Mohon tunggu...
Rahadi
Rahadi Mohon Tunggu... Guru - Ikhlas Sabar Tawakal

Rahadi pekerjaan guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yusuf Anak yang Baik

15 Agustus 2022   22:15 Diperbarui: 15 Agustus 2022   22:18 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namanya Yusuf Saefuloh. Dia sering dipanggil Yusuf. Seorang anak laki-laki berusia 12 tahun. Dia masih duduk di kelas 6 sekolah dasar. Di sekolahnya Yusuf sangat disenangi teman-temannya. Selain pandai, dia anak yang baik. Tingkah laku dan budi bahasanya sopan. Tidak heran bila para guru bahkan kepala sekolah pun menyenanginya. 

Yusuf sekolah di SD Negeri 1 yang terletak di Kampung Suka Maju. Satu-satunya sekolah yang ada di kampung itu. Letak Kampung Suka Maju jauh dari perkotaan. Hamparan sawah yang luas tampak mendominasi kenampakan alam wilayah Kampung Suka Maju. Kampung ini dibatasi oleh dua sungai yang cukup besar. Air sungainya mengalir jernih menjadi sumber penghidupan untuk mencukupi kebutuhan bagi masayarakat sekitar. Baik untuk mencuci piring ataupun untuk mencuci pakaian. Apalagi disaat musim kemarau. Warga Kampung Suka Maju sangat terbantu dengan adanya dua sungai yang melewati kampungnya.

Suatu saat, ayah Yusuf memanggilnya. “ Suf ! Yusuf ! Kemari sebentar, Nak ! ” ucap ayah Yusuf. “ Ya, Pak ! Sebentar ! ” jawab Yusuf pelan sambil menyelesaikan pekerjaan rumah dari sekolah.

Baca juga: Memaafkan

Selesai mengerjakan PR nya, Yusuf segera menghampiri ayahnya yang sedang duduk di ruang depan. “ Duduklah, Suf ! ” kata ayahnya. Yusufpun segera duduk memenuhi perintah ayahnya. Yusuf duduk di kursi mengambil posisi berhadap-hadapan dengan ayahnya. Kebiasaan ngobrol antara ayah, ibu dan anak sudah menjadi hal biasa di keluarganya Yusuf. Rupanya ayah dan ibu Yusuf mengerti betul bahwa komunikasi antar anggota keluarga begitu penting. Mereka sadar betul dengan komunikasi yang baik antara anggota keluarga akan tercipta keluarga yang tenteram dan damai. Semua persoalan yang terjadi di keluarga akan selesai dengan baik. Yusuf merasa bersyukur sekali memiliki keluarga yang baik.

“ Belajarnya sudah selesai, Nak ? ” tanya ayahnya dengan pelan. “ Sudah, Pak ! ”  “ Suf, kalau tidak salah sebentar lagi kamu akan menempuh ujian akhir bukan ?” tanya ayah sambil menatap anaknya. “ Ya, antara tiga atau empat bulan lagi, Pak !”  “ Sebentar lagi, ya ?” “ Ya, Pak ! ” “ Sudah siapkah kamu menghadapinya ? ” tanya ayah lagi. “ Setiap hari aku belajar dengan sungguh-sungguh, Insya Allah siap, Pak !” jawab Yusuf sambil tersenyum. Yusuf merasa sudah siap, karena memang Yusuf anak yang rajin belajar.

“ Bagus ! Bagus ! Belajarlah dengan rajin dan tekun, agar waktu satu tahun tidak terbuang percuma. Bila kamu sampai tak lulus, berarti kerugian besar. Selain rugi biaya, juga telah membuang waktu dengan sia-sia. Sebab bagi manusia yang berakal, waktu itu nilainya lebih berharga dari pada uang. Ada pepatah berbunyi waktu adalah uang, ” kata ayah Yusuf.

Baca juga: Penjaja Kue Molen

“ Benar, Suf ! Ibu tidak ingin mempunyai anak yang mengecewakan orang tua, ” sahut ibu Yusuf. “ Aku berjanji akan belajar dengan sungguh-sungguh, berusaha untuk tidak mengecewakan orang tua. Aku selalu meminta doa dari Ayah dan Ibu,” kata Yusuf. “ Ibu dan Ayah setiap malam senantiasa memanjatkan doa kepada Allah SWT. Mudah-mudahan perjalanan hidupmu selalu diridhoi Allah SWT. Terutama langkah dan tindakanmu harus selalu baik dan terpuji sehingga disenangi teman-temanmu,” kata ibu Yusuf sambil tersenyum.

“Suf, kalau telah lulus SD kamu mau melanjutkan kemana ? ” tanya ayah Yusuf. “ Pasti ke SMP, Pak ! ” jawab Yusuf mantap. “ Menurut pandangan Ibu, kamu lebih tepat masuk pondok,” ujar ibu Yusuf. “ Apa alasannya, Bu ? ” tanya Yusuf pengin tahu. “ Dalam menjalankan ibadah shalat lima waktu dan ibadah lainnya kamu begitu menonjol dibanding dengan anak-anak seusiamu.” jawab ibu Yusuf. “Ahh, Ibu terlampau memuji!” ungkap Yusuf tersipu malu.

“Ya, Bu! Aku memang berminat sekali kepengin menjadi ulama, tetapi akupun tidak ingin ketinggalan dalam Pendidikan modern. Keinginanku nanti akan mengikuti dua Pendidikan. Pagi sampai siang aku di sekolah umum dan sorenya aku belajar agama di pondok. Dengan begitu keduanya dapat berjalan seimbang. Lahir aku menguasai ilmu keduniaan, bathinku menguasai ilmu agama.” Jelas Yusuf. Ayah dan Ibu Yusuf saling berpandangan dan hanya menganggukkan kepala tanda setuju.

Baca juga: Koin untuk Irfan

“Bu! Bu! Janganlah menekan cita-cita anak, sebab akibatnya kurang baik. Bila keinginannya kita juruskan ke arah yang berlawanan, hasilnya tak akan memuaskan. Lahir dan batinnya akan tersiksa selamanya. Yang baik bagi kita orang tua yaitu mendukung segala cita-citanya agar tercapai dengan baik,” kata ayah Yusuf mengingatkan istrinya.

“Ibu bukannya hendak menekan cita-citanya, tetapi ingin mengetahui keinginan anak-anak kita. Karena bila ia melanjutkan ke jurusan yang salah atau hanya setengah-setengah akan sia-sia saja. Nah, bila menuntut ilmu pengetahuan hanya setengah hati hasilnya pun tentu tidak akan maksimal,” jelas ibu Yusuf mengemukakan alasannya.

“Itu memang benar, Bu! Akan tetapi anak kita ini telah memikirkan segala cita-cita dan kemampuannya bagi masa depannya kelak. Yang penting bagi kita orang tua yaitu mendorong dan mendoakan, agar cita-citanya dapat tercapai,” ujar Pak Yusuf.

“Sudahlah jangan bertengkar, sebab akupun belum tentu lulus ujian,” sahut Yusuf sambil tersenyum menyaksikan perdebatan kedua orang tuanya. “Ayah, Ibu! Wah tak terasa hari sudah sore, sebentar lagi waktu magrib. Kita sudahi dulu obrolannya,” kata Yusuf.

“Suf, sebelum mandi coba lihat dulu kendang ayam kita, jangan-jangan lupa belum ditutup!” pinta Ibu Yusuf. Kemudian Yusuf pun pergi ke belakang rumah untuk menutup kendang ayamnya.

Selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun