Jelang deklarasi dirinya sebagai calon presiden (Capres) dari Partai Golkar, Aburizal Bakrie (ARB) berjanji, bahwa masalah Lumpur Lapindo akan diselesaikan paling lambat akhir tahun ini. Menurutnya, penyelesaian masalah Lumpur Lapindo dimaksudkan agar tidak mengganggu elektabilitas sebagai Capres.
Pertanyaannya, benarkah masalah Lumpur Lapindo sekedar masalah pelunasan sisa ganti rugi yang dilakukan melalui mekanisme akta jual beli? Benarkah, jika ARB mampu melunasi sisa pembayaran ganti rugi sekitar Rp 900 milyar sampai akhir tahun ini, maka persoalan Lumpur Lapindo dianggap beres, dan Ical akan mulus sebagai Capres?
Tentu saja, tidak! Mengapa? Karena, sesungguhnya, pokok masalah Lumpur Lapindo bukanlah identik dengan pelunasan sisa ganti rugi atas bangunan dan lahan warga Sidoarjo yang ditenggelamkan oleh Lumpur Lapindo.
Pembohongan
Masalah Lumpur Lapindo, sejatinya adalah masalah pembohongan yang dilakukan oleh perusahaan milik keluarga ARB, P.T. Energy Mega Persada (EMP), pemilik mayoritas saham Lapindo Brantas Inc. (LBI) atas apa yang yang sesungguhnya terjadi dengan semburan Lumpur Lapindo. Pembohongan itu adalah dikatakannya bahwa Lumpur Lapindo terjadi sebagai fenomena alam akibat peristiwa gempa bumi di sekitar Yogyakarta, yang terjadi dua hari sebelumnya.
Untuk apa Lapindo melakukan pembohongan? Jelas, untuk menutupi peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Yakni, bahwa semburan Lumpur Lapindo jelas-jelas merupakan operational default, akibat dari unsur kesengajaan yang melanggar standar prosedural dalam teknis pengeboran.
Pembohongan dilakukan agar pemegang saham Lapindo, yang mayoritas dikuasai oleh keluarga Bakrie, dapat dibebaskan dari sangkaan telah melakukan tindak pelanggaran, baik atas UU Migas, UU Lingkungan, atau UU lainnya. Selanjutnya, pembohongan demi pembohongan terus dilakukan, melalui berbagai rekayasa, antara lain rekayasa pendapat ahli geologi agar mendukung klaim Lumpur Lapindo sebagai bencana alam.
Coba, tanya ke Prof. Rudi Rubiandini, yang kini jadi Wamen ESDM, dan Prof. Koesumadinata, guru besar geologi ITB. Menurutnya, rekayasa pendapat para ahli itu benar-benar terjadi, hingga sang Profesor merasa di adu-domba antar sesama ahli geologi.
“Kami, antar para ahli, merasa diadu domba. Pertemuan para ahli Geologi di BPPT yang menyatakan Lumpur Lapindo sebagai bencana alam, itu jelas sekali sudah diseting sebelumnya. Karena, kesimpulannya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum pertemuan dilakukan. Saya tahu, ada protes dari ahli geologi asal Jepang, bahwa dirinya tidak mengatakan seperti dalam kesimpulan itu,” kata Prof Kusumadinata, saat tampil sebagai salah seorang pembicara dalam sebuah acara diskusi di Aula Barat ITB.
Bukan hanya itu, putusan Pengadilan yang menolak gugatan WALHI dan YLBHI pun sering dijadikan alasan atas klaimnya. Cobalah cek kembali putusan pengadilan yang sarat tekanan rekayasa tersebut, tidak ada satupun yang menyatakan bahwa Lumpur Lapindo adalah akibat bencana alam. Jelas, karena memang pengadilan bukanlah pihak yang berkompeten untuk menjelaskan sebuah teknis kegiatan pengeboran.
Tanya pada Pak JK, mantan Wapres, bagaimana proses persidangan itu terjadi, hingga pengadilan menolak gugatan WALHI dan YLBHI. Jelas, di situ ada unsur tekanan kekuasaan, dan rekayasa atas pengadilan. Celakanya, justru putusan inilah yang secara sengaja dijadikan alasan dilakukan penghentian perkara (SP3) atas sejumlah tersangka di Polda Jatim dan di Kejagung.
Putusan ini pula yang secara sengaja dipersiapkan untuk dijadikan sebagai dasar bagi DPR dalam mengambil keputusan, bahwa Lumpur Lapindo adalah fenomena alam, akibat gempa bumi. Lantas, skenario berikutnya, terjadilah proses legalisasi pengeluaran uang APBN untuk penanggulangan Lumpur Lapindo, khususnya di luar area peta terdampak. Hingga kini, Rp 7,1 tirliun uang APBN telah terkucur melalui skema multiyears.
