"Sudah dengar berita ada pagar laut, Nek! Negeri ini makin kacau saja", ujarku di suatu sore bersama Nenek Sukarni yang duduk diatas kursi bambu reot. Sejurus kemudian terdengar suara, "Kreek...kreek." Kursi berderik saat Sukarni menggeser tubuhnya lebih tegak.
"Te veel overvallers!", seperti menggerutu dalam bahasa yang samar-samar bahkan tidak saya mengerti.
Sejenak keheningan merasuki kami berdua. Pikiranku melayang mencoba mencerna ujaran-ujarannya. Embusan asap rokok pekat memenuhi rumah berlapis bambu itu di suatu sore. Luasnya tak lebih besar dari ruangan toilet hotel-hotel mewah.
"Apa itu maksudnya, Nek?", tanyaku penasaran.
Sambil melotot dia menjawab, "Terlalu banyak perampok!".
Namanya Sukarni. Perempuan renta dari sebuah desa di pesisir Jawa. Usia yang uzur perlahan meremukkan kedua bola matanya. Penglihatannya semakin memudar, tapi tidak dengan isi pikirannya. Tetap kritis dan cerewet.
Usianya telah melampaui delapan dekade, namun semangatnya seperti api abadi Kawah Ijen dan Mrapen yang disatukan. Berkobar menyala terang di tengah kegelapan malam.
Setiap kata yang meluncur dari bibirnya yang kering itu, tajam namun tertata rapi dengan gaya intonasi yang meledak-ledak layaknya warisan kader-kader politik era 60-an.
Rambut Nenek Sukarni panjang terurai. Kusam berwarna perak pucat seperti kain kafan yang siap dikuburkan. Saat tertiup angin, tampak bergelombang bak hamparan pasir pantai di laut selatan. Elok dan penuh magi.
Kerut di kulit tubuhnya adalah prasasti sejuta palagan kehidupan yang sudah dilaluinya. Panjang berliku dan tak ringan. Meski tulang punggung itu membungkuk, tak sudi dia menggunakan tongkat penyangga.
"Cuma nenek-nenek manja saja yang pakai tongkat", begitu ujarnya. Menolak tua.
Nenek Sukarni fasih tiga bahasa: Indonesia, Belanda dan Jepang, tentu tak ketinggalan bahasa Jawa. Kemampuan yang sangat jarang dimiliki oleh kawan sezamannya.
Nenek Sukarni bukan sekadar seorang nenek biasa. Dalam setiap kerut wajahnya tersimpan kisah-kisah perjuangan yang tak terhitung jumlahnya. Dia pernah aktif di organisasi perempuan yang dulu pernah diburu Orde Baru.
Ia sering bercerita kepada cucu-cucunya tentang masa-masa sulit ketika penjajah berkulit putih menginjakkan kaki di tanah air. Dan pengalamannya yang sering keluar masuk penjara karena perbedaan pandangan politik.
Itulah mengapa Nenek Sukarni sangat membenci tingkah polah pejabat yang sewenang-wenang.
"Anak-anakku," katanya sambil memandang jauh ke arah ladang, "semangat juang itu tidak akan pernah pudar, meski waktu terus berlalu. Kita harus terus berjuang untuk cita-cita kita, sekecil apa pun itu."
"Selalu akan ada kelompok-kelompok dari kaum tertindas yang akan membela kebenaran hingga datang hari penghakiman."
Di akhir hari, ketika matahari yang malu-malu mulai tenggelam di balik pegunungan, saya pun pamit pulang meninggalkan Nenek Sukarni yang masih duduk di beranda rumahnya sambil memandangi anak-anak kecil bermain di halaman rumah.
Ia tahu bahwa meskipun dunia terus berubah, semangat juang akan selalu hidup dan tumbuh dalam hati mereka yang mencintai tanah airnya.
"Bahkan samudera darah pun takkan mampu tenggelamkan kebenaran!", begitulah kata-kata terakhir Nenek Sukarni yang masih saya ingat.
Sebulan kemudian dia harus menemui Sang Pencipta untuk selama-lamanya. Selamat jalan, Nek. Kau akan pergi, lama sekali.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H