"Cuma nenek-nenek manja saja yang pakai tongkat", begitu ujarnya. Menolak tua.
Nenek Sukarni fasih tiga bahasa: Indonesia, Belanda dan Jepang, tentu tak ketinggalan bahasa Jawa. Kemampuan yang sangat jarang dimiliki oleh kawan sezamannya.
Nenek Sukarni bukan sekadar seorang nenek biasa. Dalam setiap kerut wajahnya tersimpan kisah-kisah perjuangan yang tak terhitung jumlahnya. Dia pernah aktif di organisasi perempuan yang dulu pernah diburu Orde Baru.
Ia sering bercerita kepada cucu-cucunya tentang masa-masa sulit ketika penjajah berkulit putih menginjakkan kaki di tanah air. Dan pengalamannya yang sering keluar masuk penjara karena perbedaan pandangan politik.
Itulah mengapa Nenek Sukarni sangat membenci tingkah polah pejabat yang sewenang-wenang.
"Anak-anakku," katanya sambil memandang jauh ke arah ladang, "semangat juang itu tidak akan pernah pudar, meski waktu terus berlalu. Kita harus terus berjuang untuk cita-cita kita, sekecil apa pun itu."
"Selalu akan ada kelompok-kelompok dari kaum tertindas yang akan membela kebenaran hingga datang hari penghakiman."
Di akhir hari, ketika matahari yang malu-malu mulai tenggelam di balik pegunungan, saya pun pamit pulang meninggalkan Nenek Sukarni yang masih duduk di beranda rumahnya sambil memandangi anak-anak kecil bermain di halaman rumah.
Ia tahu bahwa meskipun dunia terus berubah, semangat juang akan selalu hidup dan tumbuh dalam hati mereka yang mencintai tanah airnya.
"Bahkan samudera darah pun takkan mampu tenggelamkan kebenaran!", begitulah kata-kata terakhir Nenek Sukarni yang masih saya ingat.
Sebulan kemudian dia harus menemui Sang Pencipta untuk selama-lamanya. Selamat jalan, Nek. Kau akan pergi, lama sekali.*