Bagian 2: Neoliberalisme dan oligarki di mata seorang Prabowo.
Sejak perhelatan perdana di bawah panji-panji Partai Gerindra tahun 2009 hingga kini, Prabowo konsisten mengulang-ulang kritiknya terhadap sistem ekonomi Indonesia yang cenderung ke arah neoliberal.
Sistem ekonomi neoliberal memberikan "jalan" kepada sebagian orang untuk menjadi kaya. Kemudian kekayaan itu diharapkan menetes ke rakyat biasa yang ada di bawahnya. Pola ini akrab dengan istilah "trickle down effect".
Teori menetes ke bawah ini pertama kali diperkenalkan Albert Otto Hirschman, pencetus faham Neoliberalisme. Konsep ini secara terang-terangan mengingkari semangat ekonomi kekeluargaan yang diusung UUD 1945 yang dituangkan secara tegas di dalam pasal 33.
David Harvey, dalam bukunya bertajuk A Brief History of Neoliberalism (2005), menyebut ada lima ciri utama dari neoliberalisme:
1) supremasi pasar, dalam arti campur tangan negara seharusnya minim dalam pengendalian harga; 2) fleksibilitas modal yang dampaknya adalah penerapan secara masif sistem kerja kontrak dan outsourcing; 3) deregulasi atau penghapusan yang membatasi perputaran modal; selanjutnya..
4) pemotongan anggaran negara untuk belanja sosial seperti subsidi; dan terakhir 5) penghapusan konsep barang publik seperti kesehatan dan pendidikan.
Dari pemahaman tersebut, kita mulai sedikit memahami isi kepala Prabowo dan sikap kerasnya terhadap neoliberalisme, sampai hari ini.
Di Indonesia, praktik neoliberalisme itu mulai nyata saat gelombang krisis moneter meningkat di tahun 1997-1998 yang berujung pada tumbangnya pemerintahan orde baru Soeharto.
IMF, World Bank, dan lembaga-lembaga keuangan internasional berbondong-bondong masuk ke Indonesia memaksakan penerapan paket kebijakan ekonomi (Structural Adjustment Programme).