Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Sosial⎮Penulis⎮Peneliti

Masa muda aktif menggulingkan pemerintahan kapitalis-militeristik orde baru Soeharto. Bahagia sbg suami dgn tiga anak. Lulusan Terbaik Cumlaude Magister Adm. Publik Universitas Nasional. Secangkir kopi dan mendaki gunung. Fav quote: Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Bahkan samudera darah pun takkan bisa tenggelamkan kebenaran!"

18 Januari 2025   18:09 Diperbarui: 18 Januari 2025   19:06 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto: pixabay.com)

"Sudah dengar berita ada pagar laut, Nek! Negeri ini makin kacau saja", ujarku di suatu sore bersama Nenek Sukarni yang duduk diatas kursi bambu reot. Sejurus kemudian terdengar suara, "Kreek...kreek." Kursi berderik saat Sukarni menggeser tubuhnya lebih tegak.

"Te veel overvallers!", seperti menggerutu dalam bahasa yang samar-samar bahkan tidak saya mengerti.

Sejenak keheningan merasuki kami berdua. Pikiranku melayang mencoba mencerna ujaran-ujarannya. Embusan asap rokok pekat memenuhi rumah berlapis bambu itu di suatu sore. Luasnya tak lebih besar dari ruangan toilet hotel-hotel mewah.

"Apa itu maksudnya, Nek?", tanyaku penasaran.

Sambil melotot dia menjawab, "Terlalu banyak perampok!".

Namanya Sukarni. Perempuan renta dari sebuah desa di pesisir Jawa. Usia yang uzur perlahan meremukkan kedua bola matanya. Penglihatannya semakin memudar, tapi tidak dengan isi pikirannya. Tetap kritis dan cerewet.

Usianya telah melampaui delapan dekade, namun semangatnya seperti api abadi Kawah Ijen dan Mrapen yang disatukan. Berkobar menyala terang di tengah kegelapan malam.

Setiap kata yang meluncur dari bibirnya yang kering itu, tajam namun tertata rapi dengan gaya intonasi yang meledak-ledak layaknya warisan kader-kader politik era 60-an.

Rambut Nenek Sukarni panjang terurai. Kusam berwarna perak pucat seperti kain kafan yang siap dikuburkan. Saat tertiup angin, tampak bergelombang bak hamparan pasir pantai di laut selatan. Elok dan penuh magi.

Kerut di kulit tubuhnya adalah prasasti sejuta palagan kehidupan yang sudah dilaluinya. Panjang berliku dan tak ringan. Meski tulang punggung itu membungkuk, tak sudi dia menggunakan tongkat penyangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun