Rumah Kaca (1988) memperkenalkan pada masa pascakemerdekaan yang penuh dengan disillusionment. Di dalamnya, Pramoedya menyoroti fragmen-fragmen kehidupan politik yang kacau, terutama mengenai birokrasi dan otoritarianisme yang melanda Indonesia pascakolonial.
Rumah Kaca menggambarkan sebuah dunia yang terus berputar di dalam lingkaran kekuasaan, di mana tiap refleksi tentang diri dan negara terperangkap dalam sebuah 'rumah terbuat dari kaca.'
Sebenarnya, buku ini bisa dibaca sebagai kritik tajam terhadap kemunduran ideologi revolusi, di mana cita-cita kemerdekaan mulai dikhianati oleh kepentingan pribadi dan kekuasaan yang semakin menindas.Â
Dengan pendekatan strukturalis, kita dapat menganalisis bagaimana Pramoedya menunjukkan ketegangan antara idealisme revolusi dengan realitas pascarevolusi yang penuh kekecewaan.Â
Melalui tokoh-tokohnya yang mengalami konflik batin, Pramoedya menggambarkan ketidakmampuan banyak individu dalam merespons ketidakadilan baru yang muncul setelah kemerdekaan.
Saya, merayakan seabad Pramoedya dari balik 'Rumah Kaca'
Ini merupakan refleksi dari kegelisahan 'kolonialisme gaya baru', kekuasaan, dan manusia yang terjebak dalam labirin sejarah.
Di manapun, genetika kekuasaan adalah membangun 'rumah kaca' pengawasan, di mana setiap gerak-gerik rakyat selalu diawasi, dicatat, dan dikendalikan.
Rumah kaca ini bukan hanya metafora fisik, tetapi juga psikologis---sebuah sistem yang menciptakan ketakutan, kepatuhan, dan kehilangan identitas.
Protes seorang bocah sekolah dasar soal menu makanan gratis, langsung dibalas dengan sumpah serapah tanpa ampun.