kapitalisme digital, di mana perusahaan teknologi raksasa mengontrol data dan informasi untuk keuntungan pribadi.

Dalam esai-esainya, ia mungkin akan memperingatkan tentang bahaya monopoli informasi dan eksploitasi data, yang ia lihat sebagai bentuk baru kolonialisme.

Mungkin saja, dia akan menyusun buku Rumah Kaca Oligarki atau Gadis Algoritma yang mengkritik sistem patriarki di era disrupsi. Tentu saja Akumulasi Kapital di Sektor Teknologi akan menjadi perhatian serius bagi Pramoedya.

Shoshana Zuboff dalam surveillance capitalism (2019), secara bernas, menggambarkan bagaimana data pribadi dieksploitasi untuk keuntungan ekonomi, menciptakan sistem pengawasan yang mirip dengan "rumah kaca".

Menulis adalah Keabadian

Jika Pramoedya Ananta Toer hidup di era digital, ia akan menjadi sosok yang kompleks: Seorang penulis yang memanfaatkan teknologi untuk memperluas pengaruhnya, sekaligus seorang kritikus yang waspada terhadap dampaknya.

Ia akan menari di antara adaptasi dan resistensi, memanfaatkan kemudahan digital tanpa kehilangan esensi dari karyanya.

Dalam setiap tweet, blog, atau podcast, Pramoedya akan tetap menjadi suara yang menggedor kesadaran, mengajak kita untuk merenung, dan mengingatkan kita bahwa di balik kemajuan teknologi, nilai-nilai kemanusiaan tetap yang paling penting.

Ia akan membuktikan bahwa sastra, dalam bentuk apa pun, tetap menjadi alat yang ampuh untuk memahami dan mengubah dunia.

"Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun