Ketergantungan pada kendaraan pribadi dan penurunan jumlah layanan angkutan umum merupakann kombinasi yang mengerikan bagi suatu wilayah, apalagi dengan tingkat mobilitas warga yang tinggi.
Dampak yang paling nyata adalah kemacetan yang parah, polusi udara yang signifikan, biaya mobilitas menjadi tinggi terutama bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Apalagi dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 25,22 juta jiwa (BPS, per Maret 2024) menambah kerumitan menjadi berlapis-lapis.
Artikel sederhana ini berupaya untuk mengurai penyebab utama krisis dan menawarkan solusi yang dapat diterapkan untuk memperbaiki sistem transportasi publik di Indonesia.
Krisis Transportasi Publik dan Penyebabnya
Sebagian analis menyebutkan bahwa transportasi publik di Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut data, pangsa angkutan umum di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya masih di bawah 20%, jauh tertinggal dibandingkan dengan kota-kota metropolitan lainnya seperti Singapura dan Tokyo.
Krisis transportasi publik semakin mendalam, terutama dengan berhentinya beberapa layanan buy the service (BTS) seperti BisKita Trans Pakuan, Trans Jogja, Batik Solo Trans (BST), dan Trans Metro Dewata (TMD) (kompas.id, 13/1/2025; cnnindonesia.com, 4/1/2025).
Salah satu yang dituding menjadi 'biang kerok' adalah adanya ketergantungan pada subsidi pemerintah pusat sehingga mengakibatkan banyak pemerintah daerah tidak mampu membiayai operasional transportasi publik secara mandiri (Kompas.id, 6/1/2025).
Selain itu, yang dianggap turut memberikan kontribusi pada krisis ini adalah sejak tahun 2005, masyarakat sudah beralih ke sepeda motor karena kemudahan akses dan biaya yang lebih rendah.