Judul artikel ini, seperti yang Anda pahami, pernah menjadi tema utama pada acara haul Gus Dur ke-9, tahun 2018. Tahun politik yang ditandai dengan adanya pembelahan di kalangan masyarakat. Cebong vs Kampret.
Selasar media sosial, waktu itu, penuh sesak dengan ujaran kebencian dan berita palsu. Kominfo mencatat sekira 800 ribuan akun terindikasi sebagai pusat produksi informasi palsu (Celinova, 2022).
Dalam dunia yang sering kali dipenuhi dengan ketegangan politik, konflik, dan perdebatan ideologis, penting untuk diingat bahwa di balik semua itu, ada satu nilai yang jauh lebih mendasar dan universal: Kemanusiaan.
Kemanusiaan adalah inti dari setiap interaksi manusia, dan sering kali, nilai-nilai kemanusiaan ini diabaikan dalam hiruk-pikuk politik.
Dalam konteks kemanusiaan tersebut, Presiden Prabowo, bagi saya, adalah pelanjut ideologis Gus Dur. Mengapa demikian? Kita mulai dengan membahas sedikit sikap politik Republik Vanuatu.
Republik Vanuatu: Pendukung Utama Kemerdekaan Papua-Papua Barat
Vanuatu adalah negara kepulauan yang terletak di Pasifik Selatan. Dengan memiliki 83 pulau, luas Vanuatu tak lebih besar dari kepulauan Maluku. Tahun 2020, tercatat populasi di Vanuatu sebanyak 307,815 orang.
Singkat cerita, Vanuatu Merdeka pada 30 Juli 1980 dengan Walter Lini sebagai Perdana Menteri pertamanya sampai 1991. Meskipun merdeka, Vanuatu tetap berhubungan dengan Britania Raya sebagai bagian dari Persemakmuran.
Dalam urusan Luar Negeri, saat itu, Walter Lini dari partai Vanua'aku Pati (VP) bergabung dengan Gerakan Non Blok (GNB). Namun, Partai VP pecah pada tahun 1987. Barak Sope membentuk partai baru bernama Partai Progresif Melanesia (MPP). Sementara, Walter Lini membentuk, Partai Persatuan Nasional (NUP). Sedangkan, Donald Kalpokas tetap menyatakan dirinya sebagai pemimpin VP yang terpecah menjadi dua tersebut.
Sementara itu, partai pemenang pemilu 1991 adalah Persatuan Partai Moderat (UMP) pimpinan Maxime Carlot Korman, yang berkoalisi dengan Walter Lini dari NUP.
Seperti negara-negara parlementer lainnya, Vanuatu mengalami masa Dimana pemimpin dating silih berganti dengan begitu cepatnya. Mosi tidak percaya parlemen menjadi senjata pamungkas untuk menggulingkan suatu pemerintahan. Negara menjadi tidak stabil.