"Apa kabar tukang cukur jalanan?". Apakah dunia modern masih memperhatikan nasib sebarisan ahli pangkas tradisional yang sudah mulai termakan usia itu. Tangan dipenuhi keriput yang terkadang gemetar adalah penanda keteguhan perjuangan yang panjang.
Di tengah maraknya barbershop berkilau dengan interior futuristik dan aroma produk perawatan rambut yang menggoda, ada sosok yang dengan tenang melaju dengan gerobak kayunya, membawa gunting dan pisau cukur tradisional.
Tukang cukur jalanan--sang penjaga tradisi yang melintasi jalanan kota dan desa, dengan senyum ramah yang tak lekang oleh waktu--tetap hadir, meski dunia barbershop modern menguasai pangsa pasar.
Seperti angin yang tak terlihat, tukang cukur jalanan berkeliling terus bergerak, tanpa perlu tanda neon atau ruang megah untuk dikenal. Mereka adalah bagian dari kehidupan yang bergerak sederhana.
Dalam gelombang modernisasi yang serba cepat, mereka tetap bertahan--pahlawan tanpa tanda jasa di dunia pangkas memangkas rambut.
Mereka yang, meski dengan keterbatasan ruang dan peralatan, terus menghidupkan akurasi dalam setiap guntingan, serta membuktikan bahwa orisinalitas masih memiliki tempat dalam dunia yang semakin serba instan.
Awal Mula yang Samar
Profesi tukang cukur jalanan di Indonesia memiliki sejarah yang kaya dan beragam, dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, budaya, dan migrasi.
Meskipun tidak ada catatan pasti mengenai kapan profesi ini pertama kali muncul, jejaknya dapat ditelusuri kembali ke zaman kolonial Belanda.
Profesi tukang cukur di Indonesia banyak dipengaruhi oleh budaya dari daratan Tiongkok. Sejak zaman kolonial, orang Tionghoa dikenal terampil dalam memangkas rambut dan membersihkan telinga (Nishlah, Hilyatun & Dhita Hapsarani, 2021).