Logika Sederhana, Lapindo Bersalah
Bung ARB selalu bilang, bahwa secara hukum, Lapindo tidak bersalah, tapi dirinya merasa terpanggil untuk tetap mengeluarkan (klaim) uang lebih dari Rp 9 triliun rupiah, khususnya untuk biaya ganti rugi bagi warga yang menjadi korban. Logika hukum sederhana, jika memang tidak bersalah secara hukum, mengapa negara mewajibkan Lapindo untuk menanggung beban biaya atas korban di area peta terdampak.
Pakar Hukum Tata Negara (HTN) asal Universitas Muhammadiyah Solo (UMS), Dr. Aidulfitriciada Azhari menadaskan, bahwa pilihannya cuma dua. Yakni, jika memang Lapindo tidak bersalah, maka seharusnya negara yang menanggung seluruh biaya akibat Lumpur Lapindo. Sementara itu, jika Lapindo bersalah, sudah seharusnya seluruh biaya tersebut ditanggung sepenuhnya oleh Lapindo. Tidak relevan lagi, ada pembagian istilah area peta terdampak dan area di luar peta terdampak. Karena sesungguhnya, kerugian yang terjadi pada kedua wilayah itu sama-sama merupakan dampak dari semburan Lumpur Lapindo.
Adanya pembagian tanggung jawab antara Lapindo dan negara dalam pengeluaran dana setelah ada Perpres No. 14/2007, jelas merupakan bagian dari kompromi politik, bagian dari rekayasa bung ARB. Meskipun, hal itu berarti pula pengakuan negara bahwa Lapindo telah bersalah, dan oleh karena itu harus ikut bertanggung jawab membiayai Lumpur Lapindo.
Alasan pesan almarhum ibunya, agar ARB ikut menanggung biaya Lumpur Lapindo hingga triliunan rupiah meski merasa tidak salah, jelas-jelas tidak dapat diterima oleh akal sehat. Kecuali, jika rakyat mau saja dibohongi oleh pencitraan ARB, sebagai Capres Lapindo yang super dermawan. Alasan tersebut, tak lain adalah bagian dari politik pencitraan dirinya, sebagai Capres 2014.
Prinsip Strict Liability
Kembali, pada pokok permasalahan. Andai, janji ARB yang sering kali diingkari, kali ini mampu dipenuhi, sisa pembayaran ganti rugi dilunasi paling lambat akhir tahun ini, jelas tidak berarti masalah Lumpur Lapindo itu beres. Bung Ical, jelas tidak otomatis mulus nyapres. Rakyat Indonesia tidak akan melupakan semua pembohongan dan rekayasa itu berlangsung terus.
Dalam industri ekstraktif, seperti industri migas ini, jika ada masalah seperti Lumpur Lapindo, maka digunakan prinsip strict liability, tanggung jawab penuh. Sama halnya, apa yang terjadi dengan British Petroleum (BP) di Teluk Meksiko, AS. Ancaman presiden Obama yang akan membekukan dan menyita seluruh aset BP, cukup efektif dapat menekan BP menanggung seluruh biaya penanggulangan bencana, akibat industri migas.
Dalam konteks ini, artinya,keluarga Bakrie, tetap harus bertanggung jawab sepenuhnya atas terjadinya Lumpur Lapindo, dan negara harus tegas untuk melakukan pemaksaan. Tanggung jawab penuh, berarti pula seluruh kewajiban keluarga Bakrie, terutama dalam pembiayaan, yang melampaui aset atau saham yang ada di Lapindo. Kewajiban penuh, harus menjangkau pula atas seluruh aset pribadi pemilik saham, mengingat ada unsur kesengajaan dan kesalahan manusia atas terjadinya bencana.
Negara harus menjamin dan memastikan, seluruh kerugian akibat Lumpur Lapindo sepenuhnya dibayar oleh keluarga Bakrie. Bukan malah dibiayai oleh negara melalui penggelontoran uang APBN. Inilah, suatu hal yang sangat dihindari oleh ARB.
Nyapres, Amankan Kekayaan
Oleh karena itu, tampaknya, pembohongan dan rekayasa opini, rekayasa hukum dan rekayasa politik dianggap belum cukup aman bagi seorang Ical dan keluarganya. Pilihan menjadi Capres, amat mungkin dapat dipahami sebagai upaya pamungkas bung Ical dalam mengamankan seluruh aset kekayaannya.
Masalahnya, andai pelunasan ganti rugi itu terjadi, Lumpur Lapindo diprediksi akan tetap menjadi masalah bagi bung ARB sebagai Capres. Karena, masalah Lumpur Lapindo bukanlah identik dengan masalah pelunasan sisa ganti rugi melalui akad jual beli. Toh, lahan seluas 640 hektar yang sudah dibeli kemudian menjadi milik ARB, bukan? Memang, sangat cerdas Capres Lapindo ini.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H